4.29.2013

Lendra Bukan Pemberontak

Narang semakin percaya jika Lendra sekarang hanya peduli pada
statistik dan matematika.

"Ada baiknya kau temui Erla, dia seorang ahli fisika yang juga
tertarik pada metafisika, hanya saja dua hari yang lalu waktu aku
bertemu dengannya dia tampak seperti orang yang sedang buang perangai
(buang perangai dalam idiom masyarakat banjar berarti tanda mendekati
kematian, biasanya terjadi pada orang yang memiliki dasar kurang baik
di kehidupannya, pada saat mendekati kematian mereka tak mampu lagi
menahan perangai buruk itu, sedang biasanya keburukan itu bisa
ditutupi dan ditahan oleh kesadaran sosial tapi tidak disaat mendekat
ajal).
Entah apa yang terjadi hingga amarah terlihat begitu menguasai
hari-hari Erla" ujar Lendra.
"Erla, rasanya aku mengenal" sela Narang.
"Narang, bukan aku tak bersedia membantu. Aku harus memilih jalankan
sendiri" Lendra meminta maaf juga pengertian Narang.

Lendra memang sudah tak ingin lagi berurusan dengan orang-orang yang
dianggap kebanyakan orang lain selalu menabrak. Kesadaran Lendra
mengatakan bahwa sikap menabrak segala norma tak lebih dari
mempertegas pernyataan bahwa seseorang tersebut adalah golongan orang
yang terbuang atau gagal. Sikap pemberontakan yang lebih pada mencari
pengakuan atas keberadaannya yang tersisih, sikap memaksakan atas
segala kesalahan untuk dibenarkan.
Nungkai, Urip pun Arya sama-sama tak mampu mengendalikan sikap dalam
bersosial. Mungkin karena ketidakmampuan menterjemahkan cintanya
secara lugas yang bisa diterima pasangan mereka masing-masing. Yang
Lendra ketahui betapa mereka seperti bernafas tanpa udara disetiap
hari-harinya. Hidup terasa menjadi terlalu sulit.
Lendra hanya tahu bahwa hidup bukan sekedar adu argumentasi tapi
terukur dari apa yang telah dilakukan dan apa yang telah tercapai.
Lendra merasa dirinya masih waras.

4.27.2013

Lendra

"Apa ini ada berkaitan dengan Tanah Dalam, negeri yang hilang itu?"
Lendra mulai menangkap isyarat jika Narang ragu untuk menyampaikan
sesuatu, sedangkan Lendra mengetahui siapa kelompok Narang dan apa
yang sering orang-orang itu bicarakan.
"Kau masih peka juga jeli" puji Narang.
Lendra mengambil Nafas, tidak tahu dari mana untuk memulai.
"Apa Nungkai yang memintamu?" tanya Lendra.
Narang merasa tak perlu lagi menjawab karena dirasa Lendra sudah mengetahui.
"Monyet bermuka empat yang disebut sebagai monyet keseimbangan menjadi
kunci utama, selama monyet itu masih ada ditangan yang benar maka aku
rasa tidak akan serius. Setahuku warga Tanah Dalam bukanlah golongan
yang tamak, dan aku juga tahu Nungkai sangat menjunjung norma pun
aturan yang telah disepakati walau dia pengikut aliran hitam.
Nungkai sang ahli teluh, aku pernah belajar padanya bagaimana cara
memanipulasi sistim kekebalan tubuh walaupun sejujurnya aku tidak
begitu percaya dengan apa yang menjadi pemikirannya.
Kadang aku berfikir jika Nungkai akan bisa melakukan sesuatu dengan
tiba-tiba, dalam hitungan mili detik, seperti ledakan. Tapi tak pernah
sekalipun aku saksikan hal itu. Yah..." ujar Lendra
"Pasti hal yang serius. Aku rasa ada kemungkinan pihak lain yang
mengambil keuntungan diantaranya"lanjut Lendra.
Lendra mengambil minuman kaleng yang ada disampingnya lalu meminum.

Narang sama sekali tak menduga jika Lendra mengetahui banyak hal. Tapi
dari situ Narang merasa seperti mendapat harapan lagi.
"Aku yakin Nungkai sudah mempunyai perhitungan yang memadai, Nungkai
sudah pasti memiliki beberapa opsi yang dekat dengan penyelesaian. Aku
yakin Nungkai telah mengoptimalkan semua potensi yang dimiliki, aku
yakin itu" pasti Lendra.
Lendra merasa tak perlu lagi Narang ikut pusing. Pun Lendra merasa
tidak akan bisa banyak membantu, karena dia sangat mengenal Nungkai.
"Nungkai selalu berfikir cepat, dia selalu lebih dulu mengetahui dan
dia selalu mampu melakukan apa yang orang lain tidak pernah bayangkan
dan pikirkan atau bahkan yang dianggap orang lain mustahil sekalipun"
ujar Lendra lagi.

