2.28.2013

Kehadiran Lehar

":...Ada yang menggeser pohon pembatas antara Tanah Luar dengan Tanah
Dalam, dan kita berada di Tanah Luar yang berbatasan langsung tentu
akan merasa kurang enak karena pohon pembatas itu bergeser kearah
Tanah Dalam, walaupun mereka tak menuduh kita secara..." Nungkai
menghentikan kalimat.
"Ada apa Nung..." belum lagi melanjutkan kalimatnya namun tangan
Nungkai telah menyentuh pundak Beng, tanda agar menahan dulu
pertanyaan, pun yang lain sudah faham.
Udara dingin terbawa angin masuk kedalam ruang, hanya sunyi dan tak
terjadi apapun.
"Seharusnya tamu mengucapkan salam sebelum masuk ruang" suara Nungkai
memecah menimbulkan sedikit gema.
Belum lagi selesai tanya dalam hati namun suara parau setengah tawa
telah tepat berada disebelah kiri Dimah hingga mengagetkannya lebih
awal.

"Masalah, ya... Masalah, kami yang orang Tanah Dalam tidak sebersitpun
menganggap pergeseran itu sebagai masalah. Masalah tak akan pernah ada
kecuali kepada orang yang memang bermasalah, selama seseorang tidak
bermasalah maka masalah itu tak pernah ada. Jangan kau ambil hati
ucapanku saudaraku" ucap Lehar sambil meletakkan ranting kering diatas
meja.
Kehadiran Lehar sangat mengejutkan yang lain, mereka tak tahu kapan
kehadiran Lehar, semua terbungkam seolah kelu lidah. Apalagi Dimah,
bahkan untuk bernafaspun dia rasa tak mampu.

Suasana perselisihan terselubung terasa kental, Nungkai terdiam, dia
sangat tahu diri jika harus berhadapan dengan Lehar yang sangat
kesohor di Tanah Luar. Menurut kabar Lehar telah berusia 190 tahun,
desas-desusnya beliau sudah tidak lagi ada di alam nyata, namun malam
itu mungkin tak akan bisa dilupakan oleh semua yang hadir, mereka baru
kali ini bisa bertatap muka dengan seorang legenda, namun tidak bagi
Nungkai.
Tak seperti nama besarnya, Lehar hanya memiliki tubuh yang kecil,
mungkin tinnginya tak lebih dari 155 cm, tidak terlalu kurus, dengan
warna kulit yang terlalu pucat. Ada sangat jelas bahwa Lehar adalah
orang yang terlalu banyak menghabiskan waktu sendirian.

"Urip..., aku turut berduka atas tewasnya Arya, dia sudah aku
peringatkan waktu itu, tapi dia keras kepala, dia terlalu lemah
dihadapan Wahab pun Yana. Rupanya aku telah salah dengan mengirim Dewi
untuk membantu Arya, Dewi...,bernasib tak jauh beda dengan Arya.
Apa kau juga akan memilih jalan seperti Arya?
Dan kau Narang, putra dari Ladu yang kesohor dipengobatan. Mengapa kau
harus memilih berkumpul disini? seharusnya kau dirumah, damailah dalam
keluarga, disana kau lebih berguna"
Apapun yang diucapkan Lehar terasa sangat menekan dan menimbulkan
firasat yang sangat buruk, hanya Nungkai yang terlihat mulai tenang,
bahkan wajah Nungkai telah berubah licik.

"Nungkai, keputusan tersulit bukanlah menghadapi mati, namun bagaimana
kita sadar bahwa untuk hiduppun kita tidak berhak. Tak perlu kau
repot, aku tidak akan lama, simpan mantramu, aku bukan orang yang
bermasalah, tentu aku tak memiliki masalah yang bisa aku tinggalkan
disini. Cukup kau tahu itu" Lehar menggakhiri kalimat dengan senyum
yang ramah tapi membersit arti yang lain.

2.26.2013

Bisik Beng

Beng tertawa, dia sama sekali tak heran mendengar ucapan Aluh. Dulu,
sejak dulu Aluh memang selalu keras terhadap Urip, pun Urip tak jauh
beda. Kebencian keduanya tak lebih pada kebenciannya terhadap diri
mereka sendiri-sendiri yang tak pernah bisa mengungkapkan perasaan,
mereka sama-sama tak mampu melalui gengsi untuk kalimat "cinta".
Beng sangat tahu jika Aluh hanya bisa membenci setiap malam-malam
sempurna, saat purnama penuh, saat yang sempurna untuk berpadu kasih,
sedang wajah Urip terus membayang memperdalam kebencian.
"setidaknya kau bahagia bisa memandang Urip" bisik Beng pada Aluh.
Ucapan Beng tentu menjadikan Aluh geram, Bisik Beng terasa makin
mengejeknya.

