4.30.2012

Mungkin

Mungkin kesalahanku yang fatal ketika menganggap Kemala sebagai surga dengan segala kemuliaannya dan menyandarkan pada alam untuk mengatur janjinya.
Bukannya menganggap Kemala sebagai individu yang mendamba segala janji dunia yang harus digapai untuk mendapat kemuliaannya.
Bukankah seharusnya menyadari arah nyata berbeda. Kemala mengejar logika modern degan segala technology yang makin menguasai kehidupan nyata dengan segala gemerlapnya, sedang aku mengejar logika purba yang makin tergilas oleh technology dan terasa sebagai isapan jempol belaka bahkan lebih terasa sebagai dusta .

Mungkin seharusnya aku berlaku seperti Rahwana yang mencuri Dewi Shinta. Rahwana sang raja telah mengkonstruksi jalan hidupnya untuk menunjukkan betapa besar cintanya, dia korbankan apa saja demi Shinta, dan tak peduli apa resikonya.

Bukan seperti Rama yang justru mengandalkan Hanoman untuk mendapat Shinta.

4.26.2012

Salam

Aku pejamkan mata menutup semua indra, membendung pikiran, melerai rasa.
Aku tahu ini hanya cukup untuk menghilangkan tentang dia dalam sesaat, bukan permanen.

Sang pikir jangan terlalu liar.
Sang ingin jangan hendak berkuasa.
Sang rasa jangan terlalu peka.
Sang ruh jangan terlalu lancang, karena Hidup yang memiliki aturan.

Sang waktu fahamilah memang ini gerak tariku.
Berkisah baik hanya menutup buruk.
Berkisah buruk hanya mencoba menemukan sisi baik yang tak lebih dari ujung kuku.
Berkisah santun sekedar menyadari betapa bejat.
Berkisah bejat sekedar belajar tahu tahu diri.
Berkisah pintar agar sadar kebodohan.
Berkisah bodoh agar Khayun mengajari.

Mustahil segala sesuatu ada tanpa diadakan.
Mustahil diadakan tanpa tujuan.
Yang Kasih dan Sayang selalu menebar salam.
Salam, salam, salam.

4.24.2012

Buku bodoh

Langit penuh dengan bintang tapi tak mampu menerangi malam.
Lelah seharian menemani Shanti dengan sikapnya yang teramat labil. Sebelum shanti tidur dia sempat marah, karena aku tak bisa mengingat namanya yang pendek. Shanti atau Shinta nama yang sederhana bagi orang lain tapi membingungkan untukku.

Kau, Kemala, Shanti, pun Shinta dikepalaku hanya panggilan. Dan konyolnya aku abai untuk membedakan berdasarkan nama, aku hanya melihat sisi jiwa dan perasaan perempuan yang susah ditebak sikapnya, cenderung membingungkan.

Kemala telah memilih jalan seperti yang diingin. Mungkin juga karena aku bodoh sehingga tak bisa membedakan.
Aku merenungi akan sikapku yang sibuk mengejar sesuatu yang tak pasti untuk menjadi pasti.
Seharusnya aku mengingat kesenangannya, menemani kesendiriannya atau apapun tentang dia. Bukan sibuk sendiri.

Makin larut malam, aku menyalakan api dengan lembar-lembar buku yang selama ini aku anggap berharga. Aku ingin melupakan semua, tentang semua yang aku kejar.

"Maafkan aku kemala, aku bodoh" hanya itu yang bisa aku ucap. Biarlah hari esok datang dengan tarian yang mungkin baru dan aku akan mencoba mengimbangi kemana arah gerak yang disuguhkan.

Sore

Shinta tampak larut dengan hamparan luas alam. Menikmati hembusan angin yang tak henti-henti menerpa, sesekali hembusannya menyingkap bagian bawah terusan yang dikenakan hingga terlihat pahanya lalu tangannya segera menurunkan dan menahan, dia tak ragu memetik bunga-bunga yang ada, tampak dia melupakan pikiran dewasa, sesekali melempar senyum kearahku, pun aku membalasnya.
Mungkin seharusnya aku ikut terlarut, tapi aku lebih memilih untuk menikmati dengan menjadi penonton atas kebahagiaannya, menyaksikan senyum indah yang mewakili ungkapan perasaannya. Tak sedikitpun ada terlihat kerumitan.

