8.30.2012

Andika

"Aku tidak begitu yakin dengan kalimatmu yang tadi kudengar" Andika
mulai mengeluarkan ganjalan dibenak, walau sangat jelas kami sudah
lelah, untuk memulai diskusi rasanya tak terlalu cukup lagi sisa
tenaga, tubuh hanya ada diantara rasa kantuk dan keengganan pulang,
sepertinya ada yang memaksa membangkitkan topik.
"Konsep yang kau susun sepertinya menarik, tapi bisakah kau sebut dari
mana asal kutipan pustaka yang menjadi sumber pengetahuanmu" sesaat
Andika terdiam, walaupun sangat tipis namun aku masih bisa menangkap
maksud Andika bertanya, yang jelas dia mengambil kesempatan dengan
pulangnya Jali. Sedikit berharap ada kejelasan atas ngawurku dan tidak
harus Jali turut mendengar.
"Sudah kuduga kau tidak bisa menjelaskan. Rip..., yang aku dengar tadi
sama sekali tidak menjelaskan apa-apa, kecuali kekonyolan.
Jaman sudah modern, filsafat sudah jauh ketinggalan, sekarang tiba
masa petik buah bukan masa pengembangan sains, apalagi memulai dengan
filsafat" Andika mengambil nafas dalam-dalam, memeras sisa tenaga
dengan mengambil pasokan oksigen sebanyak-banyaknya.
"Jika kain sudah mudah sekali didapat dipasaran dengan varian yang
beribu untuk apa harus memintal sendiri?" jelas sekali Andika ingin
menghabisi aku. Aku mengangkat muka memandang langit yang remang
dengan sedikit bintang. Haruskah aku mencari pembenaran, haruskah aku
tidak mau kalah, sedang sejak awal aku telah siap atas segala
konsekuensi. Walaupun aku mempunyai analogi lain untuk mematah analogi
Andika.

Aku juga Andika membiarkan keheningan menguasai, lelah tak mau kalah
menduduki kekuasaan atas tubuh.

Saat seperti ini, ketika telah habis pijakan akal waras selalu saja
membangkit kenangan tentang dia. Dulu aku sering kehabisan energi demi
bisa mendapat sedikit sapa dari perempuan yang aku sadari telah
membanting kesadaranku.

8.29.2012

Rak Karya

"Tulisanku tetap aku yakini sebagai rak penyimpanan terbuka atas bukti
ketidak mampuanku menggunakan energi dengan tepat, jika aku asumsikan
hidup sebagai gerak kecil individu yang saling kait demi mendukung
nasib mata rantai gerak besar kehidupan alam . Energi yang ada pada
masa tubuhku dalam satu waktu hanya memiliki satu arah pelepasan, dua
waktu berarti dua pelepasan, tiga waktu berarti tiga pelepasan dan
seterusnya. Waktu yang aku maksud adalah tempo aktivitas, jika aku
asumsikan waktu dengan sesuatu yang dibagi kerja sama dengan hasil.
Lalu bisakah kita tepat membidik dengan menggunakan dua anak panah
dalam satu busur, dalam waktu yang bersamaan.

Jika aku gunakan energi pada masa tubuh untuk membuktikan sesuatu
berarti energiku telah terlepas dan berpindah pada titik yang aku
kehendaki, yang secara otomatis akan memberi pengaruh pada titik
tersebut, karena sekecil apapun perpindahan energi selalu berdampak
perubahan pada penerima energi. namun jika energi yang terlepaskan
tidak bergerak kearah yang dituju maka energi dalam masa tubuh yang
terlepas akan memilih tempatnya sendiri, yang berarti gagal sasaran.
Menurutku manusia memiliki otak yang merupakan pemicu pelepasan
energi, sedang otak tak pernah berhenti selama manusia hidup. Namun
jika energi dilepas melalui kalimat maka hasilnya maya. Sedang kalimat
hanya menghasilkan pengaruh pada otak, bukan bukti nyata. Sedang bukti
berati bisa dilihat dan diraba. Ini maksud kegagalanku, aku tidak
mampu menggunakan energi pada masa tubuhku, lalu kalimat aku jadikan
sarana pelepasan energi.
Ini yang aku ragukan ketika aku berkalimat, terasa membuang energi
yang ada didalam masa tubuh tanpa hasil nyata, kecuali perpindahan
menuju otak individu-individu lain yang memiliki kesamaan pola. Namun
ada kekhawatiran jika energi tak dilepaskan, sedang otak terus memicu.
Andai gerak tidak, kalimat juga tidak, sedang otak memicu energi untuk
lepas pada satu tujuan, kira-kira apa hasilnya. Sedang jika energi
terlepas pasti ada reaksi" aku mengambil rokok berniat mengurangi
ketegangan yang terus mengalir dari mulutku.
"Habis berapa botol kalian tadi?, sejak kapan Urip mau kau ajak minum
Jali?" Andika memecah keseriusanku, sedang Jali tertawa, menyadari
betapa kejamnya Andika meledekku.
"Wah..., mabuk berat kamu Rip, sejak kapan kamu mengerti energi, masa"
Andika tertawa keras, menikmati kecutnya wajahku.

Dua sahabat yang aku kagumi, mereka berdua sangat faham situasi. Aku
baru sadar jika Jali akan sakit kepala mendengar ucapanku, aku lupa
jika Jali lebih faham dengan hal-hal kongkrit.
Kami bertiga menghabiskan malam dengan tawa, membiarkan lepas semua
energi, mengurangi beban.
Sedang seharusnya dua pertiga malam merupakan waktu terbaik untuk
melepas energi melalui doa, sementara semesta sekalian alam sedang
lelap dengan kondisi terlemah dan sangat siap menerima energi.