Sementara Nungkai telah selesai mendiskusikan arah pembahasan bersama
Narang dan kini tinggal menunggu saat yang tepat untuk mengambil alih
perhatian dari semua yang diundang.

2.24.2013

Ejek Aluh

Tak seperti yang Narang pikirkan, rupanya ada dua orang perempuan yang
juga turut hadir disitu, ini berbeda dengan undangan-undangan
sebelumnya.
Belum lagi selesai tanya dalam hati Narang sudah tertambah kejutnya
mendengar celetuk Aluh.
"Urip" yang lain juga tersentak mendengar Aluh bersuara cukup lantang.
Sedang Urip yang merasa dipanggil merasa was mendengar perempuan itu
yang menyebut namanya, Urip tak kembali menyahuti tapi hanya
mengarahkan pandang pada Aluh.
"Aku dengar kau gencar mengubah cara pandang saint, pengobatan dan
juga agama. Apa yang kau pikirkan, atau mungkin jiwamu sudah terlalu
lelah?" tanya Aluh. Sedang Urip terlihat ragu untuk menjawab, Urip
merasa tak perlu ada alasan yang harus.
"Aku heran mengapa kau berubah menjadi pendiam, atau jangan-jangan kau
dikebiri perempuan itu ya?" semua yang hadir tertawa kecil mendengar
oceh Aluh. Sedang Urip terpaksa tersenyum kecut dan tak
tersembunyikan.
"Sudahlah Aluh" terdengar Nungkai melerai, demi meredam suasana yang
kurang menguntungkan itu, sedang Dimah yang duduk di sebelah Nungkai
hanya menunduk, Dimah berusaha menjaga sikap, dia tahu diri akan
keperempuannya. Tampak kondisi sudah terlanjur memancing. Seharusnya
pertemuan membahas keberadaan tanah adat yang mulai terusik tapi
sentimen individu rupanya mendahului.

"Yang aku tahu pengetahuan sama seperti api yang membesar pada
tumpukan ranting kering entah darimana membesarnya. Dia akan membesar
dengan sendirinya selama tumpukan kayu itu masih terjaga. Tapi ketika
kau kurangi tumpukan rantingnya tentu dengan sendirinya jua api itu
akan mengecil hingga tak lagi akan cukup menghangatkan tubuh.
Aku telah menarik sebagian besar ranting hingga api yang ada tak lagi
cukup untuk diriku sendiri.

Tidak memainkan game bukan berarti kalah, justru kau menang tanpa
bertarung, walaupun kebanyakan orang akan mengatakan itu sangat buruk
tapi setidaknya kau masih hidup, daripada bertarung dengan menang tapi
jadi arang pun ketika kalah jadi abu. Orang bijak mengatakan kesabaran
mampu mengalahkan strategi agresif lawan" Urip mencoba agar sedikit
terobati emosi Aluh, Urip berharap ketidaknyamanan sedikit terurai.

2.21.2013

Ragu

Dalam hati Narang mengakui jika Nungkai sangat baik dan jujur, namun
ada spirit aneh dalam tubuh Nungkai yang tidak pernah dia mengerti,
tak jauh beda dengan Galih, keduanya telah berusia 40 tahunan lebih,
namun mereka masih tak pernah bisa berfikir untuk hidup selayaknya
usia itu. Seharusnya mereka bisa tinggal di rumah ditemani seorang
istri dan juga anak-anak yang sedang tumbuh kembang.
Galih memiliki tubuh yang lebih rendah dibandingkan dengan yang lain.
Galih memiliki ilusi yang selangit hingga kadang sulit membedakan
kalimat yang diucapkannya itu benar-benar ada atau hanya ilusinya
saja.

Undangan dari Nungkai terasa berat bagi Narang, hampir tidak bisa
untuk memberikan label baik atau buruk, yang Narang rasakan semua
hanya akan menjadikan para dewasa memiliki otak setengah, terasa
lebih pada meracuni otak waras.

Narang

Narang masih sibuk melayani pelanggan walau sudah menjelang petang,
kedua tangannya tampak trampil meracik ramuan yang di pesan oleh
pelanggan.
Bertempat di tengah pasar Kindai Limpuar Narang menjalankan usaha
penyediaan bahan jamu sekaligus peramu bersama sang istri. Kios Narang
terasa sesak dipenuhi rak berisi bebagai jenis tanaman obat yang sudah
kering, aroma kuat sangat mengidentitaskan bahwa itu kios penyedia
bahan obat herbal.