Kemala pribadi yang kokoh dimataku, mungkinkah aku menyaksikan tiba saatnya dia tersenyum bebas seperti shinta.
Mungkin jawabnya Kemala bukanlah Shinta, dan masing-masing memiliki senyum dengan maknanya masing-masing.

"Lihat, cantik sekali kan?" Shinta menunjukkan bunga-bunganya, terlihat jelas sekali keceriaan dari wajahnya yang ayu.
"Menurutku masih cantik kamu" jawabku.
"Dusssta" tiba-tiba wajahnya berubah menjadi cemberut. Aku tak berkutik lagi, jawaban salah rupanya, buntu dan rasanya tak perlu aku mencari jawaban yang benar. Tertawa geli saja yang aku punya.
"Buktinya kau tak tertarik padaku" sambil menyandarkan kepalanya di bahu kananku.
Aku hanya diam, tak berani menjawab, kemungkinan sedikit salah menjawab bisa berdampak fatal yang bisa merusak suasana.
Shinta hanya ingin diakui, bukan ingin jawaban, sepertinya terlalu lama dia tak merasakan belaian kasih, mungkin selama ini yang ditemui hanya pria yang mencari kepuasan.
Seolah ini satu-satunya kesempatan yang ada untuk bisa menyentuh perasaannya.

Ada yang menetes di lengan kananku. Aku hanya bisa menarik nafas panjang, aku telah menjatuhkan air matanya. Aku memang tak pernah bisa memahami perasaan perempuan.
"Aku bukan tak tertarik, maafkan aku yang bodoh. Aku selalu mengulang kesalahan" aku coba menenangkan.
Shinta menjawab dengan menggeleng kepala dan terlihat dimatanya memang bukan itu jawabnya.
"shin, apa karena tadi malam"
shinta meletakan kepalanya dibahuku lagi tanpa bersuara.
Mungkin kali ini jawabku benar.
"shin.., mungkin aku benar-benar bodoh, tapi setidaknya aku bahagia dengan cukup melihat kau bahagia. Dan, jika kau tanya soal intim, tentu aku akan sangat bisa. Tetapi aku sudah terlalu banyak melakukan kesalahan selama hidup dan aku tak akan menyesali sama sekali, karena sesalku tak akan merubah masa laluku.
Tapi pula tak mungkin aku mengulang kesalahan.
Setubuh bagiku merupakan komunikasi tertinggi manusia, tempat curahan kasih dan sayang yang teduh, merupakan mahligai yang sempurna untuk keikhlasan jua kepercayaan dua insan.
Itu mungkin salah satu saat manusia yang ingin mencoba untuk menjadi manusia"
aku ambil setangkai bunga yang ada di pangkuan shinta.
Matahari sebentar lagi tenggelam, dan langit memerah. Shinta masih larut dalam perasaannya, aku berdiri mengulurkan tangan mengajaknya bangkit.
Malam sebentar lagi tiba akan menyuguhkan suasana yang berbeda, memberikan kesempatan untuk jiwa berekspresi.

4.23.2012

Catatan terhenti

Sayangnya aku sedang belajar untuk tidak menolak, apapun yang aku hadapi akan aku terjemahkan sebagai hasil dari penggunaan energi hidup diwaktu sebelumnya, tak mungkin aku menolak hasil dari gerakku sendiri. Aku memahami nasib sebagai matematis yang mengunakan tiga potensi yang memiliki angka-angka variabel, yang masing-masing potensi memiliki kerumitan sama sekali berbeda-beda, akan tetapi gabungan ketiganya menentukan titik hasil. Pun titik hasil hanya merupakan angka pendukung untuk menyusun sebelum ada hasil berikutnya.
Potensi real, potensi gen dan potensi hasil (faktor keberuntungan yang sebenarnya hasil dari penjumlahan potensi real dengan potensi genetika berhubungan dengan konstruksi hidup keturunan sebelumny...

Aku menutup catatan sebelum selesai dan mengambil batu yang dilemparkan oleh Shanti.
"Sini kak... "
Aku tetap duduk sambil melambaikan tangan dengan memberi senyum, enggan rasanya melepaskan keinginan untuk memindah nalar kedalam buku.

