Andika hanya memiliki dua kemungkinan yang bisa dijadikan pijakan
untuk memulai lagi dari awal. Wahab yang menjadi sumber pengetahuan
Urip atau menemui psikiater sebelum dia makin gila.
Dan Tuan Guru Wahab akhirnya menjadi pilihan di jumat malam itu,
Andika diterima duduk di ruang tamu Tuan Guru Wahab.
"Andika, cobalah untuk tidak terburu mempercayai yang engkau dengar.
Apa yang kau dengar itu kan sekedar kata orang, sedang jika sekedar
katanya itu belum tentu kebenarannya, bukankah kau orang yang
mempunyai kepintaran. Cobalah untuk berlaku seperti yang seharusnya,
seharusnya orang pintar"
Tersadar Andika, rupanya selama ini telah termakan ocehan kosong Urip
tetang ketentuan nasib yang belum tentu kebenarannya. Sebaliknya Wahab
justru hanya tertawa lebar melihat Andika.
"Mendengar belum tentu melihat, melihat belum tentu mengetahui,
mengetahui belum tentu percaya, percaya belum tentu mengimani,
mengimani belum tentu melakukan, melakukan belum tentu bisa merasakan"
Wahab tertawa lagi, memberi kesempatan Andika menelan kalimat mentah
yang selama ini jauh dari otak cerdasnya.
"Andika, sebenarnya kau sedikit saja selip, seharusnya pendidikanmu
telah mengajarkan yang namanya riset, tapi aku sadar betapa kau
kesusahan mencari rekan yang sepadan dengan cara pandang dan pola
pikirmu, di negri ini orang memang mudah mempercayai sesuatu yang
hanya didengar, tanpa bukti, baik itu dari media masa pun dari
lingkungan. Cobalah riset jangan kau artikan selalu menggunakan dana
yang besar, berat rasanya negara kita mau menerima permohonan dana
yang belum tentu manfaatnya bagi kepentingan negara, sedang yang sudah
tentu arah dan tujuannya saja belum tentu bisa mendapat dana. Dana
pribadilah yang paling mungkin untuk mendanai riset yang kau kehendaki
itu. Mengapa tidak kau biasakan hidup dengan seadanya, berilah contoh
untuk generasi mengenal apa itu riset, mulailah riset dari yang paling
sederhana dan kau anggap mampu melakukan, bukan pembicaraan atau
coretan diatas kertas melulu, jangan sampai terus-menerus terlahir
generasi yang besar omong kosongnya atau generasi yang mudah percaya,
sehingga mudah dihasut"
Wahab menyalakan rokok kreteknya lalu menghisap dalam-dalam. Sementara
di luar pun didalam udara terasa gerah, mungkin sama gerahnya dengan
perasaan Andika.
Wahab bukan baru sekali menghadapi orang buntu, sudah ribuan orang
dengan berbagai ragamnya, tentu beliau bisa membaca tamunya yang
sedang buntu akal.
Sangat sadar betapa Andika menyangkal apa yang baru saja disampaikan
karena gengsi, walaupun hatinya membenarkan atas lupanya, tapi itu tak
penting, Wahab tahu apa yang diucapkannya akan membekas dalam ingatan
Andika dan suatu ketika Andika akan menyadari apa yang baru
disampaikan, karena Andika bukan orang yang bodoh.
"sekedar contoh, ada suara tembakan dan kau juga melihat pelaku, lalu
sangkamu itu aksi kejahatan, mungkin perampokan, itu sangkamu.
Nah ini dangkalnya, kita tergesa mengambil kesimpulan sedang kita
belum mengetahui yang sebenarnya.
Andai ternyata tembakan tadi berasal dari pihak kepolisian yang
mengenakan pakaian non dinas dan sedang menyergap teroris bukankah
kita berarti telah salah. Maka baik selidiki dulu dengan benar.