"Papah jadi kerumah Nungkai ntar malam?" tanya sang istri
"Insya Allah mah, mamah ikut?" jawab Narang
"Nggak ah, papah biasa larut hingga pagi kalau sudah ngobrol" ucap
sang istri, namun Narang malah tertawa keras mendapati jawaban
istrinya.
"Aku kadang iri terhadap Nungkai, dia bisa membiarkan hatinya menuntut
tindakan, lebih ketika dia selalu berhasil mengembangkan keahlian
teknis yang kadang terlihat mustahil, seolah dia tak mau memberi ruang
pada masalah, dia selalu berhasil mengatasi kerumitan, walau kadang
aku masih melihat ada tempat yang kosong di hatinya" sambil merapikan
peralatan Narang memuji Nungkai.
"Nah..., papah lupa ya? Sering papah mengatakan bahwa masing-masing
orang memiliki herbalnya sendiri yang sesuai dengan tubuh mereka,
tubuh akan memilih tumbuhan obat yang sesuai, lalu apa bedanya dengan
keistimewaan, bukankah seharusnya manusia memiliki istimewanya
sendiri-sendiri? tentu papah punya keistimewaan sendiri yang mungkin
sangat dikagumi oleh Nungkai. Ujar papah syukuri yang ada dan kita tak
akan memenangkan apapun dalam kehidupan kecuali bagi yang mau
bersabar" sahut sang istri
"Nah..., mamah kok bisa membalikan sekarang" tawa Narang menghangati ruang.

Narang orang yang cukup disegani di manapun dia berpijak, dia memiliki
tubuh yang kurus, kulit pucat juga terlihat kuno dan bijak. Walaupun
Narang telah mendalami pemahaman dari kehidupan namun ada kalanya dia
masih tertipu oleh apa yang terlihat di permukaan, sedang dia sudah
tahu jika sering yang didalam sangat bertolak belakang dengan apa yang
terlihat.

"Kalau Urip bagaimana pah?" tanya sang istri lagi
"Urip, em..., gak tahu aku mah" Narang terdiam, ada yang berubah di
hatinya mendengar nama Urip. Sekejap Narang teringat ketika dia
bersama Urip, ketika rasa ingin tahunya hampir membunuh dia dan Urip.
"Yang aku dengar Urip sedang tak mampu berbagi ruang dengan seorang
perempuan yang sebenarnya hampir mustahil, aku dengar keduanya
terlanjur terjerat dan keduanya saling tak bisa melupa pun dari
keduanya juga tak mengerti apa yang harus dilakukan kecuali hanya
saling menyapa.
Ah..., cinta, barangkali Urip orang bodoh yang pernah aku temui.
Bahkan lebih celakanya lagi dia cenderung membangkitkan sisi gelap
dalam hatinya"

2.16.2013

Nungkai

"...Bahkan ketika dia menyapamu kau tak pernah berani membalas
sapaannya" senyum tipis kemenangan di bibir Nungkai.

Nungkai di kalangan salafi terkenal sebagai ahli pertahanan dengan
menggunakan ilmu hitam, yang sering orang-orang dengar dia memiliki
teluh sebagai keahlian yang mendasar. Entah apa yang menjadi alasan
bagi dia untuk menekuni ilmu hitam, alasan yang tidak jelas, tapi
sesungguhnya sangat jelas. Nungkai juga sangat menyukai seni ilmu
ramuan tradisional.
"Kau sudah memutuskan rencana?"
Urip masih saja diam walau Nungkai mencecar.
"Atau kau ingin aku membantumu?" Nungkai rupanya sudah tak sabar
menghadapi Urip yang sedari awal membisu.
"Ya atau tidak, dan kau sudah tahu hatiku yang mendalam, apakah kau
juga ingin aku mengatakan apa yang ingin kau dengar Nungkai?" Urip
rupanya tak tega membiarkan Nungkai bertanya tanpa jawab.
Tapi jawab Urip kali ini malah menjadikan mata Nungkai berubah menjadi
curiga, dia sedikit kesulitan membaca kemungkinan yang akan Urip
sampaikan berikutnya, bahkan sekarang Nungkai merasa bodoh telah
mengajukan pertanyaan yang seharusnya tak perlu diajukan. Padahal
Nungkai biasanya sangat berhati-hati, dan tidak mau gegabah.
"Aku tidak melakukan sesuatu yang orang tidak minta" Nungkai berusaha
menyembunyikan kesalahannya.