Tapi entahlah ada rasa sayang melepaskan pandangan ketika melihat dia berdiri diatas batu yang ada ditepi jurang, terlihat sebelah tangannya dibentangkan dan sebelahnya lagi berpegang pada ranting.
Terusan tipis bermotif bunga-bunga yang dikenakan terkibar diterpa angin dan juga rambutnya yang panjang tak kalah memberi pesona, jelas sekali sisi polosnya, dia tampak ayu, hati kecilku bertanya, mengapa kau Shanti memilih jalan gelap.

Ingatan menarik pada jalan yang aku pernah lalui dan
"Kemala dulu kau dekat sekali" ucapku dihati.

Catatan kecil

Perempuan yang sekarang berada disampingku memberikan teduh atas lemahnya aku. Walaupun dia seorang pelacur tapi dia memiliki nafas ikhlas atas kehidupan.
Mungkin kehidupan selalu begitu, sesuatu yang kita inginkan seolah akan dapat diraih, tapi kenyataan justru menghadirkan yang lain dari keinginan awal.
Jika aku mulai sadar sesungguhnya keyakinan hanya konstruksi sangka yang selalu memberi gambaran seolah semua nyata pun kecerdasan logika dan insting ikut menuntun, ketika giliran kehidupan yang nyata menyatakan wujudnya maka hasilnya tak jarang kita menolak kenyataan yang sekarang ada.

4.21.2012

Kopi pagi


Aroma kopi menyapa lebih awal sebelum aku membuka mata diantara segarnya udara yang mesuk melalui jendela. Uap tipis tampak dari cangkir warna putih di ujung meja sudut kamar. Terlihat dia didepan cermin sedang menyisir rambut, dari pantulan cermin matanya mulai melihat aku yang terbangun.
“Hai…, kau tampak cantik tanpa make up” sapaku, dia masih tak lepas pandang dari pantulan cermin.
“Gombal.. laki –laki selalu pintar merayu” dia alihkan pandang pada deretan make up di meja riasnya.
“Jam berapa turun kerja?” tanyaku.
“Juragan hari ini mengunjungi saudaranya di Kalimantan Barat, mungkin bisa seminggu aku libur” dia menoleh kearahku.
“Semalam belum kau jawab, apa dia cantik sekali” dia masih penasaran, malah aku merasa jika dia cemburu, bukan sedang menanyakan. Bukankah aku dan dia baru sehari semalam mengenal, terlalu dini jika cemburu, mungkin dia iri soal nasib.
Aku bangkit untuk menikmati kopi hangat yang dihidangkan dan sesaat beradu pandang , aku merasa dilubuk hatinya merindukan kehadiran teman hidup, untuk dilayani dan disapa disetiap pagi hari. Terlihat dari wajahnya ada kekosongan arah tujuan, seolah aku ditarik kedalam catatan hidup yang dilalui.

“Sering orang mengartikan hubungan sebagai cinta, yang ujungnya kecewa mungkin juga bosan. Sering cinta hanya merupakan  keinginan penguasaan atau sekedar ingin saja yang terekayasa menjadi rindu, sering cinta memaksa pasangannya untuk seirama dengannya, dan akan marah ketika pasangannya tak bisa mewujudkan apa yang diinginkan, tidak sesuai dengan pikirannya dan lupa jika masing-masing individu dilahirkan berbeda dan kemudian untuk saling mengisi dan memahami demi kehidupan.
Cantik bukan dari ukuran rupa, rupa akan segera sirna. Kerinduan yang tak akan pernah sirna ketika seorang kekasih ikhlas di kehadirannya, tanpa mengeluhkan tentang pasangannya, menerima apapun pasangannya. Kekasih adalah tempat istirahat dari segala lelah pengejaran duniawi, tempat berbagi bahagia, tepat bersandar ketika kita tak berdaya, lemah, bahkan saat sakaratul maut.
Kau telah memberi  teduh kepadaku, kau lakukan semua ini tanpa kulihat keluhan diwajahmu, dan aku bisa merasakannya, tentu aku akan selalu mengingat dan merindukanmu. Aku tak bisa membayangkan jika kau berwajah seperti bidadari namun kau bangunkan aku dengan menyiramkan air di wajahku sambil menyumpah.
Aku tak melihatmu sebagai status sosial, tapi bagaimana kau tersenyum, ketika kau peduli, ketika ikhlas menghiasi setiap nafasmu. Kau sudah lebih dari bidadari” 

