12.21.2016

Aku

Hapir tak pernah aku temukan cahaya ketika aku berusaha lari dari sisi gelap, malah pekat hitam aku dapat.
Tapi ketika iblis membuka perjanjian lama dan membacakannya untukku malah jalan yang lapang terang-benderang terbentang, justru lembut angin syurga sejuk menerpa. Ah...

Benar, bukankah setengah dari nafasku telah terikat lembut harum aroma tubuhmu.
Bukankah ketika aku diam justru alir darahku makin mematri lebih nyata tentang lebar senyummu.

Ah. Aku bersembunyi, aku takut.
Sangat takut, mengingatmu malah lebih pada membakar sayap lembutmu. Sedang ingatanku hanya tentangmu

6.06.2016

Dua sisi



Terkadang aku masih tidak mengerti  ketika memahami apa yang telah pernah nabi ajarkan.
Terkadang terdengar berusahalah seolah engkau akan hidup seribu tahun lagi dan beribadahlah seolah engkau akan mati esok pagi.
Dalam satu kalimat jelas tapi memiliki dua sasaran yang kontradiktif. Rasanya jika kalimat itu aku asumsi sebagai konsen dalam satuan waktu yang berlaku maka terasa akan berantakan apa yang akan aku lakukan, akan sulit jika dalam satu busur memiliki dua anak panah dengan arah bidik berlawan arah. Kecuali aku memiliki hidup dalam satuan waktu yang berlaku paralel.
Aku bukanlah orang yang beragama dengan baik dan benar. Aku memandang ajaran dalam kitab bukan sebagai keyakinan yang cenderung menelan pemahaman dari para kyai  dan kemudian tanpa olah logika akan aku iya-kan. Kitab bagiku berlaku sebagai pola matematis yang logis dan akan menuntun manusia berkait mekanisme rumit kehidupan.
Aku rasa kita sangat tahu jika bayak lagi kalimat dari ajaran yang terasa kontradiktif. Misal, nasib suatu kaum tidak akan berubah sampai kaum itu sendiri merubahnya dan di sisi lain menyatakan manusia tidak memiliki daya dan upaya kecuali atas pertolongan Allah.
Mana yang benar, tuhan atau kita yang bisa merubah nasib.
Analogi yang sering aku sampaikan tentang langkah kaki atau tangan yang melambai barangkali lebih tepat daripada analogi busur yang memiliki dua anak panah.
Kiri-kanan, kiri kanan-ketika kita melangkah, kemudian  kerja-ibadah, kerja-ibadah begitulah seharusnya menggunakan waktu.
Aku adalah satu yang memiliki kiri-kanan, baik-buruk ketika menjalani waktu yang berlaku seri dan bukan paralel. Tidaklah akan aku berjalan dengan kanan-kanan- kanan untuk sampai ketujuan. Logika-perasaan, logika- perasaan terus, terus... sampai jauh kita berjalan menyusur waktu dengan satuan ukur pendewasaan sebagai bukti seseorang telah melangkah dengan baik menggunakan logika dan perasaannya.
Baik buruk hanyalah penyebutan sifat yang digeneralisasikan  oleh individu lain selain dari pelaku itu sendiri. Pun yang sebenarnya baik dan buruk bukanlah hasil. Hasil tetap hasil sedang baik buruk tetap sifat yang menjadi bagian dari sesuatu yang diantaranya hasil itu sendiri tergantung dari mana cara pandang.
Perjalanan menyusur waktu seharusnya mengatar kita pada posisi lebih mengerti tentang hidup yang sama sekali berbeda dengan apa yang kita pikirkan dan yakini sebagai benar atau salah. Bukan yang kita ingin atau tak ingin.

Ketika kau yang ada di titik A pun aku yang ada di titik B sepakat untuk menjadi KITA dan bukan lagi sebagai yang ada di titik A atau B maka apa yang terjadi?
Bisa seperti satu busur dengan dua anak panah yang memiliki dua bidik berlawan arah atau pilihan ke dua seperti langkah kaki kiri dan kanan untuk menuju.
Barangkali aku akan lebih sulit menjawab jika kau mengajukan pertanyaan kemana kita, untuk apa atau mungkin ada pertanyaan yang sama sekali tak aku duga.
Isi kepalaku tidak memiliki kegiatan lain selain dari memikirkanmu. Tapi aku sadar hidupmu akan terasa salah jika bersamaku

5.25.2016

Sangka Pram

"Urip terlalu bodoh untuk bisa berdusta. Sisi mental yang seharusnya
lebih rumit untuk bisa diketahui orang lain tapi tidak bagi Urip, dia
mudah dibaca.
Aku sangka dia telah benar-benar termotifasi untuk mencari jawaban
atas kehidupan real. Aku sangka yang dilakukan selama ini atas dasar
jawaban motifasi keuangan. ternyata apa?" ujar Pram bersemangat.
"Benar, Urip masih tak jauh dari yang dulu. Tapi aku memahaminya. Urip
tak pernah bisa menemukan rasa cinta yang sama kepada yang lain. Aku
sangka Salma lebih dari yang Urip cinta, Salma sudah menjadi sebagian
dari nafas kehidupan Urip" sambung Dimah.