Suasana berubah sepi, sudah tinggi hari, mungkin mereka sudah lelah.
Kini hanya menyisakan raut Urip yang setengahnya menggambar rasa
khawatir, kekhawatiran jika dia masih memaksakan perasaannya maka akan
berdampak semakin buruk terhadap perempuan yang hingga saat ini masih
mengisi ruang hatinya. Urip sadar jika diperlukan keberanian untuk
sebuah perubahan.

2.15.2013

Cela Nungkai

"Urip, barangkali tidak ada yang bisa membuatnya bahagia bahkan ketika
dia telah berhenti mengeluh.
Kau telah menghancurkannya. Sedang yang aku tahu dari raut wajahnya
dia perempuan yang menyenangkan dan kau sama sekali tidak untuk kali
ini"

Makin kusut Urip mendengar Nungkai berkalimat yang sama sekali tidak
ingin didengar. Sedang Nungkai malah melepas senyum ejek melihat Urip
yang terbungkam.

Nungkai sebenarnya bukan tipe pria yang sok tahu, terlalu jarang dia
bersedia meladeni diskusi yang hampir tak jelas. Tapi kali ini dia
ingin sedikit membuat kondisi dari pertemuan yang mengundang ketidak
nyamanan, sedang dia sangat tahu akan Urip.
"Tunjukkan satu saja kebaikan yang pernah kau lakukan padanya" ujar
Nungkai, lalu keduanya sesaat terdiam.
"Aku sudah tahu kau tak akan bisa menjawab. Seharusnya kau sadar, kau
hanya membuat pilihan gila dari sejak awal, dan yang aku tahu kau
licik juga egois. Kau menyedihkan" serapah Nungkai.

2.11.2013

Proses

Sebentuk harmoni apik dari proses menua, sedikit membuat
bertanya-tanya yang berakhir pada tanpa jawab.

Kalimat-kalimat pelepas beban berat dari menggapai, dari apa yang
tidak pernah termiliki atau bisa pernah termiliki namun telah tergilas
waktu. Atau bahkan mungkin kalimat yang ada merupakan wujud dari
segala buruk yang seolah saja terlihat baik.

Present, adalah anugerah yang terbaik bagi yang sedikit bijak, pun
yang lalu akan menjadi kenangan dari apa yang telah terlalui, sedang
esoklah yang masih membuat bertahan.

Galih, Beng, Saman pun Urip hanya merindu sesuatu yang hampir mustahil
namun mereka merasa semua terlalu dekat.

Banyak Bicara

"Selalu kalian meributkan hal yang kalian yakini baik, tapi aku tak
melihat apa yang kalian lakukan telah merubah hidup menjadi lebih
baik. Tak, kalimat tak merubah apapun.
Satu hal yang aku tahu, jika hidup bisa menjatuhkanmu, tinggal
bagaimana kau bersikap. Kau bisa menyerah dengan meratap atau justru
akan bangkit. Sederhana...,ya sederhana dan bisa kalian pilih, lalu
lakukan" sela Saman.

"Aku hanya berfikir kalian tak ubahnya dengan Urip yang banyak bicara,
namun membiarkan perempuan yang dicintai membeku, bahkan hingga lidah
perempuan itu kelu. Cinta...
Tapi aku menganggap itu konyol" tak memberi kesempata Saman pada Galih
pun Beng yang sejak awal saling adu urat leher.

2.08.2013

Tak Perlu Alasan

"Apakah setiap keputusan mesti memerlukan satu alasan ?
Tidak bagiku, sama halnya ketika aku memutuskan kapan harus
menyeberang saat di jalan raya.
Memastikan hati dan perasaan untuk memilih sisi lain bukanlah hal yang
buruk, dan tentu itu tidaklah harus memiliki alasan. Setidaknya cukup
kau tahu apa yang kau lakukan dan berhentilah mengeluh" ucap Beng
"Aku tahu, tapi aku akan memastikan jika nasibku ada di tanganku
sendiri" jawab Galih sedikit sinis.

Beradu kalimat yang sebenarnya tidak akan merubah perasaan dan
keyakinan masing-masing, sedang keduanya sangat menyadari jika
perasaan dan keyakinan bukalah hal yang memadai untuk diadu. Tapi tak
terlihat ada alternatif lain dari topik pembicaraan mereka, kecuali
mereka lebih menyukai fitnah.

2.07.2013

Ruang Tempat Aku Berdiri

Aku hampir tidak mempercayai apapun dan lebih celaka lagi ketika benar
atau salah tidak bisa aku ambil satupun untuk menjadi pertimbangan.

Mengambil Gambar

Aku sempatkan mengambil gambar sederhana  pagi tadi. Sekedar rumput yang tumbuh di pinggir jalan. Aku gunakan lensa canon 55 - 250mm pula ap...