Hampir tengah malam, embun sudah turun bersama dingin yang menusuk,
sebelum harus patah lagi harapan Narang, maka Narang harus tetap
mencoba.
"Semua yang kau sampaikan benar, tapi ada yang harus aku dapat dan aku
berharap kau mengetahui.
Monyet keseimbangan sudah Nungkai sendiri yang memastikannya tapi aku
harus mendapat batu penyangga dari monyet keseimbangan dan aku dengar
kau banyak tahu pasar gelap untuk barang langka" ucap Narang.
Kali ini Lendra hanya mendesah, Lendra merasa apa yang ingin didapat
Narang akan sangat sulit. Lendra meragukan Narang.
"Tadi kau membicarakan Arya, yang tewas bersama cinta dan kegagalan tugasnya.
Dulu saat Arya bertemu kekasihnya aku sungguh berharap itu akan
merubah Arya, berharap Arya lekas sadar akan kenyataan, dan awalnya
benar, Kemala namanya, dia dengan cepat telah memenuhi seluruh ruang
di hati Arya dan tak lama kemudian aku sudah melihat Arya yang mulai
suka menulis, mengirim ribuan surat pada Kemala. Pun aku tahu
kekasihnya tak lagi pernah membalas setelah surat yang keduanya. Tak
jua henti Arya atau sakit hati, aku tahu berapa besar cinta Arya pada
kemala.
Tapi entah apa, kemudian dia harus kembali lagi pada tokoh-tokoh tua
yang katanya ahli kitab.
Yang aku tahu hanya Arya mendapat tugas yang sama seperti apa yang
sedang diberikan padamu sekarang ini Narang" dengan sedikit memberat
suara Lendra.

4.26.2013

Masih Kaku

Narang bukan sedang bercinta lagi tapi di kekosongan hal yang
diingatnya hanya soal Arya yang menurut cerita telah tewas akibat
dihakimi oleh orang-orang gelap mata yang mengatasnamakan agama.
Arya yang tenggelam bersama cintanya juga kegagalan melaksanakan apa
yang diminta oleh Tuan Guru Wahab.

"Berapa besar cinta hanya bisa diukur oleh waktu dan apapun yang ada
dan sedang terjadi adalah hal terbaik dari yang Tuhan berikan" ujar
Lendra.
Keduanya masih belum bisa menemukan topik yang bisa klop.
Sedang Narang masih ragu untuk menyampaikan apa yang menjadi maksud
atas kedatangannya, ada sedikit terlintas jika Lendra bukanlah orang
yang tepat untuk diajak membicarakan hal yang melibatkan Nungkai
apalagi soal Tanah Dalam.

"Aku masih ingat bagaimana waktu itu Arya dengan bangga menunjukkan
tarian yang kekasihnya pernah ajarkan, Arya selalu bersemangat jika
mengambarkan dia, dia seorang perempuan yang sangat dikagumi.
Bodohnya Arya tetap saja berusaha menggapai dan tak menyadari jika
Arya pun perempuan itu sebenarnya telah saling memiliki, setidaknya
hati dan perasan masing-masing walau tanpa kulit lembut yang bisa
disentuh" Narang mengikuti saja arus yang paling memungkinkan untuk
diceritakan, walaupun itu sangat jelas dipaksakan.

Sulitnya Hati

Sudah hampir dua minggu Narang masih belum mendapat apa yang
dipercayakan Nungkai padanya.
Malam belum terlalu larut,

"Apakah kau sedang mengalami konflik atau keraguan?" tanya Lendra
melihat muka Narang yang agak kusut.
"Bukan, aku jarang ragu, karena aku yakin kadang masalah bisa selesai
dengan sendirinya.
Bagimana proyek saint yang sedang kau bangun Dra?. Ayolah..., bagi
cerita padaku" tukas Narang.
Keduanya masih belum bisa mendapat komunikasi yang nyaman, terasa kaku.

"Kadang aku berfikir bahwa aku tak seharusnya hidup jika tidak ada
alasan, sama dengan sebuah jalinan. Ada alasan atas keberadaan.
Sebuah hubungan terasa nyaman justru saat hubungan itu menawarkan
kebenaran tanpa logika.
Sering kita mengucap kalimat yang memberi pernyataan untuk mengakhiri
sebuah hubungan, tentu itu dengan berbagai alasan, yang sering menjadi
alasan diantaranya adalah ketidak samaan.
Tahukah kau Lendra, jika ketidak samaan itulah sebenarnya yang
mencocokkan dan memberi kenyamanan pada sebuah hubungan. Mudah sekali
menganalogikan, sebut saja listrik, mustahil jika plus ditemukan plus
akan menyalakan lampu pijar.
Kalimat berpisah sebenarnya lebih pada penyampaian keinginan untuk
tidak berpisah, atau wakil dari kalimat mengapa kau tak mengerti aku.
Bagaimana mungkin seseorang dengan mudah membelah hatinya sendiri lalu
membuang begitu saja yang sebelah itu tanpa mengingat lagi. Hati
adalah hal yang tak mudah untuk disentuh bahkan bagi seorang sufi
sekalipun belum tentu mampu.
Berpisah?
Barangkali untuk menyederhanakan kalimat berpisah adalah seseorang
memilih pikiran dari pada hati, tapi yang menjadi pertanyaan berapa
persen dari apa yang kita pikirkan berhasil, sedang sepengetahuanku
hidup sangatlah berbeda dengan apa yang orang pikirkan"
Narang ngoceh lebih mirip orang yang sedang terbelit asmara.
"Kau jatuh cinta lagi ya?" tanya lendra sambil tertawa.