Ceritaku terhenti ketika terlihat sorot matanya melemah  lalu dia menundukan kepala. Sesaat aku berfikir, salah cerita aku rupanya. Ini  mungkin yang tak pernah aku fahami tentang perempuan.
“Selama ini hubungan kalian seperti apa?”
Aku hanya tersenyum, mencoba merubah suasana, mencari kondisi yang agak nyaman, agar rilex kembali tapi tetap saja seolah terlanjur suasana berganti. Aku hela nafas panjang melepas muatan perasaan.

4.20.2012

Tanyanya

"Kau tadi banyak bicara, kenapa sekarang diam" tanyanya sambil dia baringkan tubuhnya dengan posisi miring membelakangiku.
"Siapa dia, kelihatannya kau sangat mencintainya"
Aku tak menjawab, aku masih bingung terhadap dia, kenapa dia tampak seolah biasa saja.

Sinar kilat sesekali tampak diikuti suara gemuruh, sisanya hanya bisu dan badanku yang terasa kotor, maka perasaan salah dan dosa terasa lebih lekat. Aku tak menduga sampai sejauh ini.
"Aku habis berapa loki tadi" tanyaku memastikan sejauh mana kesalahanku.
"Nggak kehitung" sambil dia memindah posisi setengah menghadapku, matanya mencermati wajahku seolah ingin menggali.
"Perempuan itu pasti cantik" tanyanya lagi.
Aku menghela nafas.
"Dia di Belanda" aku masih belum siap menjawab pertanyaannya, dia masih asing bagiku, tapi aku merasa menjadi tamu, tak mungkin aku diam.

4.18.2012

Tersadar

Rupanya aku tadi kebanyakan minum arak. Entah dirumah siapa aku sekarang, tampak asing.
Terdengar suara lirih, aku palingkan kepala, terlihat perempuan masih mengenakan mukena diatas sajadah tampak kusuk berdoa, kedua tangan menyatu didada, begitu damai.
Ada rasa aneh dari tidurku, dan ketika aku pastikan ternyata benar, aku tak berpakaian sama sekali, hanya selimut menutupi.
"Apa..tadi.."aku malu menaya.
Perempuan itu menoleh dan tersenyum.
"Ya, tadi kita melakukannya, temanmu mengantar kita kerumah ini, dia memintaku melayanimu. Jangan kawatir dia sudah bayar semua"
Terkejut aku mendengar. Aku ingat jika dia perempuan yang di kedai arak, aku ingat Jabis tadi datang menemani aku minum.
"Heran ya, kalau pelacur gak boleh sholat? Gak boleh berdoa?. Aku pelacur yang mencoba berTuhan, bukan Islam, jangan salah paham"
"Bukan begitu maksudku" aku bangkit tapi kepala masih berat.
"Sudah tidur saja, di rumah ini hanya ada kita, lagian masih jam dua, diluar juga hujan, mau kemana ?"

4.17.2012

Lupa

Udara bergerak menuju tempat yang kosong atau tempat dimana udara lebih renggang selama ada akses, begitu teorinya jika tak salah.
Sedang aku hanya mengandalkan nalar dan insting, perasaan rendah, sangka baik tak, buruk tak.
Mungkin dia bisa memutuskan untuk tidak bertemu lagi, tapi bisakah perasaannya juga berlaku sama. Sayangnya dia lupa jika lini luarku saja yang tampak penuh dan mengisi dalam wujud kalimat yang membosankan, tapi lini dalamku kosong. Rasaku lemah, sedang dia punya rasa apapun itu wujudnya. Alhasil rasa yang dimilikinya mengalir mengisi kosong perasaanku.
Lalu salahkah ketika aku merasakan apa yang dia rasa, ketika dia merasa makin bosan dan ingin berhenti tercampur rasa goda, walau dia tak berkalimat sepatahpun.
Sama seperti teori gerak udara.

Dia diam ukuran mata, tapi sisi dalamnya tak pernah diam, sehingga memberitahukan padaku apa yang dibenaknya, lupa jika akses terlanjur dibuka.
Yang memiliki memberi kepada yang tidak memiliki, tak mungkin sebaliknya.

4.16.2012

Mengingat

Di warung sudut pasar tradisional di daerah Sungai Pinang aku duduk menghadap meja kecil dengan 12 gelas loki yang sudah kosong, mata rasanya ingin terpejam menikmati hanyut dikepala, seorang perempuan tengah baya menghampiri dengan tangan membawa dua loki arak memenuhi permintaanku.
"Ingin melupakan sesuatu?" tanyanya, sambil meletakan gelas, dan duduk dipangkuanku tanpa ada rasa canggung.
"Bukan, hanya ingin mengingat" jawabku.
"Apa aku bisa mengingatkan sesuatu itu" sambungnya dengan senyum nakal dari bibir yang dilapisi lipstik tebal murahan. Aku hanya menggeleng. Dan diapun pergi dengan perubahan drastis pada wajah menjadi masam.

Mirip menghitung potensi variabel linier individu. Menetapkan besaran kapasitas maksimum juga minimum , dari pengaruh variabel luar maupun dalam individu itu sendiri. Menentukan kemungkinan, dari kesadaran tertinggi hingga terendah.
Membiarkan logika juga insting menafikan kecerdasannya.
Seperti membuktikan teori kemungkinan darinnya yang dulu diucap.

4.14.2012

Embun malam

"Dia perempuan yang membuatku kehilangan arah, setengah nafasnya selalu terhembus ditelinga kiriku dan bayangannya mengisi di tiap denyut nadi" jawabku lirih dan guru Wahab hanya manggut-manggut nampak mencermati ceritaku.
Bulan tampak terang sempurna, burung malam sesekali bersuara diantara derik serangga, sedang embun mulai turun, terasa tokoh malam yang sebenarnya ingin mengambil alih peran.
Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan, rasa berat mengungkapkan tentang dia, perasaan masih tak karuan
" Ya... Memang susah kalau menyangkut perasaan, disimpan menyakiti dibuang sayang" kata guru Wahab sambil menepuk bahuku.
"Namanya Kemala; dan aku sangat mengaguminya"
Tak mampu lagi sudah rasanya melanjutkan cerita, hanya ada nafas yang terasa makin sesak .

"Maafkan aku Kemala, aku bodoh" lirih aku ucapkan.

4.12.2012

Dingin malam

Malam semakin larut dan dingin mulai terasa, sedang bulan telah di atas kepala, guru Wahab masih belum tampak lelah. Kami berdua terdiam kehabisan bahan canda, aku nyalakan rokok sekedar mengisi kekosongan suasana, aku dengar desah nafas dari guru Wahab yang lebih terasa sedang melepaskan beban pikiran, suasana menjadi lengang.
"Tadi ibu memintaku menemuimu disini. Ujar ibu kau sedang kacau. Tapi setelah melihat kau tertawa, apa yang dicemaskan" beliau menatapku dengan sedikit senyum lalu menambahkan kayu ke api.
"Kau mau berbagi, siapa perempuan itu"
Aku terdiam, udara semakin terasa dingin, entah apa yang akan kusampaikan tentang Kemala, sedang aku hanya menyimpan rindu atau benci yang tak pernah aku mengerti.

4.11.2012

Wahab.

"Mengambil kesempatan dari dua pertiga malam yang dijanjikan" suara dari kejauhan yang tak terlalu jauh. "salam alaika ya salam" menyambung kalimatnya dari hela nafas.
Aku curiga, sedang seharian aku larut dalam halusinasi, apa mungkin masih tak beres otakku " jangan kau dahulukan sangka, sedang yang kau hadapi nyata"
Guru Wahab menghampiri dudukku lalu mengambil ranting dari api unggun untuk menyalakan rokonya.
" Santai man.." beliau menepuk punggungku dengan keras dan aku mulai yakin jika ini benar guru Wahab, terasa dari hangat dan santainya komunikasi.
Walau usia beliau sudah diatas enam puluhan lebih namun beliau sangat energik, kritis, dan sering bercanda, aku sering berhati-hati jika berkata sesuatu, bisa-bisa aku diulas habis-habisan. Sering aku memilih aman dengan kalimat canda.
"Apa... Be te mikir dia" di susul ketawanya yang terasa membunuh sang malam

Bulan

Sekitar sudah mulai gelap. Aku tetap tak ingin beranjak, hanya berdiam merasakan segenap alam mengganti episode dengan tokoh-tokoh malam. Aku tak memerlukan alasan lain, selain membiarkan segala indra hanyut sejajar dengan perasaan.
Mudah aku menemukan ranting-ranting untuk menyalakan api sekedar menghangatkan badan. Tampak bulan mulai mengintip disebelah timur, di balik pepohonan. Langit tampaknya cerah sehingga bintang-bintang tampak bertabur. Malam yang sempurna, semakin sempurna ketika tampak bayangan bulan di alir air sungai yang perlahan.
Aku hisap rokok dalam-dalam ketika menatap kecantikan bulan. "Kemala" kusebut namanya lirih.
Setengah dari hatiku mengharap dia bahagia di sana.
Yang aku ingat hanya senyumnya yang sering disembunyikan ketika dia merasa bahagia.
Tak terasa aku tersenyum ketika mengingat kebahagiaannya.
Bulan yang setia bersama malam, dulu sering menjadi saksi.
Dan sekarangpun menyaksikan.

4.08.2012

Kembang

Aku mencoba melupakan semua. Mengalihkan pandangan pada hamparan luas kebun jagung yang hijau, terasa damai, alam begitu santun, aroma ladang menyusup di sela kedamaian yang alam berikan.
Tertuju mata pada kuntum kembang liar, rasa tergerak hati untuk mendekati.
Warnanya putih dengan kuning lembut tipis pada ujung mahkota, menampakan ekspresi yang menggoda dibalik lembut pesonanya. Naluriku lebih menguasai dan aku menciumnya, ada bau yang lumbut, ada kudus didalamnya bercampur dengan tipis sapa menggoda.
Serasa mencabut perasaan. Serasa membawa terbang, mengembalikan hayalku padanya.
Lembut harum ini terasa seperti lembut harumnya. Ya sama.
Dia yang di belanda dan kini aku takluk dibuatnya.

Bisu

Aku dan dia hanya bisa saling pandang dari jendela, tak mampu berkalimat, tapi dari sinar mata yang lebih jujur, dan sama-sama tahu apa artinya dan tak perlu bicara.
Kebisuan mewakili sentuhan, mewakili bisik perasaan, larut dalam cemooh ketidak mampuan.

Aku mulai bertanya, inikah akhirnya konstruksi. Tapi setengahnya hati mengatakan bukan ini.

4.05.2012

Cinta Telah Mati

Jika telah satu wadah dua hati, apa mungkin masih saling gapai, bukankah menggapai hanya berlaku jika masih terpisah.
Bukankah ini berarti cinta telah mati, bukankah cinta hanya dorongan reproduksi atau hasrat penguasaan terhadap materi.

Cinta bukanlah kekal. Aku dan dia telah bersama membunuhnya dengan tali rindu.

Sedang disisi lain Kasih dan Sayang menunggu menawarkan aroma yang menggoda dan disisi yang lainnya lagi sibuk mencemooh dengan pertanyaan " mungkinkah tanpa darah dan tulang"

Benar katanya

Sekarang tinggal menyisakan rindu yang membingungkan. Kehadiran justru melukai dan kepergian justru merobek hati.
Segala sisi telah buntu. Iblis tak tak lagi memerlukan persetujuan, dia sudah tak sabar dan mendahului langkah dengan menyatukan kedua hati dalam satu cawan. Cawan milik dewi.
Ada kalimat darinya yang sering terlintas dalam ingatan" tak selalu mengambil wujud darah dan tulang" begitu bunyinya.
Kalimat darinya itu sekarang terjadi. Hubungan tanpa darah dan tulang.

Mengambil Gambar

Aku sempatkan mengambil gambar sederhana  pagi tadi. Sekedar rumput yang tumbuh di pinggir jalan. Aku gunakan lensa canon 55 - 250mm pula ap...