2.29.2012

Tanpa Judul

Biasanya hari seperti ini dia turun tapi kali ini tak. Padahal aku telah siap dengan segala konsekuensi, atau dia sengaja menjadikan makin rumit.
Aku makin sadar adanya cinta, tapi biduk tanpa layar, teramat sulit peluang yang dihamparkan.
Entah kadang terasa sekali jika sekedar hiasan sesaji tapi yang ada membuat sesak, berapa energi yang dihidangkan agar semesta membuka kemungkinan.

2.27.2012

Memilih Jalan

Dia malam ini berbisik jika terlalu letih, mungkin terlalu lama dia menari mencoba selaras tapi tak pernah bisa saling sentuh. Malam ini aku ingin menulis surat untuk dia yang di Belanda.

Kasih,
Ijinkan malam ini aku kecup keningmu sebagai tanda ikhlas tanpa melibatkan sesal, cobalah jangan merengut berikan senyumu.
Kasih andai benar ini bukan cinta seharusnya kau mudah melupakan, lupakanlah, apa yang kita cari dari mimpi ini, yang ada hanya luka tak lebih.
Aku akan tetap disini bersama iblis dengan masing-masing rantai dileher, merelakanmu pergi bersama malaikat naik ketempat sempurna yang telah dijanjikan.
Bahagiamu adalah yang terindah.
Salam.

Membiarkan hari berlalu itu pilihan yang terbaik, tanpa doa, tanpa alkohol, tak ada apa.
" Iblis pandangan aku jangan kau pandang dia agar tak menjadi kenangan "

Mustahil

Mustahil kejadian tanpa diawali gerak, mustahil pula gerak tanpa kehendak.
Kehidupan individu tersusun dari banyak warna, tak mungkin satu warna, demi lukisan yang bisa dipandang. Bagaimana aku menolak warna gelap jika ingin lukisan tampak berekspresi. Apapun warna tetap warna untuk menentukan ujud karya, lalu sosial menyatakan kerinduan sebagai cinta, sedang rindu tetap rindu.

2.24.2012

Jamuan Dewi


Tak pernah indah sebenarnya melihat  wajahnya yang makin memucat, bodohnya aku mempercayai bibirnya yang lembut mengatakan jika tarian ini kosong tanpa mantra.

Sedang  yang aku saksikan justru wajahnya menggambar garis luka, gaun dari bulu merak yang dulu indah dikenakan  jadi  terasa buram,  terkena hembusan teluh penguasa sisi gelap.
Dia masih  menari dengan gemulai, tarian teatrikal kadang menusuk, kadang mengundang senyum penonton,  biola pengiring ikut mengaduk perasaan diantara asap  ringan yang bergerak menyuguhkan aroma dupa, aku terhipnotis oleh ritme gerak yang makin meninggi, terlihat senyum  terus diumbar.
 Mendadak terkejut aku ketika melihat sorot matanya yang lebih berbicara dari gerak tari yang dimainkan, senyum yang  tadi  lembut indah ternyata diiringi kalimat puja . Bukan lagi sekedar tarian cerdas.
Masih aku bertanya mengapa dia berikan ruang untuk dewi asmara untuk mengibas-ngibaskan ekornya yang tampak manis sedang setengah dari taringnya tersumbul  menawarkan bisa.

2.19.2012

Sadarku

Ada yang terus berbisik, meniup api hasrat yang aku sangka tetap dalam kendali, ternyata tak seperti sangkaku.Sekarang aku baru sadar telah  membangunkan iblis seribu muka, yang telah lama  tertidur oleh mantra kekal yang aku dapat dari seorang petani.
Aku telah benar-benar menginjak tanah, tempat darah ditumpahkan, tempat sihir mata, jalan menuju neraka jahanam. Tempat dimana iblis membimbing dengan hembusan janji bahagia jua kuasa berlumur kenikmatan dengan berjuta suka citanya, terkadang ditaburi dengan bahasa suci milik para dewa.
Sekarang aku mulai bimbang siapa yang aku imani, topeng  pembawa kabar kedewasaan langkah pun kebijaksanaan atau topeng yang teramat dibenci mata dan selalu mendapat cibir, yang jelas aku hampir melihat siapa dibalik topen-topeng itu.

2.18.2012

Aroma Dupa

Ritual alam untuk menjaga keseimbanganya telah memanggil, prosesi penyatuan dua jiwa mustahil tak menimbulkan luka. Bisik mantra alam tentang bahagia hanya pemikat yang dihembuskan, ditabur diantara pesona mata, pun lembut halus nafas diantaranya, lalu tunggu hingga menusuk jantung. rasakan mabuk kepayang dengan luka-luka.
Jika bahagia telah hilang, jika muram telah datang, jika kau telah menjadi budak maka cumbulah apa itu cinta.
Sekarang tanyakan siapa yang menjadi tuan, siapa yang menanam mantra atas kendali. Takutku ketika makin gelap semesta, ketika asap dupa memenuhi ruangan.


Kutukan

Makin dalam aku larut dalam tarian yang menguras energi, irama lebih mengendalikan daripada kesadaranku.
Rupanya dewi kerinduan benar-benar tak memberi ampun, mungkin dia marah karena aku telah membakar pagar dari tanaman yang sangat dipeliharanya, mantra pelindungku tak mempan lagi. Aku kehabisan pilihan.

2.12.2012

Aku Kembali Abstrak?

Jika kau menemui tubuh atau menerima kalimatku, tentu kau hanya menemui ujud nyata dan sungguh kau tak pernah menemui aku. Nun jauh seperti apa hamparan ruang dibentang tak akan pernah jauh sesungguhnya aku, aku ada di dekat ketika kau tak memandangku jua mendengarku, itu saat ada, setipis apapun itu, tapi itulah aku.
Mungkin kecerdasan telah mentranslate rindu tentang seseorang yang telah mengisi sebagian perasaan, tapi sayang terlalu sering sangka memberi gambaran bebas, kadang tanpa dasar yang nyata terjadi, jua sayang manusia terlanjur mengimani apa yang sangka gambarkan, kadang terasa aneh ketika pikiran mennyusun urutan sangka menjadi satu episode yang seolah bakal terjadi.
Bahkan ketika isi kepala berbeda dengan kenyataanpun, tetap kecerdasan mengajukan dalih untuk dibenarkan. Logika dalam peradapan selalu ingin didepan.

Bukan itu aku, aku hanya meminjam nama atas keberadaan, aku bukan sekedar isi kepala, aku ujud dari bagian mekanisme alam yang sesungguhnya berlaku atas hamparan waktu. Jua aku sadar hampir menjadi kalimat dusta ketika aku sampaikan, karena nyata dikehidupan manusia sejak awal telah membangkang dari mekanisme alam, memilih jalan keinginan merdeka lalu bergabung dengan isi kepala dengan janji bahagia jua kuasa.

Bagaimana mungkin aku bisa seperti isi kepalamu yang maya, sedang aku nyata. Bagaimana mungkin kau temui aku yang nyata, sedang sesungguhnya aku bukan sekedar yang nyata. Aku pun kau terlanjur ada dikepala, tapi kau membuktikan ada dengan tiadanya kau.
Haruskah aku membuktikan lagi bahwa aku ada dengan tiadanya aku?
Atau mencinta harus diartikan sesuai dengan isi kepala yang dicintai?
Atau ...

2.11.2012

Tak Perlu Kau Mengerti

Sejak itu aku sering menanam mantra ditengah malam, menyisipkan teluh diantara kalimat menjadi kebiasaan.  Menjadi sibuk memasuki sisi tersembunyi dari tiap ruang , tak menjadi asing ketika mencumbu gelap. Mungkin minta dibenarkan ketika gelap menjadi alasan untuk menerima terang, pun aku mulai bertanya mungkinkah terang menerima terang.
Bagaimana aku dapati keberadaanku yang sebenarnya, jika aku masih mencintai segala yang  indra terima, mengimani segala pengetahuan yang masih aku dengar, aku lihat.
Sayang sekali, ketika dia menolak cintaku tidak membuat luka yang terlalu dalam, padahal aku merindu luka hingga membunuh kecerdasan. Berharap luka hingga ruh berkalimat, hingga ruh menampakan geraknya.
Sayang sekali, segala nalar masih menerima alasan jua kemakluman atas bisikannya.

Ada yang aneh ketika  mencari duri pada flamboyan.

Absurd

Aku sudah membuka pintu ruang yang seharusnya terkunci, ruang dimana  malaikat-malaikat selalu membaca mantra suci beserta iblis yang meniup-niupkan nafsu ditiap hembusan nafas, ruang yang ditiap sudut penuh dengan rajah yang membuat dua insan terjerat tali berbalut asmara dan aku tahu dia tidak mungkin siap.
Tak akan, sekalipun hanya mimpi. Hanya membiarkan hasrat untuk berkalimat, entah apa ujud kalimat itu, masing-masing tahu berguna maupun tidak berguna akan sama saja.
Mungkin dia membiarkan memori menguasai dan aku mungkin merindukan luka  yang dalam.
Mungkin dia akan menikam ketika kusisir rambutnya yang terurai, ketika kubasuh lembut kakinya dengan air hangat, atau ketika kunyalakan tungku api pengusir dingin yang menusuk tulang.


2.06.2012

Yang Kurindu

Dan ketika gelap menguasai seluruh hutan tempat aku tinggal memberi ruang kepada iblis, aku menjadi tak terkendali, kerinduan lebih menguasai daripada akal. Kebahagianku ketika dia menusuk jantungku dan merobek dadaku. Saat paling sempurna dia menampakkan seluruh jiwanya.

2.02.2012

Tak Ada Judul

Sulit aku mengerti ketika hidup menyatakan kastanya sendiri, dengan gerak yang sangat memaksa, kompromi tak, asih terhadap ingin jua tak, segala asumsi buyar.
Ada pertanyaan yang masih belum usai, jika bukan cinta mengapa aku tak bisa lupa, bahkan aku tak pernah bisa membedakan antara benci, cinta atau ambisi, yang aku tahu hanya kau yang di jauh sana. Tak mampu lagi nalar mengurai apa gerangan.

Butir pasir tempat aku berdiri tak pernah mengeluh atas debur ombak yang menerpa, angin tak pernah lelah, pun ilalang tetap menari. Aku tersandar di bawah pohon nyiur, bukankah mulai terasa manusia dikuasai oleh ingin dan selalu menolak peran yang seharusnya ia mainkan.

Mengambil Gambar

Aku sempatkan mengambil gambar sederhana  pagi tadi. Sekedar rumput yang tumbuh di pinggir jalan. Aku gunakan lensa canon 55 - 250mm pula ap...