Sama prinsipnya dengan riset, sebelum sesuatu itu kau jadikan
pernyataan tetap sebagai kebenaran, mengapa tidak kau masuki atau
ciptakan suatu kondisi yang bisa kau jadikan penelitian. Lalu kau akan
mendengar, melihat, mengetahui, percaya, mengimani, melakukan,
merasakan. Bukankah itu maksud dari pada riset. Membuktikan dari awal
segala sesuatu yang menjadi pandangan hasil olah pikir, sebelum
sesuatu itu dinyatakan sebagai laporan atas penemuan baru atau sekedar
membuktikan kebenaran, yang kemudian bisa dikembangkan demi
kepentingan manusia utamanya.
Rasanya mudah sekali untuk menjadi pintar dijaman modern ini, asal
kau punya duit tentu kau bisa bebas memilih perguruan, bahkan sampai
keluar negeri sekalipun dan aku dengar kau telah sampai disana. Kau
akan diajarkan banyak ilmu oleh guru-guru pintar, tapi sadarkah kau
tentang ilmu itu? Terbukti apa tidak?
Dulu Urip aku jadikan anak bukanlah untuk aku ajarkan kepintaran,
melainkan aku jadikan untuk bodoh. Dan kau tahu tak banyak orang yang
bersedia untuk bodoh.
Dengan bodoh, otak Urip akan kosong, dan aku sama sekali tidak
mengijinkan Urip untuk mengisi otaknya dengan sesuatu yang tidak
didengar, dilihat, diketahui Urip sendiri, sehingga Urip bisa percaya
dan mengimani, tentu setelah dia melakukan hingga merasakannya
sendiri. Bukankah Urip telah benar membuktikan. Bukankah itu esensi
riset"
Andika seperti dikuliti Guru Wahab, dia sadar betapa dia telah lalai
dan terlarut dalam pola hidup awam, hingga melupa bagaiman seharusnya
cara yang dilakukan oleh orang yang pernah mengenyam pendidikan
tinggi. Sangat sadar hingga tak lagi mampu mengembalikan kalimat dari
Guru Wahab.
untuk memulai lagi dari awal. Wahab yang menjadi sumber pengetahuan
Urip atau menemui psikiater sebelum dia makin gila.
Dan Tuan Guru Wahab akhirnya menjadi pilihan di jumat malam itu,
Andika diterima duduk di ruang tamu Tuan Guru Wahab.
"Andika, cobalah untuk tidak terburu mempercayai yang engkau dengar.
Apa yang kau dengar itu kan sekedar kata orang, sedang jika sekedar
katanya itu belum tentu kebenarannya, bukankah kau orang yang
mempunyai kepintaran. Cobalah untuk berlaku seperti yang seharusnya,
seharusnya orang pintar"
Tersadar Andika, rupanya selama ini telah termakan ocehan kosong Urip
tetang ketentuan nasib yang belum tentu kebenarannya. Sebaliknya Wahab
justru hanya tertawa lebar melihat Andika.
"Mendengar belum tentu melihat, melihat belum tentu mengetahui,
mengetahui belum tentu percaya, percaya belum tentu mengimani,
mengimani belum tentu melakukan, melakukan belum tentu bisa merasakan"
Wahab tertawa lagi, memberi kesempatan Andika menelan kalimat mentah
yang selama ini jauh dari otak cerdasnya.