8.28.2012

Tulisanku, Takutku

"Aku tidak pernah bisa untuk benar-benar mabuk seperti
sahabat-sahabatku yang bisa asyik" aku mengawali pembicaraan.
"bukankah kau mabuk dengan karya tulis?" ujar Jali sambil meletakkan
cangkir kopi di atas meja kayu.
"bukan, bukan itu tujuan hidupku. Sedang mabuk asumsiku adalah bebas
menjadi diri sendiri, berani melepaskan segala ikatan, lalu sikap
dasar menguasai tubuh. Berlaku tetap pada satu tujuan mati-matian
mendapatkan apa yang dikehendaki, tanpa hirau atas segala rintang"
jawabku.
"Bukankah dengan menulis kau bisa menyampaikan apa yang ada di
kepalamu? Bukankah isi kepalamu adalah dirimu" Jali mencoba
membenarkan apa yang aku telah lakukan selama ini.
"Jali, aku menulis untuk ingkar, bukan untuk benar, sedang syarat
benar adalah terbukti bukan asumsi, jika kau jeli maka kau akan
mengetahui bahwa tulisanku adalah wujud kegagalanku yang meminta
pembelaan agar dibenarkan, bahkan lebih berupa pelepasan tanggung
jawab atas ide yang seharusnya aku buktikan sendiri, bukan malah
diumbar dalam wujud tulisan, ini justru seolah menyerahkan ide itu
kepada pembaca tulisan untuk membuktikan.
Tulisanku adalah wujud ketakutanku untuk menyampaikan yang sebenarnya
kepada lingkunganku, bukankah hidupku disini. Tulisanku adalah tempat
bersembunyi dari segala cemooh atas ide-ideku. Jika apa yang aku tulis
memang yang benar dan nyata tentu para tetangga akan membenarkan dan
tentu aku akan kehabisan energi untuk melayani mereka dan tak pernah
ada waktu untuk menulis.
Nah bukankah tulisanku adalah takutku" aku menyalakan rokok dan
menghisapnya dalam-dalam.
"Ya, rokok yang sedang kita hisap sudah cukup untuk membuktikan bahwa
kita bukan orang yang cerdas"

"Urip, memang seperti ini kita. Buat apa kita mengeluh"
"Bukan mengeluh Jali, tapi tidakkah kita sedang bercermin"

Suasana lengang sesaat aku dan Jali kehilangan bahan pembicaraan.
"Bagaimana perempuan yang pernah membuatmu gila dulu" Jali mengambil
bahan dari sisi kehidupanku, aku tak bisa menjawab kecuali dengan tawa
ringan, tanda ketidak sediaanku membahas.
"Ayolah..." Jali mencoba menahan pikiranku agar bahan pembicaraan tidak berubah.
"Kau masih mabuk ya..." candaku, kali ini candaku mampu menebang
keingintahuan Jali. Terbukti dari tawanya yang teramat keras. Sedang
diamku justru menarik seluruh ingatanku kepada perempuan yang pernah
membuatku gila itu. Aku menghela nafas melepaskan semua bayangan
tentangnya.

8.26.2012

Ruh

Jam menunjuk pukul 2, cuaca cerah tidak, berawan juga tidak, bulan di
sebelah barat hampir tenggelam, tampak separuh, buram cahayanya,
mungkin karena kabut asap dari lahan gambut yang sedang terbakar.
Setidaknya bukan otakku yang buram, walau aku tak jauh beda dengan
Jali, sama mabuknya.
Andika juga mabuk, dia selalu berkalimat yang sulit dimengerti,
kalimat pengidentitasan dirinya bahwa dia gila, cerdas dan
berpengetahuan, walaupun kehidupannya sekarat, tapi begitu bergairah
ketika mendapat sampel dari air selokan pabrik.
Pun Arief yang siang malam hanya sibuk menyusun konsep tata kelola
ruang yang diterjemahannya kedalam bentuk karya tulis. Mungkin semua
orang mabuk, demi menjadi diri sendiri.

Samakah aku?, aku rasa tidak, setidaknya aku sadar jika aku bukan
profesional dan menulis bukanlah cara hidupku, aku hanya merasa
seolah-seolah dilahirkan untuk berkalimat, sedangkan kenyataannya?.

Manusia telah di beri kesempatan, mengapa sia-sia dengan kalimat yang
tidak berarti. Ya, aku percaya adanya kelahiran kedua. Yaitu saat
setengah daripada ruh telah menampak wujudnya, saat manusia melihat
bukan hanya dengan mata yang ada dikepala, melainkan akan terlibat
mata dari kesadaran ruh. Saat kesadaran ruh lahir maka penglihat,
pendengar, pembau, pengrasa juga pengraba dari ruh itu akan ada
terlibat dalam kehidupan.
Dan mungkin mabuk akan menjadi pilihan terbaik, sehingga kau pun aku
bisa mengendurkan segala ikatan. Lalu membiarkan setengah daripada ruh
menampakan wujudnya yang sama sekali berbeda dengan pola pikir sang
penyusun ikatan.

8.23.2012

Untuk Apa Hidup

Sesuatu tidak akan terjadi dua kali, akan tetapi setiap waktu selalu ada kesempatan. Hanya cara memilih selera yang mungkin menyatakan tak mudah untuk menemukan kesempatan.  Sedang sehina apapun itu bisa menjadi sangat berharga ketika berada ditangan yang tepat, pun sebaliknya semulia apapun itu bisa sangat hina ketika berada di tangan yang salah.

Jali mabuk berat sehingga kehilangan sebagian besar kesadaran yang dimiliki, tapi setidaknya dia bisa tertawa dengan kesempatan seadanya. Hal-hal kecil sudah cukup membuatnya bahagia, tak perlu etika, tak perlu kesepakatan, pun tak perlu kepintaran untuk bahagia.
Banyak hal yang selalu mengganjal dihatinya jadi leluasa terkeluarkan. dan pagi setelah kesadarannya kembali waras tak perlu menyesali apa-apa yang sudah diucapkannya, bukankah Jali sudah tidak ingat dengan apa tadi malam.

Matahari sudah hampir diatas kepala, Jali masih linglung, entah apa yang harus dilakukan, haruskah melakukan sesuatu, demi apa?, mengumpulkan harta?, kemudian kaya raya?.
Jali duduk ditepi ranjang  menyangga kepala dengan kedua tangannya yang penuh dengan bulu seperti tangan monyet, tak menghiraukan istrinya yang ngomel sejak tadi pagi.

8.22.2012

Mabuk

Kesadaran waras tinggal seperempat, bahkan kurang yang ada, mata
terlihat berat, sedang mulut terus menyuarakan kalimat-kalimat ajaran
Tuhan, jelas sekali minta dibenarkan semua keyakinan yang dimilikinya.

Jali adalah sahabatku, dia singgah dengan aroma alkohol pekat. Ini
yang kadang aku tidak pernah faham, mengapa aku harus berhadapan
dengan situasi seperti ini. Tapi bukankah jali datang kepadaku dengan
kesadaran yang masih tersisa, bukankah aku sisanya yang ada di kepala
Jali.
Tidak banyak yang bisa aku lakukan terhadap Jali, kecuali membiarkan
dia ngoceh tak karuan arah.
Jadi teringat kalimat dalam kitab yang dulu sering aku kupas
"tempat iblis ada disetengah hati manusia, dan setengahnya lagi ada di
minuman keras" itu kira-kira terjemahannya.

Satu hal yang aku coba amati, seperti inikah aku dulu jika sedang
mabuk?, control suara pun etika kalimat lengah, memori-memori yang
seharusnya disimpan terkeluarkan semua.
Sedikit geli jika aku bandingkan dengan ketika aku sedang mabuk
cinta. Mungkin jua tak akan jauh berbeda.

8.20.2012

Bukan Salahmu Tapi Salahku


Yang paling berat justru kesediaan menjadikan aspek keburukan orang lain yang menyakitkan hati kita pada masa lalu tersadari sebagai fungsi manfaat atas berlakunya kehidupan, bukan sebagai pengganggu dari kehidupan. Lalu menganggap segala kekejian yang terlontar justru bersumber dari keburukan diri sendiri, sehingga menjadi teramat pantas ketika orang lain menyakiti hati kita, sesungguhnya mereka tidaklah berkehendak untuk menyakiti hati kita, kecuali mereka melukai keburukkan yang ada pada diri kita sendiri. Demi belajar memahami santun sebagai etika sosial.
Memohon maaf dengan kalimat-kalimat puitis justru terasa sebagai kebohongan yang menghilangkan esensi maaf, mengapa tidak mencoba untuk  meminta maaf dalam wujud yang bukan kalimat, melainkan belajar untuk tidak  berbuat sesuatu yang bisa memancing kekejian itu datang.
Mungkin dengan cara ini kita bisa belajar untuk menjadi manusia yang lebih memiliki harkat juga beradab. Bukan manusia yang dipenuhi kalkulasi, yang nantinya justru menggerogoti keikhlasan kita sendiri.
Belajar dari bisik sahabatku yang masih ber-Tuhan “ jika ditampar pipi kirimu maka berikanlah pipi kananmu”
Jika simbul-simbul kemarahan dan kebencian itu tersadari telah tiba, baik segera maafkan diri sendiri yang telah berlaku buruk, sehingga dengan sendirinya maaf kepada orang lain itu berbisik dihati dengan lembut, hingga memancing senyum dibibir.
Minal ‘aidin walfaidzin.

8.18.2012

Sia-siaku Tuhan

Berapa sehingga cukupnya menghabiskan umur terhadap pengejaran.
Hingga kapan?, sehingga kita bisa mengambil peran sebagai diri sendiri
yang mampu memberi manfaat hingga menopang kepada kehidupan yang lain,
bukan sekedar pikiran dan perdebatan yang menghasilkan lelah tanpa
wujud.
Esensi ajaran tentang melayani Tuhan atau esensi ajaran tentang
khalifah di muka bumi. Sedangkan rumput telah memberi manfaat kepada
ternak, angin memberi manfaat kepada nelayan, lalu hingga kapan kita
selalu minta dilayani air, tanah, tumbuhan atau bahkan alam seisinya,
lalu kita khalifah atau penjajah, kita pelayan atau yang dilayani?

Setidaknya pria telah memberi manfaat ekonomi terhadap keluarga atau
perempuan telah melahirkan putra-putri mereka. Tapi cukup itukah?
Sedang lingkungan yang lebih luas menunggumu atas manfaat, atas adanya
kamu pun aku bukan sekedar ada, melainkan menopang kehidupan yang
lain.

Aku bingung ketika kau menemui Tuhan di pura, gereja, masjid, wihara
atau tempat-tempat ibadah megah yang kadang aku lihat sebagai tempat
berkumpulnya golongan yang saling berbeda, sedang Tuhan tidak pernah
membedakan.
Sedang yang aku dengar Tuhan meliputi semesta sekalian alam,
seharusnya Dia berada di semesta sekalian alam, bukan di tempat
tertentu.
Memahami ajaran Tuhan atau memahami ajaran pikiran?, tidakkah engkau
meraba-raba, tidakkah yang kita imani hanya pikiran, benarkah terasa
dengan sebenar-benarnya Tuhan memang ada, bukan sekedar sangka, sedang
Tuhan meliputi semesta sekalian alam, bukan semesta pikiran, atau
semesta guru, atau semesta kitab.

Latar agamaku mengenalkan Tuhan dengan kalimat "jika engkau ingin
mengetahui Aku maka ketahuilah ciptaan-ciptaan-Ku"

8.16.2012

Benarkah Menjamin

Sedangkan jika aku bertanya mungkinkah engkau akan menjawab dengan
benar, sedang benar berarti bukan asumsi pun keyakinan, melainkan
terbukti nyata.

Ada kisah nyata di tanah Borneo sekitar sepuluh atau sebelas tahun
silam, satu etnis dari luar tanah Borneo mencoba mengambil kuasa atas
kearifan suku dayak. Etnis luar tersebut adalah golongan pemuja agama,
mereka orang-orang yang selalu mentasbihkan nama Tuhan. Ketetapan hati
mereka terhadap Tuhan sungguh luar biasa bila dilihat dari cara
berpakaian maupun fasihnya menyuarakan ayat. Ya, mereka sangat
meninggikan agama.

Namun menjadi pertanyaan saat suku dayak yang merasa dirampas, terusik
dan direndahkan telah hilang kesabaran memutuskan perang dan memenggal
leher etnis luar itu menjadi sumpah. Rupanya benar terkabul. Lalu
tercatat sebagai kejadian Sampit. ( cari saja kisahnya, klik kejadian
sampit atau datu panglima burung di google)
Semua etnis luar itu habis dengan kepala terpisah dari badan, mereka
yang merasa memiliki darah etnis itu jika masih hidup memilih lari
tunggang langgang.
Supaya engkau ketahui orang dayak hanya mempercayai alam, mereka buta
kitab seperti yang engkau pelajari. Tapi suku dayak tak pernah salah,
dia bisa membedakan mana yang sedarah mana yang suku lain, mana yang
hak mana yang bukan.

Sekarang aku bertanya, kemana Tuhan saat kejadian itu, sedang etnis
itu berteriak memanggil nama-Nya demi mendapat perlindungan, mengapa
yang tersisa justru terpenggalnya leher mereka. Mengapa suku dayak
yang memuja alam justru mendapat kemenangan. Dimana Tuhan.

Cerita dua tahun silam,
suku dayak bukan orang pintar, tapi mengapa waktu itu harus dihadapkan
dengan bule pintar.

"Mengapa kau minum air kotor itu?" bule bertanya kepada orang dayak.
"Ini yang biasa kami minum" jawab orang dayak dengan polos.
"Air kotor mengandung banyak bakteri jahat yang tidak bagus untuk
kesehatan" bule menceritakan tentang air sambil mengulurkan air
mineral kemasan kepada orang dayak. Sejenak orang dayak kagum oleh
jernihnya air mineral dalam kemasan.
"Aku dengar di negara asalmu orang sangat memperhatikan kesehatan.
Semua tekhnologi dikuasai. Aku dengar di negara asalmu jika jantung
rusak bisa diganti, ginjal rusak bisa diganti, mata rusak bisa diganti
pokoknya semua anggota tubuh jika rusak bisa diganti. Apapun sakitnya
bisa diobati.
Nah orang di negaramu berarti bisa berumur sampai lima ratus tahun
bahkan lebih, kan semua sakit bisa diobati, jika jantung rusak
seharusnya mati, tapi jika yang rusak diganti dengan yang baik tentu
tidak jadi mati. Kalau disini orang paling sembilan puluh atau seratus
tahun saja umurnya" dengan sangat bersemangat si dayak menanyakan, dia
berharap akan mendapat jawaban yang wah.
Tapi yang didapati justru si bule terlihat bingung menjawab. Bagaimana
tidak, maunya dijawab, tapi pertanyaanya terasa konyol, sedang
setengah hatinya membenarkan pertanyaan itu.

Sekarang aku bertanya padamu, benarkah medis menjamin, bukankah dalam
teori jika rusak kemudian diganti dengan yang baik seharusnya baik?,
tapi mengapa baiknya kesehatan tak juga menjamin umur?

Lalu apa yang menjamin kehidupan?

Sayangnya kekasihku memilih diam, menutup semua cara silaturrahmi,
sedang aku mengharap senyumnya untuk mendinginkan otak warasku yang
ternyata makin tak waras.

Salamku tentu untukmu.

Dosa

Kau sebenarnya mengetahui aku tidak lagi ber-Tuhan, apalagi beragama.
Dan aku juga mengetahui olokmu padaku, aku juga tahu kau menyangsikan
aku, tapi sayangnya aku tak melihat caramu mencibir dan meludah ketika
kau mengetahui betapa sesatnya aku.

Tapi bisakah kau menjawab, Tuhan yang mana harus aku jadikan Tuhan,
Tuhan milik Majusi, Kristiani, Islam, atau yang mana, sedang mereka
percaya tentang Tuhan yang satu. Mereka membawa kabar tentang
kebenaran masing-masing, kitab masing-masing.

Aku melupakan Tuhan seperti yang mereka kabarkan, hingga pertemuanku
denganmu nyata-nyata membawa kebenaran tentang adanya ketidaktahuan
yang aku nyatakan sebagai fitnah jika kau katakan sebagai campur
tangan Tuhan.

Segala sesuatu terjadi karena sebab, akan tetapi sebelum kau tahu
sebab dari sesuatu itu telah kau jatuhkan vonis "sebab Tuhan" sedang
kau telah diberi akal dan pikiran.

Dan sekarang kau mengatakan aku sebagai pengikut monoteis ala barat
yang mati hati dan perasaan. Yang mengambil langkah hanya berdasarkan
science dan matematis. Sedang kau sangat tahu betapa bodohnya aku,
dengan pola pikir tradisional terlalu jauh dengan barat.

Aku berdiri sebagai yang tidak tahu, dan kau tahu itu.
Setidaknya aku merasa Tuhan tahu dari setiap helai daun yang gugur.
Tentu Tuhan dengan mudah mengetahui isi hatimu, apa-apa perasaanmu.
Sedang yang aku tahu hanya memikirkanmu.

8.15.2012

Konsep

Bukankah konsep hanya ditujukan untuk sesuatu yang belum tentu
kebenarannya, agar yang belum tentu benarnya itu bisa diterima sebagai
sesuatu yang benar, jika sesuatu itu telah benar untuk apa minta
konsep lagi. Takutku ketika sesuatu yang telah benar itu diberi konsep
justru akan terasa salah.
Benar tak perlu alasan, alasan hanya berlaku untuk sesuatu yang salah.

Bukankah kau dan aku telah berbagi ruang, dan kalimatku bukanlah
konsep, melainkan inilah caraku menyatakan, sehingga kau tahu aku
memang ada.

8.14.2012

Belajar?

Aku sadar jika orang yang aku hadapi bukan tipe orang yang memahami
kehidupan, dalam hatiku masih ragu apa yang diinginkan dariku dengan
kedatangannya, rasanya berat. Sebelumnya sudah terlalu sering aku
terlibat diskusi dengannya, akan tetapi tak pernah ada harmonisasi
dialog. Rasanya tak pernah nyambung.
"Buat apa sekolah, yang penting bisa baca tulis, dan yang utama
berani, itu pasti sugih. toh bos batu bara sepertinya hanya tamatan
SD, tapi duitnya milyaran dan bisa menggaji orang-orang yang bergelar"
dengan pasti Edy menyampaikan pemikirannya.

Mampus aku, mendapati kalimat yang sudah terlupakan, rasanya tak perlu
juga dibahas di jaman yang sedemikian modern, bingung aku mengambil
sikap. Jika tak aku tanggapi dia tamu dan dengan jelas berbicara
padaku. Berani yang dimaksud Edy adalah gaya preman. Edy sebenarnya
sudah berusia kepala empat, dia sangat orientasi pada harta, baginya
harta adalah sumber kehormatan, hingga bisa dihormati orang lain. Dulu
dia bekerja pada perusahaan plywood dengan jabatan kepala produksi.
Sampai saat inipun aku masih bingung dan bertanya-tanya, di perusahaan
tempat dia bekerja dulu seperti apa cara merekrut karyawan. Dalam hati
memuji keberuntungan Edy sehingga bisa mendapat posisi kepala disana.
Dan aku sadar ucapan Edy memang ada benarnya, memang kebanyakan di
Kalimantan para pemain batu bara adalah bukan berasal dari orang yang
mendapat pendidikan tinggi, dan memang mereka berani (kontak fisik).

"Pak, seandainya prasyarat berhasil memang itu, mungkin aku akan
melakukannya juga. Tapi sampean tahu preman di pasar atau terminal?,
nah... mengapa mereka tidak sukses seperti pemain batu bara?. Mereka
tidur aja di kontrakan sempit. Cobalah sebelum merakit konsep di lihat
dengan benar di kehidupan nyata. Ambil sampel dari ciri hidup yang
sama, lalu berapa persen yang sukses dengan cara itu" kalimatku
sekedar meredam pola pikir Edy.
Edy tersenyum pahit, mungkin merasa aku patah.

"Dulu pernah seorang anak datang padaku dan minta diajari untuk
memainkan gitar, sedang aku juga tak begitu mahir memainkannya.
Singkat cerita akupun bersedia membantu mengenalkan kunci dasar dan
beberapa kunci lagu yang sedang populer waktu itu. Anak itu mencoba
dan terlihat kesulitan, akan tetapi dia tetap tekun. Bulan berganti
bulan kelihatannya dia masih belum ada tampak peningkatan, hingga
suatu ketika aku harus berangkat menuju Jakarta. Sudah barang tentu
dia tak bisa ikut. Dua bulan berikutnya aku kembali di Kediri, aku
mencoba menemuinya lagi, tapi dia justru sudah tidak ada, entah
kemana.
Kira-kira empat tahun kemudian kebetulan aku menghadiri undangan
pameran seni rupa di Taman Budaya Solo, Tuhan rupanya mempertemukanku
dengannya lagi. Tapi kali itu aku menjadi terkagum-kagum ketika dia
memainkan gitarnya, dia memainkan dengan sangat lembut, dia mampu
bermain dengan sepenuh hati, dia mampu berbicara dengan menggunakan
petikan tali gitarnya. Sungguh sempurna di telingaku.
Dia kemudian menyatakan betapa besar terimakasih padaku, aku bingung,
sedang aku merasa tak pernah mengajarkan yang sehebat itu.
Anak itu bilang bahwa mustahil dia bisa memainkan gitarnya tanpa ada
orang yang pernah mengenalkan pada kunci dasar.

Nah itu kegunaan pendidikan, bagaimana sampean mampu memainkan gitar,
sedangkan sampean kunci dasar tak pernah belajar. Tentu setelah
memahami kunci dasar bukan berarti harus tetap seperti yang diajarkan,
melainkan jadilah diri sendiri, kunci itu akan mengalir dengan
sendirinya lalu sampean bisa menemukan improvisasi, menemukan saat
menyatunya kalimat hati dengan dawai.
Pemilik tambang atau pengepul batubara bukan sekedar berani, melainkan
dia harus belajar memahami kultur wilayah itu. Dia telah belajar pada
pendulu disana tentang ciri tanah yang mengandung batu bara, kalori
batu bara, ataupun dimana harus meletakkan keberanian, bukan asal
saja. Dan kini dia menjadi diri sendiri, bermodal dari yang
dipelajari. Bukan simsalabim. Pendidikan memang tidak harus formal, di
kaki langitpun bisa, tapi tetap pendidikan"
makin kecut Edy. Dalam hati maafkan aku Ed...

8.11.2012

Tamu

Kopi makin dingin, sedang rokok terus menyala, kedua tamuku
kelihatannya enggan menghentikan pembicaraan. Aku juga tak keberatan
dengan kedatangan mereka, sebab sudah kebiasaan hampir di tiap malam
selalu ada saja tamu yang datang sekedar ingin ngobrol ringan untuk
mengusir kesunyian jiwa mereka, sambil sesekali mengupas pemahaman.
Sebenarnya tubuhku malam ini sudah teramat letih, akan tetapi aku
berusaha menghormati mereka dengan tetap mengimbangi pembicaraan,
walaupu aku lebih cenderung menjadi pendengar.

"Anakku masih saja belum bekerja, rasa ijasahnya tak laku, entah sudah
berapa lamaran yang dibuat" ujar H. Arifin, terlihat ada kegusaran
yang mendalam.
"Lulusan apa Ji (Haji) anaknya?" Badri menimpali.
"Akademi Uang Bank" jawab H. Arifin.
Pembicaraan kelihatannya sudah kehabisan bahan, sehingga permasalahan
di rumah mulai dijadikan topik. Aku masih saja setia mendengar
keduanya mengembangkan pembicaraan, hingga melebar tanpa arah.
"Urip bukankah kamu juga sarjana?" tiba-tiba Badri merampas
kesetiaanku untuk menjadi pendengar. Sedang aku yang tak siap atas
pertanyaan hanya menjawab dengan tawa, berharap agar jangan diteruskan
pertanyaan, aku memilih sibuk menikmati caraku bersandar yang mulai
awal terasa kurang pas posisinya.
" Ya, dan aku tidak menggunakan itu" aku tak tega membiarkan mereka
menunggu jawaban.
"Mengapa?" Badri justru makin penasaran. Dan tertawa lagi menjadi
pilihan terbaik, karena akan terlalu panjang nantinya, dan aku tak
ingin.
Sejenak kami bertiga terdiam, membiarkan kosong menguasai.

"Ji, yang menjadi permasalahan justru karena adanya sampean (kamu),
anak sering tidak bisa mandiri atau berusaha karena adanya orang tua
yang cukup dalam artian ekonomi. Sehingga kemampuan untuk mengupayakan
sesuatu jadi setengah hati, karena dibenak mereka masih ada yang
dijadikan sandaran. Coba jika jauh dengan orang tua, apa mungkin anak
tidak berusaha habis-habisan demi bisa hidup.
Ulun (aku) ambil contoh, jika ulun boleh memilih mungkin akan senang
jika tetap bersama orang tua, karena jika dirumah orang tua ketika
membuka lemari pendingin isinya selalu penuh, daging, ikan, sayur
pokoknya serba ada. Jadi malas. Coba dirumah sendiri. Kalau membuka
lemari pendingin, isinya bisa sepatu atau sandal, bahkan bisa gergaji.
Tapi justru dirumah sendiri yang jauh dari orang tua ulun bisa
mengembangkan kemampuan, tidak harus menggunakan latar belakang
pendidikan, ulun berusaha keluar dari kesusahan yang melilit, ulun
akan berupaya lemari pendingin akan berisi makanan, bukan sendal atau
sepatu, entah seperti apa caranya" giliran mereka yang tertawa,
padahal aku sungguh-sungguh.

"Tadi sore di televisi bapak B.J. Habibie berencana membangkitkan
kembali IPTN Nurtanio Bandung yang mati suri, tapi yang ulun cermati
justru sewaktu beliau berbicara. Beliau berbicara tak tampak lagi
sebagai orang cerdas yang berhati-hati, akan tetapi berbicara dengan
greget yang kuat, terlihat nasionalismenya yang kuat, ingin
membangkitkan semangat yang mampu berdiri diatas kaki sendiri. Jelas
sekali emosi terlibat dengan kental. Beliau yakin bangsa ini bisa
menghapus pandangan orang luar yang menganggap bangsa ini sebagai
bangsa kuli.
Ini yang ulun maksud dengan dorongan untuk bangkit dengan menggunakan
kombinasi kecerdasan otak secara utuh, bukan otak cerdas melulu"
saking semangatnya ngomong, aku salah menempelkan rokok ke bibir,
justru bagian apinya yang nempel di bibirku.

8.10.2012

Takut

Seulas senyum telah mengambil tempatnya sendiri dalam kehidupanku.
Tentang apapun yang pernah aku lalui selalu akan tercatat dengan rapi
di kerut wajah ini. Terkadang aku malu jika orang lain bisa membaca
pahatan di wajahku.

8.08.2012

Pikiran

Bagaimana mungkin aku percaya pada pikiran, yang disetiap hembusan
nafas selalu menawarkan hidangan yang tak terbatas, merayu seluruh
komponen tubuh untuk mendengar khotbahnya. Memberi gambaran tentang
esok, minggu depan, bulan depan, tahun depan, bahkan jika mungkin
seratus tahun kedepan. Tentang kamu, atau tentang apa saja yang dapat
ditangkap pikiran tentu akan diubahnya menjadi pengandaian yang
menggoda untuk dicermati.

Ya, lebih celakanya lagi ketika pikiran mengasapi perasaan, hingga
memaksa otak cerdas untuk menghitung setiap kemungkinan yang
memungkinkan.

Nah sukses!. Pikiran mendapat pengikut, diawali dengan mulut yang
telah sedia untuk berkalimat manis, atau jemari yang tak henti
mengetik kalimat puja, menyusun kemungkinan yang serba, olah karya
otak cerdas.

Sedangkan alam yang tak pernah dusta akan terlihat seperti pendusta.
Bukankah jika kau tanam padi maka alam akan menumbuhkan padi, tak
mungkin menumbuhkan jati, tak sedikitpun berani mendusta apalagi
ingkar. Pun alam tak pernah jera ketika kejujurannya hanya mendapat
cibir. Ketika kejujurannya hanya mendapat kalimat "cuma itu? . Ah.."

Pikiran selalu diimani manusia, demi bisa menyandang predikat manusia
yang lebih tinggi derajat. Hingga bersedia menanggung beban berat akan
tanggung jawab semesta beserta isinya.

Bukan, aku tidak percaya esok, juga masa lalu. Masa lalu adalah
sekarang, esokpun juga sekarang.
Apapun masa laluku sekarang inilah hasilnya, tak perlu sesal apalagi
bangga. Inilah aku, yang nyata-nyata jelata. Jelata hasil dari malas
pada masa lalu. Hari ini kau bisa lihat aku, aku dari hasil dari masa
laluku.
Apapun esok, hari ini jua. Apa yang aku lakukan pada hari ini tentu
menentukan esok. Ya.. Hari ini aku malas, dan esok kau sudah tahu
jawabnya saat ini jua.

Hidup adalah pertanyaan masing-masing, bersama kesunyian pun kericuhan
masing-masing.
Akan tetapi aku pun kau bagian dari alam, sedangkan alam tak
sedikitpun dusta. Bukankah sekarang kita sedang mengimani pikiran
untuk ikut membangkang dari skenario alam. Seperti pembangkangan
iblis. Yang enggan sujud kepada Adam, walaupun itu perintah Tuhan.

8.07.2012

Kemenangan

Sekarang dia tertawa lagi, walau dia sangat tahu akan tawanya yang
selalu mendapat cemooh, tapi itu tak pernah dipedulikannya. Sedang
sejak pertandingan dimulaipun sudah jelas siapa yang akan jadi
pemenang. Pertandingan macam apa ini.

Ya, pikiran yang selalu dan selalu menantang untuk membuktikan desain
yang dibuat dengan tekun, disejak kesadaran bangkit. Desain yang
ditaburi aroma penggoda, menggunakan pemikat yang diambil dari asap
minyak kasturi akhirat, kesukaan manusia. Dan benar, manusia bersedia
jadi pengikut mendapati blue print yang terpampang dan menggoda itu.

Kejinya sang waktu justru ketika berpura-pura lemah dan takut, akan
tetapi dibelakang jubah agung yang dikenakan diam-diam kedua tangannya
menyiapkan jerat pencekik leher yang siap di kaitkan ke leher
pengikut. Leher manusia.

Benar lagi, sang waktu menang. Bukan menyungkurkan penantang melainkan
menyungkurkan pengikut.

8.06.2012

Sesal


Aku bukan karakter yang mampu fokus, seperti tafsirku tentang  makna belajar memanah (edisi  3 Agustus 2012, yang berjudul “ Maafkan”) .  Aku suka membiarkan apa saja masuk dan mengambil ruang dalam kehidupanku.
“ Celaka, sungguh celaka” kutukan sederhana yang sering ditujukan padaku dan  teramat sering aku dengar. Aku membiarkan mekanisme alam membengkok luruskan perjalanan hidupku.  Hingga tiba hari itu, aku bertemu denganmu.
Ya, agak kembali waras yang aku dapati, otak kiri yang sering kau sebut-sebut itu kini bangkit dari tidurnya. Akan tetapi aku memang setengah iblis yang mewujud barangkali. Otak kiri itu justru makin suka memutar balik apa yang telah menjadi kesepakatan sosial. Tapi biar, inilah aku, bukan seperti yang lain, bukankah masing-masing pribadi memiliki istimewanya masing-masing, termasuk keburukan yang mengakar dalam kehidupanku , istimewa ketika menjadi terburuk, istimewa karena tak satupun pribadi ada yang sama.
 Hanya satu catatan kecil yang  akan tetap aku simpan dan aku jaga, catatan tentang harapan, satu harapan untuk bisa menemukan apa itu yang dikatakan sebagai kebenaran. Harapan. Sama seperti dongeng kotak pandora yang pernah engkau ceritakan padaku setahun yang lalu, dan aku masih setia menyimpan. Pun aku tahu itu tidak akan membuatku lebih pintar, tentu kau sangat tahu memanglah aku bukan orang yang pintar.

Ada satu hal yang aku sadari, akan tetapi semuanya sudah terlambat. Mungkin ini yang membuat aku menjadi berbeda. Aku sangat terlambat menyadari jika ada mekanisme dalam kerja tubuh yang seharusnya sejak jauh-jauh hari bisa terkontrol keteraturan sistemnya.
Aku ambil contoh soal hati. Sedang pengertian hati yang difahami masyarakat secara umum nyatanya berbeda dengan pengertian ilmu medis.
Medis menterjemahkan hati sebagai kelenjar besar yang terletak diperut sebelah kanan, dengan fungsi alat ekskresi. Membantu fungsi ginjal dengan memisahkan mana yang bersifat racun dan mana yang berguna untuk tubuh.
Sedang masyarakat umum menyatakan hati sebagai intrumen dalam tubuh yang berbeda fungsi maupun letak dengan uraian medis. Dalam pandangan masyarakat hati bisa berarti tempat untuk bersemayamnya kondisi (bersih, kotor, baik, buruk, sedih pun bahagia) dan sangat mempengaruhi sebelum terjadi tindakan (niat). Tentu  akan banyak asumsi lain tentang hati yang lebih tepat.
Namun pada kenyataanya semua pusat pengendalian tubuh ada dikepala. Bukan di perut sebelah kanan (hati pengertian medis).
Jika aku mengabaikan semua fungsi hati diatas, dan mengambil kejadian yang ada dalam kehidupan sehari-hari maka akan lain lagi hasilnya. Sekedar contoh, jika seseorang mendapati sesuatu yang teramat buruk, mengapa justru terasa menyakitkannya di dada, bukan dikepala. Bukankah menurut akademisi yang menggeluti otak seharusnya hati itu di otak jua.  Jadi wajar jika orang kuno menunjuk hati itu di dada.

Lalu aku mengambil apa yang diajarkan oleh agama. Agama mengajarkan untuk memperbaiki hati, bisa membedakan mana yang halal dan mana yang haram, mana yang baik pun mana yang buruk. Demi hari kemudian, hari akhir.
Jika  aku kembali kepada sistem kendali  tubuh yang berada di kepala, maka akan ada sedikit gambaran bahwa agama mengajarkan untuk bisa membedakan baik pun buruk rupanya ada keterkaitan dengan fungsi organ tubuh secara medis yang berujung pada panjangnya umur.
Jika hati di otak kita tidak bisa membedakan baik pun buruk, maka kemungkinan fungsi hati (medis) juga akan berlaku sejajar dengan tidak bisa membedakan racun pun nutrisi. Jika terbiasa melakukan yang haram, takutnya fungsi  hati (medis) juga berlaku sama, akan menyerap juga racun, bukannya dibuang bersama air seni.
Rupanya agama mengajarkan untuk menyusun keteraturan pada sytem kerja otak, utamanya system kerja otak yang berada  dibawah control sadar (jantung, hati, pencernaan dan banyak lagi, aku tidak begitu tahu soal  tubuh). saya ambil contoh orang yang melakukan latihan beladiri jika mendapat serangan mendadak maka akan otomatis melakukan tangkisan (reflek). dan reflek bersifat bawah control.
pun kebiasaan membedakan baik dan buruk jika dilakukan secara teratur akan menghidupkan reflek.Dan reflek tidak melulu organ luar, namun bisa timbul pada organ dalam termasuk hati(medis).
Nah, aku terlambat menyadari itu,dalam tubuhku terlanjur banyak racun yang diserap oleh hati(medis), tinggal menunggu hari datangnya sakit. Control bawah sadar tidak bisa seperti otak cerdas yang mudah menerima penyampaian dan segera memahami. Otak bawah sadar hanya bisa diajari dengan keteraturan yang terus-menerus tanpa henti.
Jika ingin mermbuktikan sangat mudah. Jika engkau berada di lingkungan muslim, maka perhatikan, mereka yang taat mengerjakan sholat maka jam tidur maupun bangunnya akan teratur (kebanyakan mereka tidak tahan membuka mata hingga larut). Sedang yang tidak mengerjakan sholat kebanyakan tidak teratur rasa kantuknya( bisa dini hari baru kantuk), pun bangunnya, bisa sudah siang. Dengan catatan cari sample yang sama dalam kehidupannya , contoh ambil sampel dari beberapa orang yang masih sekolah, atau pengangguran.

Agama bagiku logika, agama pun kitab untuk manusia, seharusnya bisa difahami manusia, seharusnya masuk akal manusia. agama tidak diturunkan untuk hewan, bukan jua untuk Tuhan sendiri. Asumsiku ritual bukan untuk Tuhan. Tuhan tidak gila hormat. Ritual adalah cara menghidupkan control bawah sadar, demi nasib manusia itu sendiri.
Dan aku termasuk golongan orang yang merugi, karena aku telah mengabaikan peringatan.

Tak lupa aku sangat-sangat minta maaf atas gilanya aku. Tak bermaksud melecehkan, melainkan aku ingin meledakkan isi kepala. Sungguh bersyukur ketika kau katakan aku sebagai kawan dari setan yang dikutuk dan dirajam.

8.04.2012

Biarlah

Bukankah seharusnya jangan  dibiarkan rasa itu menentukan bentuknya,  bukankah pada akhirnya justru akan menimbulkan luka dihati. Bukankah seharusnya jangan pernah memberi ruang untuk perasaan terhadap dia, bukankah itu akan menguras seluruh ruang yang kau miliki. 

Bukan, aku sengaja membiarkan rasa itu menentukan bentuknya sendiri, tak jadi soal jika harus melukai.
Aku membiarkan perasaanku terhadap dia untuk menentukan ruangnya sendiri, aku tak menyoal jika harus mengambil seluruh ruang yang aku miliki.


Maafkan



Ada salah satu sabda dari salah seorang penyampai ajaran Tuhan yang pernah aku dengar dan kadang bangkit dari benak. Ya.. memang aku telah kehilangan ingatan akan itu semua, walaupun dulu dengan tekun aku membaca kitab-kitab ajaran.
"Jika engkau mempunyai seorang putra maka ajarkan kepadanya untuk memanah, berkuda dan juga berenang" itu kira-kira dari inti kalimat yang aku ingat. Kalimat sederhana bagi orang lain akan tetapi begitu membingungkan dan rumit bagiku. Bagimana tidak, sedang sepengetahuanku pemilik sabda itu bukan ahli memanah, bahkan senjata yang digunakannyapun berupa pedang, bukan panah.
Dan ajarkan kepadanya untuk berkuda, sedang penyampai sabda tersebut dalam ingatanku tidak pernah diceritakan menunggang kuda. Bagaimana mungkin seseorang bisa memberikan nasehat, sedang penyampai sama sekali tidak pernah melakukan apa yang diucapkannya.
Yang makin membingungkan lagi pada kalimat terakhir, tetang ajaran renang.  Sependengarku beliau tak pernah dikisahkan bisa berenang, lebih membingungkan lagi ketika aku mengigat apa yang pernah aku dengar tentang dataran Arab, menurut cerita di negeri itu susah mendapatkan air, lalu bagaimana mungkin untuk berenang.
Maaf jika aku salah, tolong dinyatakan yang sebenarnya jika aku salah, (anggap aku orang sesat/kafir)

Saking bingungnya suatu ketika aku berdiskusi dengan seorang sahabat, namun dari diskusi itu hanya menimbulkan kerancuan. Diskusi tak membawa hasil, " mengapa tidak dicoba saja" usul sahabatku. Aku bengong, tidak aku sangka usulan itu dialamatkan padaku.
Singkat cerita kami akhirnya benar- benar melakukan tiga hal tersebut. Dan berujung pada tidak juga ada sesuatu yang bisa kami fahami.

Tapi setidaknya ada sedikit pengalaman yang bisa aku jadikan rujukan.
Memanah sungguh hanya mudah dibayangan juga ucapan, akan tetapi sulit mencapai sasaran bidik. Memanah sangat memerlukan fokus, begitu menarik anak panah dari busurnya tak lagi kita bisa memperhatikan yang lain, selain sasaran. Pun perasaan juga analisa lingkungan (utamanya angin) sangat berperan.
Sedang berkuda juga mudah dilihat, akan tetapi jika kita belum terbiasa akan menjadi masalah, memerlukan tehnik kusus, dan yang tak kalah penting memahami karakter kuda yang sedang kita tunggangi  (aku ambil dari pengalaman pemilik kuda di daerah Takisung, kira-kira 80 km dari kota Banjarmasin).
Dan berenang , yang ini aku sudah terlalu sering melakukannya, satu hal dari berenang yang aku fahami, tetap berusaha untuk bisa mengapung atau tenggelam yang berarti mati. Dari kebiasaan, aku tidak terlalu memforsir energy setiap kali berenang, biasanya aku berusaha rilek, cukup bisa terapung, sisanya jika memungkinkan baru menambah kecepatran. Jika ingin cepat maka aku akan selalu perhatikan jarak tempuh terlebih dahulu, untuk mengukur kemampuan.( maklum, aku perenang sungai, bukan atlit profisional)

Jika aku asumsikan dengan apa yang aku alami, mungkin maksud dari sabda itu akan mengarah pada kebijaksanaan hidup. Bukan murni seperti yang disabdakan. Mungkin.
Memanah kemungkinan yang dimaksud adalah tentukan yang engkau kehendaki dan  fokus, kombinasi kecermatan dan analisa juga perasaan akan sangat diperlukan. Satu sasaran dengan jelas. fokus, fokus dan fokus pada tujuan.
Berkuda kemungkinan yang dimaksud untuk belajar mampu menyelaraskan dalam kerjasama, memahami secara utuh, kesatuan kerjasama team yang mampu saling isi. Berhubungan dengan sesuatu sampai benar-benar faham dan mampu menyentuh hingga esensi.
Berenang kemungkinan yang dimaksukan jangan terlalu menggila dalam kehidupan, jangan terlalu agresif hingga lupa daratan yang justru bisa berdampak pada kondisi sebaliknya, menenggelamkan diri sendiri.
Rupanya sabda itu akan multi tafsir. Dan itu saja yang aku fahami, sudah tentu salah. dan aku berharap maaf.

Salamku, untuk semua yang sedang menjalankan apa yang telah diperintahkan pada bulan penuh berkah.

8.03.2012

Dekat

Setiap manusia memenuhi takdirnya sendiri-sendiri tak satupun akan sama, mereka selalu berusaha menuju kondisi bahagia mustahil jika kesedihan yang dituju, walaupun mereka juga tak begitu yakin dengan kebahagiaan itu sendiri. Mimpi, ya impian.

Dan  masing- masing mengejar, hingga lupa dengan sang waktu yang terus merayap dan siap untuk berubah muka menjadi momok, lupa jika segera tiba saatnya  gemerlap yang selalu dipelupuk mata perlahan sirna, sinarnya meredup, dan mimpi itu perlahan berubah wujud menjadi bayangan hitam yang terlalu dekat dengan urat nadi. Terkejut ketika mendapati sekeliling berubah menjadi terror, mendapati terlalu banyak waktu demi mengejar kepuasan diri sendiri, demi mimpi yang sungguh nyata liar, mimpi itu bahkan telah menentukan langkahnya sendiri, sambil menarik jerat dileher pengejar mimpi. Tersadar. Tak begitu banyak yang bisa diberikan kepada kehidupan lain, demi catatan menjelang sakaratul maut.

 

Seperti itukah jalanku, bukan. Aku menyerahkan diriku pada ritual alam, aku menari mengikuti suara gemrisik daun-daun yang tertiup angin. Aku tidak lagi bisa membedakan mimpi atau nyata, waras atau gila. Aku selalu sadar disetiap langkah yang aku lalui, aku sadar jika darahku telah hitam.

 

Jika kau tanya aku tentang dia, yang aku tahu hembusan nafasnya masih saja dekat dengan telingaku. Aku memikirkannya sama seperti  kecemasku akan Dia, Dia yang lebih dekat daripada urat nadiku sendiri.

Mengambil Gambar

Aku sempatkan mengambil gambar sederhana  pagi tadi. Sekedar rumput yang tumbuh di pinggir jalan. Aku gunakan lensa canon 55 - 250mm pula ap...