4.24.2013

Ku

Nungkai mulai memahami bagaimana seharusnya dia pun Nisa bersikap
karena tak mungkin terus menggunakan cara yang sama sedang mereka
mengiginkan perubahan.
Terlintas, mustahil jika positif tanpa negatif akan terjadi reaksi.
Keberhasilan tubuh justru ketika melibatkan tangan kiri dan kanan.
"Nis, jangan ragu, jika memang kau baik maka tetaplah baik pada
mereka, lantunkan doa baik pada mereka, biarkan aku tetap menjadi
jahat pada mereka, maka akan aku lepas segala kejahatan pada mereka.
Jika kau santun maka biarkan aku yang tak memiliki tata. Keseimbangan
justru ketika ada matahari dan bulan" bisik Nungkai meyakinkan Nisa.
Nafas nungkai tak teratur menahan emosi yang makin meninggi, Nungkai
seperti hanya dijadikan mainan oleh Mudya.
Tidak jauh berselang Nisa sudah menyatukan kedua telapak tangan di
dada sambil mulutnya mengucap doa selamat atas Nungkai, Mudya juga
perempuan tua itu. Sedang Nungkai pilih menjauh. Berlalu membawa
amarahnya.
"Ambillah monyet itu jika kalian mengingini" ucap Nisa dengan lemah.
Mendengar itu Mudya sedikit terkejut dan merasa telah memenangkan
perebutan tanpa ada kesulitan berarti, apalagi Nungkai telah jelas
terlihat menjauh meninggalkan mereka.
Nisa segera mengulurkan kunci pembuka gerbang sangkar monyet
keseimbangan itu pada Mudya, pun Mudya tak menyiakan dan segera
menyambut dengan sumpah serapah merendahkan Nisa pun Nungkai.

Tak menyiakan, Nungkai mengambil sedikit kesempatan dari saat
terlenanya Mudya. Berbalik arah lalu
"wyusimamubi, gelap, amun ikau tajuhut kunci" teriak Nungkai.
Wajah kejam dari amarah dan kebencian yang mendalam kepada Mudya
sangat menampak di wajah Nungkai.
Dan benar terjadi, kejut Mudya dan perempuan tua itu terlambat, mata
mereka terasa gelap dan telinga merekapun mendenging. Itu hanya
jebakan. Rupanya sihir Nungkai dengan mudah berhasil melumpuhkan
keduanya.

Belum selesai semua kejut dan linglung dari keduanya Nisa sudah
mendekat pada Mudya untuk mengambil kembali kunci itu, lalu
"Maafkan Nungkai seperti aku memaafkanmu, sejahat apapun Nungkai
dialah pelindungku. Maka aku lebih bahagia ketika ketika dia
mendapatkan seperti apa yang dia kehendaki" ucap Nisa.
Nungkai tertegun mendengar ucapan Nisa pada Mudya. Ada yang tersadari
dari ucapan "pelindungku", penyebutan ku pada kalimat itu jelas
mengisyaratkan kepemilikan.
Ku, rupanya Nungkai baru sadar jika Nisa telah begitu percaya padanya,
sehingga Nisa dengan jelas menjadikan dirinya sebagai milik.
Setengah hati Nungkai tersenyum.
Benarkah?. Nungkai tidak tahu harus sedih atau bahagia. Semua ada pada
wajahnya, tak perlu diucap. Apa yang terasa itulah jawabnya.

4.23.2013

Tak Duga

Hanya sumpah-serapah Mudya yang sama sekali tidak enak untuk didengar
memecah, Nungkai benar-benar kewalahan menghadapi perempuan tua itu
juga Mudya yang agresif
Tapi Nungkai bukan orang yang mudah dijatuhkan, terbukti dengan masih
ada pertahanan dan sedikit upaya melawan. Pun seburuk apa pribadi
Nungkai masih ada tersisa rasa setia membela kawan, terlihat dari
caranya melindungi Nisa dari ancaman yang dianggap serius. Setiap
kali perempuan tua itu hendak melempar mantra pada Nisa maka selalu
pula Nungkai telah mendahului menjadikan dirinya sebagai perisai,
hingga tak sekalipun perempuan itu pernah bisa menyentuh Nisa.