"Andika, sebenarnya kau sedikit saja selip, seharusnya pendidikanmu
telah mengajarkan yang namanya riset, tapi aku sadar betapa kau
kesusahan mencari rekan yang sepadan dengan cara pandang dan pola
pikirmu, di negri ini orang memang mudah mempercayai sesuatu yang
hanya didengar, tanpa bukti, baik itu dari media masa pun dari
lingkungan. Cobalah riset jangan kau artikan selalu menggunakan dana
yang besar, berat rasanya negara kita mau menerima permohonan dana
yang belum tentu manfaatnya bagi kepentingan negara, sedang yang sudah
tentu arah dan tujuannya saja belum tentu bisa mendapat dana. Dana
pribadilah yang paling mungkin untuk mendanai riset yang kau kehendaki
itu. Mengapa tidak kau biasakan hidup dengan seadanya, berilah contoh
untuk generasi mengenal apa itu riset, mulailah riset dari yang paling
sederhana dan kau anggap mampu melakukan, bukan pembicaraan atau
coretan diatas kertas melulu, jangan sampai terus-menerus terlahir
generasi yang besar omong kosongnya atau generasi yang mudah percaya,
sehingga mudah dihasut"
Wahab menyalakan rokok kreteknya lalu menghisap dalam-dalam. Sementara
di luar pun didalam udara terasa gerah, mungkin sama gerahnya dengan
perasaan Andika.
Wahab bukan baru sekali menghadapi orang buntu, sudah ribuan orang
dengan berbagai ragamnya, tentu beliau bisa membaca tamunya yang
sedang buntu akal.
Sangat sadar betapa Andika menyangkal apa yang baru saja disampaikan
karena gengsi, walaupun hatinya membenarkan atas lupanya, tapi itu tak
penting, Wahab tahu apa yang diucapkannya akan membekas dalam ingatan
Andika dan suatu ketika Andika akan menyadari apa yang baru
disampaikan, karena Andika bukan orang yang bodoh.
"sekedar contoh, ada suara tembakan dan kau juga melihat pelaku, lalu
sangkamu itu aksi kejahatan, mungkin perampokan, itu sangkamu.
Nah ini dangkalnya, kita tergesa mengambil kesimpulan sedang kita
belum mengetahui yang sebenarnya.
Andai ternyata tembakan tadi berasal dari pihak kepolisian yang
mengenakan pakaian non dinas dan sedang menyergap teroris bukankah
kita berarti telah salah. Maka baik selidiki dulu dengan benar.
Sama prinsipnya dengan riset, sebelum sesuatu itu kau jadikan
pernyataan tetap sebagai kebenaran, mengapa tidak kau masuki atau
ciptakan suatu kondisi yang bisa kau jadikan penelitian. Lalu kau akan
mendengar, melihat, mengetahui, percaya, mengimani, melakukan,
merasakan. Bukankah itu maksud dari pada riset. Membuktikan dari awal
segala sesuatu yang menjadi pandangan hasil olah pikir, sebelum
sesuatu itu dinyatakan sebagai laporan atas penemuan baru atau sekedar
membuktikan kebenaran, yang kemudian bisa dikembangkan demi
kepentingan manusia utamanya.
Rasanya mudah sekali untuk menjadi pintar dijaman modern ini, asal
kau punya duit tentu kau bisa bebas memilih perguruan, bahkan sampai
keluar negeri sekalipun dan aku dengar kau telah sampai disana. Kau
akan diajarkan banyak ilmu oleh guru-guru pintar, tapi sadarkah kau
tentang ilmu itu? Terbukti apa tidak?
Dulu Urip aku jadikan anak bukanlah untuk aku ajarkan kepintaran,
melainkan aku jadikan untuk bodoh. Dan kau tahu tak banyak orang yang
bersedia untuk bodoh.
Dengan bodoh, otak Urip akan kosong, dan aku sama sekali tidak
mengijinkan Urip untuk mengisi otaknya dengan sesuatu yang tidak
didengar, dilihat, diketahui Urip sendiri, sehingga Urip bisa percaya
dan mengimani, tentu setelah dia melakukan hingga merasakannya
sendiri. Bukankah Urip telah benar membuktikan. Bukankah itu esensi
riset"
Andika seperti dikuliti Guru Wahab, dia sadar betapa dia telah lalai
dan terlarut dalam pola hidup awam, hingga melupa bagaiman seharusnya
cara yang dilakukan oleh orang yang pernah mengenyam pendidikan
tinggi. Sangat sadar hingga tak lagi mampu mengembalikan kalimat dari
Guru Wahab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar