9.07.2012

Rian Terobati

"Benarkah yang dikatakan om Andika jika cinta hanya dorongan biologis
semata?" Rian mulai ragu dengan keyakinannya sendiri.
Sedang yang ditanya justru membalas dengan tertawa, Kojin geli
mendengar pertanyaan Rian. Bagaimana tidak, rasanya terlalu dini jika
Rian harus mendapat jawaban yang sudah pasti dilogikakan oleh Andika.
"Kau pasti sepakat jika aku sebut mereka-mereka itu tak lebih dari
segerombolan orang gila" Kojin menghentikan pekerjaan dan berusaha
menenangkan belia yang sedang berdiri dengan segumpal pertanyaan itu.
"Kau sebut apa warna ini?" tanya Kojin sambil mengangkat tube cat
minyak yang merupakan komponen dari finishing pembuatan kerajinan
patung yang telah lebih dari 10 tahun ditekuni.
"Merah" pertanyaan yang mudah dijawab Rian.
"Benar, ini merah menurutmu dan jika salah sebutpun negara tidak akan
memberi hukuman atas kesalahan dalam penyebutanmu tadi.
Sedang bagiku ini disebut dengan vermillion red, komposisi dari warna
merah primer dengan ditambahkan sedikit warna kuning tak lebih dari
sepuluh persen agar lebih segar dilihat mata, lalu yang ini english
blue, dan ini yellowis green. Aku mengetahui banyak jenis warna karena
aku profesional. Sama seperti Andika, dia memang selalu logika dan itu
jalan hidupnya.
Nah jawabnya kita bukan orang yang mengagungkan logika, kita masih
memiliki perasaan dan cinta tidak menuntut profesional, kecuali kita
gigolo" Kojin tertawa sambil menepuk bahu kiri Rian.
"Aku sama sepertimu, bisa linglung jika cinta bertengger dihati, aku
tak memahami perasaan dan apa yang dipikirkan perempuan.
Cinta bagiku anugerah ajaib.
Rian..., aku tak bisa memberi jawaban lebih, yang aku tahu kekasihmu
pastilah dia cantik" Kojin menarik nafas panjang lalu melepaskan semua
dengan lapang.
"Berikan ini padanya, tak perlu ada kalimat untuk dia, senyum sudah
cukup, mungkin dia akan tahu betapa cintamu padanya, dia mungkin akan
mengingatmu, mungkin juga dengan ini kau bisa memulai pembicaraan yang
lebih nyaman" Kojin mengulurkan patung kayu bocah laki-laki seukuran
tinngi jengkal dewasa.

Desa Luk Baintan terlihat bersahaja, tanah yang bagus diantara rawa
dan sungai, mengundang pertemuan dari bermacam kepentingan, mungkin
itu yang menjadi alasan sehingga ada pasar terapung yang menjadi aset
desa, tepat berkumpulnya pedagang diatas jukung-jukung kecil mereka
yang membawa aneka pangan olahan pun mentah, sayuran, juga bermacam
buah-buahan dari kebun-kebun mereka.
Sedamai desa tempat tinggal Kojin sedamai kelegaan Rian, setidaknya
ada sedikit solusi untuk Cintanya terhadap Mita, bukan ceramah melulu.
Sementara matanya memandang patung kayu yang ada ditangan kiri
pemberian Kojin namun angannya justru jauh memuja Mita.

Bagi Kojin apa yang sedang dialami Rian bukanlah hasil rancangan besar
alam, melainkan tak lebih dari tradisi yang mewakili warna gairah
kehidupan.

Tidak ada komentar:

Mengambil Gambar

Aku sempatkan mengambil gambar sederhana  pagi tadi. Sekedar rumput yang tumbuh di pinggir jalan. Aku gunakan lensa canon 55 - 250mm pula ap...