Ada sedikit yang mengejutkan Nungkai, karena dia tidak mengira jika
Mudya ternyata juga bisa menggunakan sihir, sedang sepengetahuannya
selama ini Mudya hanya seorang yang banyak bicara dan sibuk mengurusi
selera makan dengan gayanya yang sok borju.
Seharusnya Nungkai tidak boleh menganggap rendah orang lain, sedang
dia sangat tahu jika sesuatu itu dianggap remeh maka sesuatu itu pula
suatu ketika bisa berubah menjadi sangat serius.

4.22.2013

Isyarat

Helai daun kering jatuh tertiup angin, kedua pihak masih saling
melempar senyum ejek yang sebenarnya lebih pada kehati-hatian dari
mereka untuk menunggu kemungkinan, sebelum keputusan yang jelas akan
fatal, tak ada suara mereka lagi, terasa sekali jika mereka bakal
kehilangan tata krama. Barang kali akan menjadi harga yang pantas
untuk mendapatkan monyet empat muka yang disebut sebagai monyet
keseimbangan itu, walau mereka juga sadar jika akan ada kemungkinan
terburuk sekalipun itu berarti harus menjadikan jiwa mereka sebagai
tumbal.

Nungkai menoleh kearah Nisa berharap Nisa mengerti apa yang harus
dilakukan tanpa harus memancing Mudya yang bisa memperburuk keadaan.
Benar tanpa ada kalimat dari Nungkai sekalipun Nisa sudah mengerti apa
yang dimaksud oleh Nungkai, namun Nisa ragu mengambil tindakan karena
dia melihat perempuan tua yang bersama Mudya sedang memejamkan mata,
dan itu terlihat seperti sedang mempersiapkan sihir.
"Percayalah" ucap Nungkai pada Nisa.

Tak mungkin rasanya jika Mudya tidak mengerti gelagat dari keduanya,
namun Mudya yang merasa diatas angin karena ditemani perempuan tua itu
hanya tertawa merendahkan, seolah sudah pasti Mudyalah yang akan
memenangkan.

4.20.2013

Mudya Juga

"Menurut cerita monyet itu ada didalam perut bumi, tak aku sangka Nisa
Halimah binti Dahlan keturunan ke lima dari juriat KH. Maksum yang
kesohar itu telah bisa memeliharanya, dan sekarang dengan ringan
bersedia meminjamkan monyet itu pada Nungkai dari Tanah Tanah Luar
seorang ahli pertahanan dengan menggunakan sihir hitam yang licik"
suara laki-laki dari balik pohon jingah terdengar cempreng.
Nungkai sedikit mendorong Nisa untuk surut kebelakang, Nungkai
mengenal suara itu, dan itu berarti bukan hal baik.

"Aku dengar kau pecinta makanan dan sangat tahu selera. Mengenal
berbagai resep rahasia dari penyaji makanan terkemuka, kau bukan
sekedar bertahan hidup, tapi tahu bagaimana cara menikmati hidup.
seharusnya kau memilih keju atau kaviar dari ikan terbaik demi
penyempurna cita rasa.
Lihatlah dirimu, kau sangat tahu bagaimana membangun masa depan" balas Nungkai.
"Masa depan, batasnya ada di jiwa.
Anggap saja kita punya pendapat berbeda. Tapi aku datang jauh-jauh
kemari karena mendengar ada informasi yang tidak diketahui banyak
orang, dan... , rupanya tidak salah" Mudya tak kalah sambut.
Mudya menampakkan diri, tapi bukan sendiri, melainkan ditemani
perempuan tua jangkung yang terlihat eksentrik.
Rupanya Mudya sedang bukan berlibur, tapi untuk hal yang mungkin
dianggap penting sehingga perlu ditmani perempuan yang kelihatannya
ahli.

"Menurut cerita satu rupa terlihat kaku dan dingin sama sekali tidak
bersahabat, satu yang lain dari rupa itu terlihat menyenangkan bahkan
mudah diajak bicara, sedang rupa yang ketiga terlihat tolol tapi apa
yang dia kehendaki pasti didapat dan yang keempat terlihat sangat
cerdas.
Monyet keseimbangan" sela perempuan tua .

4.19.2013

Pasrah

"Jika telah datang kepadamu seseorang yang meminta padamu monyet
bermuka empat maka tidaklah akan jauh seseorang lain pula di waktu
yang berbeda akan datang padamu pula untuk meminta sebagian jantung
yang ada padamu" Nisa menghentikan kalimat yang pernah dia dengar dari
Datu Kalai tujuh tahun yang lalu.
Wajah Nisa sedikit pucat dan bibirnya bergetar. Nungkai memahami jika
monyet itu adalah hal serius bagi Nisa, tapi Nungkai tak punya
pilihan.

"Aku tidak memaksa, bagaimana mungkin aku mengorbankanmu demi
menyelamatkan yang lain" ujar Nungkai.
"Ambillah monyet itu, aku siap dengan segala hal, barangkali inilah
jalanku" jawab Nisa.

4.18.2013

Sulit

"Orang-orang sudah memandang kita sebagai orang aneh yang memiliki
fantasi berlebih, sadarlah Kai" Nisa mulai bisa membaca diamnya
Nungkai.
Nungkai hanya bisa menunduk, Nungkai masih merasa segan untuk mengucap
apa yang menjadi tujuan atas kedatangannya. Nungkai sangat tahu Nisa
yang telah menjauh dari kehidupan sosial.

"Tempat sempurna untuk tinggal. Jika malam telah tiba tentu sangatlah
indah di sini, taburan berjuta bintang yang terlihat lebih terang,
gugusan bima sakti dengan mudah terlihat oleh mata dan angin malam
selalu mambawa jiwa pada masa lalu, juga rindu" Nungkai masih sulit
mengutarakan.

"Nisa, aku tak memiliki banyak pilihan, aku datang kemari untuk
meminta bantuan" ucapan Nungkai terasa berat.
Kalimat sederhana Nungkai terasa begitu rumit untuk dijawab Nisa,
walaupun sebelumnya Nisa juga sudah tahu kemana arah pembicaraan
Nungkai.
Keduanya kembali terdiam dan tak tahu bagaimana cara berkomunikasi
yang seharusnya, Nungkai sadar jika ini akan sulit.

"Pertengkaran dan bau anggur kuat yang tersisa di gelas pada malam itu
telah membawaku pada kesendirian untuk menghabiskan malam yang terasa
selalu panjang, dan setelah setahun berlalu yang aku dengar dia telah
mencuri kitab sihir milik seorang tokoh dari Tanah Dalam yang
sekaligus guru sihirku. Sedang yang diketahui orang dari Tanah Luar
pun orang Tanah Dalam seharusnya hanya aku yang mengetahui keberadaan
kitab itu. Persekongkolan, itu yang mereka pikirkan tentang diriku.
Itu tidak mudah bagiku. Sejak itu pula aku memilih diam disini.
Kai, aku bersusah payah melupakan semua" ucap Nisa.
"Aku hanya ingin meminjam monyet empat muka" suara Nungkai sedikit parau.
Nisa terdiam, Nisa kali ini berada pada posisi yang benar-benar sulit.
Berharap Nungkai mengerti apa yang menjadi alasan ketidak sedianya
melepas monyet bermuka empat pada Nungkai rasanya mustahil. Sedang
Nisa mengenal Nungkai sebagai pribadi yang lembut tapi juga licik.
Nisa melepas nafas panjang, ada terbersit rasa menyerah di hatinya.

4.14.2013

Rawa

"Hati yang tak kenal takut hanya milik orang yang sudah tak memiliki hasrat, pun berani juga tak beda.
Dalam keadaan sulit keraguanlah yang akan membinasakan" ucap Nisa dibarengi senyumnya yang manis.
Nungkai tahu bibir Nisa memang tersenyum tapi Nungkai juga tahu kalau hati Nisa lain. Ada terbersit sesuatu yang berat sedang menghimpit hati dan perasaan Nisa. Tapi Nunngkai berusaha mengabaikan, sambil berharap suasana tidak berubah buruk.
" Aku sulit membedakan dari apa yang kau ucapkan, kau lebih seperti bhikuni daripada muslimah" ucap Nungkai.
Apa yang Nungkai ucapkan rupanya cukup beralasan, karena kalimat yang disampaikan Nisa memang mirip ajaran Bhuda, apalagi bekas pembakaran dupa dalam ruang itu masih menyisakan aroma khas.

Bunga teratai putih bermekaran di antara rumput air rawa, burung pelikan menari dihadapan betinanya yang telah siap dicumbu.
"Kau selalu bisa membaca hati dan perasaan orang lain, tentu aku tak bisa menyembunyikan apa yang aku rasakan. Tapi aku yakin kau datang kemari bukan untuk itu. Katakan. Apa soal Tanah Dalam" Nisa menyerah, membiarkan Nungkai mengetahui isi hatinya.
Nungkai tak menjawab, dia hanya membiarkan angin yang terasa lembut menerpa wajahnya.
"Awal, tak mungkin kembali awal lagi. Selalu awal kemudian Akhir. Apapun yang terasa gelap tentu kemudian akan terang, jika awalnya benci tentu suatu ketika kau akan merindu atau sebaliknya. Itu ketetapan alam. Dulu aku mencintai seseorang dan sekarang menyisakan kebencian yang tak pernah bisa aku buang" Nisa mempertegas apa yang Nungkai rasakan tentang dirinya, berharap Nungkai berhenti menelanjangi perasaannya yang sebenarnya dia tak ingin orang lain tahu. Nisa menyerah.

Waktu seperti terhenti, dari semua yang telah dilakukan hanya memberi terdiam pada keduanya, harmoni alam membiarkan perasaan masing-masing teraduk. Langit cerah dengan sedikit awan penambah keindahan.




4.12.2013

Terhenti

"Dia lebih dari yang kau duga. Ini hutan, berhati-hatilah" bisik Beng
pada Urip, seketika itu pula Urip menghentikan langkahnya untuk
mendekat pada perempuan kecil yang sedang mengulurkan tangan meminta
sesuatu.
Bukan kekecewaan yang terlihat diwajah perempuan kecil itu mengetahui
Urip menghentikan langkah untuk mendekat padanya tapi justru dia
tersenyum lalu memalingkan wajah membuang pandang dan berucap
"Roh kegelapan lebih menguasaimu, kau selalu didatangi rasa takut dan
bersalah. namun logika yang kau depankan untuk mendapatkan alasan, kau
lupa jika logika memiliki batas atas kadarnya masing-masing yang
menjadikan keraguan atas benar atau salah dari apa yang kau putuskan"
ujarnya.
Sesaat kemudian perempuan kecil itu mengeluarkan sisir perak dari
balik bajunya untuk merapikan rambutnya yang terlihat kumal dan tak
lagi hirau pada ketiganya. Halus aroma kenanga menyebar setelah itu.
Dimah merapatkan tubuh pada Urip, Dimah merasa ada sesuatu yang tidak
beres hingga menjadikan rasa takut yang tak terjelaskan. Dimah hanya
berpikir setidaknya masih ada Beng yang memiliki kemampuan sihir,
berharap ada kemungkinan yang menguntungkan dan tinggal melihat
bagaimana peluangnya.

Sedang Beng memilih untuk tidak terlibat lebih jauh, Beng memberi
isyarat pada Urip untuk tidak terlalu hirau pada perempuan kecil itu
dan meneruskan perjalanan.
Sedang bagi Urip pun Dimah yang belum lagi selesai rasa ingin tahunya
menjadikan mata dari keduanya masih tak bisa lepas, namun keduanya lebih baik
jika menanggapi ajakan Beng, karena itu pilihan terbaik walau mereka
masih enggan berlalu.

4.08.2013

Melepas

Tak sekalipun bisa berlalu dari ingatan, walau dia telah berusaha
untuk kesekian kalinya.
Itu yang Beng katakan pada Salma tentang Urip dengan cintanya pada
perempuan yang terlanjur menyusup dalam setiap hembusan nafasnya.
Sedang kehidupan tak pernah sedetikpun sedia menunggu untuk
menjalankan ketentuan nasib.

Matahari terbit di timur dan ketiganya diantar Salma hingga pintu
pagar halaman. Salma masih tak percaya jika Urip orang yang telah
pernah menyentuh tubuhnya itu telah berlalu, sedang rasanya Salma
masih ingin mengetahui tentang Urip lebih jauh. Tapi kenyataan justru
lebih memaksa untuk menentukan langkah dari masing-masing keberadaan.
Mungkin takdir.

Masih berdiri di pintu pagar walau ketiganya telah hilang dari
pandangan. Akan seperti hari-hari sebelumnya yang sunyi, hanya ada
daun-daun dari pepohonan dan rumput menunduk terbasahi oleh embun di
pagi itu juga esok.

4.07.2013

Cintanya Di Mata

Dari balik jendela Beng memperhatikan Urip yang sedang duduk di tanah
di bawah taburan bintang-bintang. Beng awalnya ragu untuk menghampiri,
tapi akhirnya dibuang keraguan itu.

"Aku melihat ada cinta yang membelenggu di mata Dimah, cinta yang
ditujukan padamu, pun aku rasa cinta itu tak akan pernah bisa terucap
dari bibirnya.
Aku juga sangat tahu bila kau tak akan pernah bisa mencintainya karena
hatimu telah terisi oleh perempuan lain. Barangkali akan selalu begitu
cinta" sesaat Beng terdiam.
"Sejak tadi pagi aku perhatikan setiap kau bertemu pandang dengan
Salma seolah mata kalian telah sepakat untuk menyembunyikan sesuatu
yang sangat kalian jaga untuk tidak akan boleh orang lain tahu. Hatiku
mengatakan jika itu tanda bahwa antara kau pun Salma telah terjalin
hubungan" ucap Beng lagi.
Urip hanya terdiam, semua yang dikatakan oleh Beng memang benar dan
tak mungkin untuk dipungkiri. Urip tersenyum tanda membenarkan apa
yang telah diucapkan Beng.
"Perempuan memang memiliki kecenderungan menyimpan cintanya di hati,
cinta dari perempuan akan jelas terlihat dimatanya. Berbeda dengan
pria yang selalu dengan mudah mengucapkan kalimat cinta"
Urip terus saja mendengarkan apa yang diucapkan Beng dan sama sekali
tak ingin membahas lebih jauh.

4.06.2013

Sesal Tak Merubah

Senja mulai berlalu, matahari tenggelam di ufuk barat, semua kenangan dari apa yang telah dilalui Urip terakumulasi menjadikan makin gelap hari esok. Urip dengan sadar telah menafikan kecerdasan sosial serta emosi yang seharusnya menjadi dasar dari kehidupan manusia. Sangatlah Urip sadari telah berubah konstruksi prilaku pada dirinya.
Salma seharusnya seperti lukisan dengan segala keindahan yang hanya boleh dipandang dan seharusnya tak boleh disentuh. Tapi yang telah terjadi justru sebaliknya, Urip bukan sekedar memandang tapi telah menyentuh Salma, sedang Urip sangat tahu jika Salma adalah kekasih Nungkai, sahabat yang sangat mempercayai dirinya.

Catatan Urip


Suatu hubungan tidak harus memiliki bentuk yang bisa disebutkan seperti apa, terkadang kita akan membiarkan semua terlalui hingga hubungan itu bisa menemukan bentuknya sendiri atau tidak sama sekali.
Terkadang kita terlalu cepat menilai sebuah kebersamaan dan itu bisa berarti menyakitkan, pula bisa berarti akan tetap mengambil ruangnya sendiri di sebagian ingatan.

Urip menutup catatannya lalu menyandarkan tubuh pada dinding, ingatannya membuka pada banyak hal salah yang telah pernah dilakukan dan tentu itu tak akan mungkin bisa diperbaiki.  

4.04.2013

Di Balkon Atas

Urip menjaga Dimah yang masih lemas di pembaringan dengan sabar, tak
terlihat lagi kecemasan yang meliputinya, sedang Beng ditemani Salma
berada di balkon atas.
"Aku berharap Nungkai menemukan apa yang dia cari. Barangkali
sebagian orang hidup dengan mengejar sesuatu yang dia yakini benar,
hingga segalanya berjalan terasa cepat, sebagian yang lain memilih
menikmati dan membiarkan waktu berjalan lambat. Tak satupun benar juga
tak satupun salah.
Bagiku tak penting lagi arah yang aku tuju tapi apa yang aku lalui
akan menjadi catatan yang suatu masa akan aku ridukan.
Urip pria yang tidak aku sangka tapi ternyata cukup mengejutkan, walau
tak begitu indah, setidaknya untuk sesaat bisa terhapus kesedihan yang
ada, walau itu berarti juga meremukkan perasaanku" ucap Salma.
"Apa yang membuatmu masih bertahan disini?" tanya Beng ingin lebih
jauh menggali sisi kehidupan Salma.
"Aku jatuh cinta pada tanah yang sekarang aku pijak, juga masih banyak
hal yang ingin aku capai disini dan itu belum aku dapat" jawab Salma.
"Setahuku Nungkai sangat mempercayaimu. Aku mengenal Nungkai sebagai
pribadi yang konsisten, tapi entahlah, sekarang aku mulai
meragukannya" Beng mengambil korek api lalu menyalakan rokoknya.
"Yang kalian lakukan sekarang sebenarnya hanya akan sia-sia. Aku rasa
pergeseran batas itu hanya konspirasi, aku mengenal mereka dan aku
tahu siapa yang bertipe kriminal, pun aku tahu apa yang mereka sedang
rencanakan. Mereka perlu kambing hitam"
Beng terdiam mendegar ucapan Salma. Sejak awal Beng juga merasa jika
memang ada yang tidak beres.
Keduanya larut menghabiskan waktu senja yang sempurna. Perjalanan yang
terpaksa harus ditunda karena kondisi Dimah yang masih belum
memungkinkan juga bukanlah berarti itu buruk.

Egi

Beng menutup buku yang baru sebagian terbaca, firasatnya mengatakan jika ada sesuatu yang sedang bakal terjadi dan itu bukan hal baik yang bisa mengancam kedua rekannya. Pun Salma juga menghentikan langkahnya yang sedang menuju dapur. Salma pun Beng sesaat saling pandang tanpa mengeluarkan kata sepatahpun, keduanya berusaha mengerahkan pengindranya.
Benar rupanya firasat mereka karena setelah itu terdengar Urip memanggil-manggil Dimah dengan suara yang terdengar gusar, Beng bergegas keluar rumah menghampiri keduanya ingin memastikan apa yang sedang terjadi.
Diluar didekat pohon agatis yang sudah mati Dimah terlihat telah mematung dan tidak sedang berhadapan dengan siapapun, sedang Urip tampak berlari menuju arah Dimah.
Beng terdiam sesaat dan tak lama kemudian kedua tangannya direntangkan dengan gerak gemulai sedang kedua mata dipejamkan.
"Tunggu Beng!" teriak Salma. Namun Beng tidak menghiraukan dan tetap melanjutkan gerakannya.
"Percayalah, semua akan baik-baik" Salma berusaha memastikan, dan kali ini rupanya didengar Beng.
"Wyusimamubi, batampai wujud nang talindung lawan daun" Salma mengucap mantra sambil mengarahkan tangan keatas, lalu disaat bersamaan sebelum benar-benar Salma menyentakkan tangan yang tadi diatas kearah barat sudah terdengar jerit minta ampun. Namun Salma tidak segera menurunkan ancaman walaupun laki-laki kerdil yang telah menampakkan wujud itu telah menunduk dengan wajah penuh rasa takut.
Setelah kondisi sedikit tenang laki-laki kerdil itupun meminta ijin untuk menunjukkan apa yang ada dibalik baju kepada Salma. Kali ini wajah Salma yang berubah drastis tampak terkejut begitu membaca tulisan dengan menggunakan huruf palawa dipunggung laki-laki kerdil itu, dan ternyata itu dari Nungkai.
"Nungkai" ucapnya lirih. Salam dan cara Nungkai menyatakan kalimat-kalimat puja menjadikan makin gelap semesta. Salma tak mampu lagi mengurai cintanya yang semakin semu. Salma sudah tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan sedang belum lagi terhalang hari Salma menumpahkan hasrat bersama Urip yang Salma sendiri akui memang dia terobati dengan itu.
"Ada apa Salma" tanya Beng
"Tidak, Nungkai ingin memastikan semua. Dia memiliki nama Egi dan Nungkai menggunakan dia untuk mengirim pesan dengan menggunakan punngungnya sebagai media tulis" Salma berusaha kembali manis dihadapan Beng. 
Salma merasa sangat terkungkung oleh cinta yang semakin hari justru semakin menghancurkan hidupnya sendiri, berpegang kalimat puja Nungkai yang tersadari makin menyesakkan nafas. Salma tidak pernah mengerti mengapa harus Nungkai,

Salma menghapus yang tertulis di punggung Egi, kemudian menggantinya dengan kalimat "SALAM"
Salma sangat tidak ingin menulis, tapi setidaknya dia juga tak ingin Nungkai hampa.

.

4.02.2013

Mengawali Hari

Rupanya pagi akan tanpa matahari, yang ada hanya mendung. Dimah masih
tidak menemukan indikasi yang bisa dikalkulasi untuk menentukan jarak
yang akan mereka tempuh untuk mencapai Tanah Dalam.
"Kau mencintainya" ucap Salma ketika mata Dimah terhenti pada Urip
yang berdiri di tepi danau untuk mempelajari medan. Dimah menoleh
dengan muka yang mendadak merah.
"Dia? ...kau tahu tidak? Dia orang yang paling aku benci dimuka bumi
ini, dia egois, tak berperasaan, keras kepala dan...dia
kekasih...ee...Aluh sahabatku yang...masih... ." jawab Dimah terhenti
tanpa sebab, kali ini Dimah sangat terusik hingga jawaban yang
disampaikan bernada tinggi dan makin jelas sedang mencari-cari alasan
untuk menutupi sesuatu. Namun Salma tersenyum sambil mengulurkan teh
hangat pengusir dingin malam yang masih tersisa, Salma tidak perlu
menggali lebih jauh karena sanggahan Dimah sangat menunjukkan betapa
Dimah menyimpan Urip di hati dan tak boleh seorangpun tahu itu, tentu
sudah cukup memberi penjelasan tentang adanya cinta. Atau barangkali
Dimah masih ragu untuk mengambil kesempatan kedua dari kebersamaan
yang sedang dilalui.
"Kok senyumnya begitu?" Dimah sangat kurang nyaman mendapati raut
Salma yang lebih pada menunjukkan bahwa Salma kurang percaya pada apa
yang telah disampaikannya tentang Urip.
"Banyak orang kesulitan menentukan koordinat Tanah Dalam hingga banyak
yang tak pernah sampai, hingga mereka hilang tanpa kabar lagi. Tanah
Dalam akan semakin jauh sewaktu dicari. Aku sarankan ikuti saja arah
matahari tenggelam dan jika kalian nanti temukan tiga pohon asam besar
yang berdiri sejajar maka ucapkan salam padanya dan ambillah jalan
kearah kanan, kalian akan menemukan Tanah Dalam. Berjalan saja, jangan
pikirkan Tanah Dalam" ucap Salma.
Dimah berusaha keras mencerna ilustrasi yang disampaikan oleh Salma
hingga dia tak tahu jika Salma telah beranjak meninggalkannya.
"Percayalah justru saat kau mengerti apa yang kau pikirkan maka kau
akan salah" ucap Salma yang makin menjauh.

Sedang Beng sibuk di ruang baca melurut dengan seksama deretan buku di
rak buku. Buku tentang Datu Panglima Naga menghentikan jari
telunjuknya yang sedari tadi sibuk membantu fokus matanya yang sedikit
rabun, sesaat Beng mencermati judul yang tertera kemudian diambilnya
buku itu.

Mengambil Gambar

Aku sempatkan mengambil gambar sederhana  pagi tadi. Sekedar rumput yang tumbuh di pinggir jalan. Aku gunakan lensa canon 55 - 250mm pula ap...