5.20.2016

Seapa

Barangkali akan membunuh setengah dari kesadaran jika Urip melepas
Salma dari sisi kehidupannya. Salma telah mengisi setengah dari nafas,
darah,sumsum ingatan hingga jantung.
Salma seperti udara bagi Urip. Udara yang memberi kehidupan. Udara
yang memberi hangat.
Tapi apa bagi Salma. Urip justru menjadikan Salma layu karena apa yang
Salma rasa tak lebih dari seperti bernafas tanpa udara.
Apa Urip tak menyadari itu?

5.19.2016

Linang



Bukanlah orang yang memahami estetika, Urip lahir dari kasta rendah, yang dia tahu hanya bulir kembang jagung bukan mawar merah. Hidup mengandalkan mitos peninggalan kaum konservatif, hidup tak memiliki kejelasan prespektif bukan seperti Salma yang memiliki natur tekun dalam penyempurnaan mantra. Salma individu tangguh yang memiliki kemampuan sangat baik. Salma memiliki kemampuan imprufisasi ketika mantra membentur teori. Salma mampu menjadikan teori untuk lebih stabil. Jelas, karena Salma memiliki referensi yang cukup.
Entah mengapa kini semua kemampuan seperti hilang, logika Salma tak lagi berjalan ketika berhadapan dengan Urip. Semua yang telah pernah ia pelajari dengan susah payah seperti lenyap. Mengapa?
“Aku hampir tak bisa bernafas setiap kali kau ada didepanku” ucap Salma terasa berat.
Urip tak hirau dengan apa yang didengar.
Apa itu berarti Urip puas dengan drama yang telah ia buat. Drama yang membuat Salma kehilangan senyum, sahabat, hingga kehilangan segala kemampuan atau mungkin Urip menginginkan Salma hancur lebih dalam lagi?
Aku sangka bukan. Linang air mata Salma sudah lebih dulu menusuk jantung Urip dan itu lebih dari  yang baru didengar.

Semenjak Urip mengubah jalan hidup memang dia melupakan semua. Guru Wahab, Kojin, Nungkai, Narang, Tanah Luar dan semuanya. Berorientasi materi dengan mengambil resiko tinggi memang benar-benar membuat Urip berubah. Ya, Urip gambling dengan seluruh aset yang dimiliki. Untuk apa? Gak perlu aku jawab.
Tapi yang aku tahu Urip selalu berangkat jam 2 dini hari lalu esoknya sekitar  jam 10 malam baru sampai rumah lagi. Di hampir setiap hari matanya terjaga 20 jam bekerja dibelakang kemudi dengan jarak tempuh sekitar 600 km  sebagai pejual jasa pengadaan barang.
Yang aku tahu setiap telah dibelakang kemudi dan harus memandangi jalan aspal maka isi kepala Urip tak lebih dari hanya memikirkan Salma. Urip hanya ingin melihat Salma bahagia tapi yang jelas bukan dengan dirinya. Apa itu berarti Urip tidak mencintai Salma?
Aku sangka jika seseorang mencintai orang lain maka orang itu akan sedia melakukan sesuatu berkorban apa saja agar orang yang dicintai bisa bahagia walau itu berarti yang dicintai bersama dengan yang lain. Orang yang dicintai tidaklah akan pernah jauh dari hati walau dia memiliki jarak yang jauh.

Urip tidaklah pernah akan bisa membuang Salma. Sebenarnya Salma juga bisa merasakan itu tapi tidak mudah bagi Salma ketika memandang cermin menatap dirinya yang telah lebih dari dewasa dan dia masih sendiri. Sedang Urip satu-satunya yang ada didalam ruang  hati tapi tak pernah bisa benar-benar dimiliki. 
Air mata Salma jelas menggambarkan apa yang ia ingin dan sudah pasti itu lebih dari sekedar cinta.

5.08.2016

Menyakiti



Urip hadir hanya membawa rasa bimbang tak tentu arah, sakit itu hanya tipis terasa tetapi menjadikan layu hidup Salma. Terasa menyesak nafas yang pasti, sedang hembus angin bukanlah mengihibur atau mengeringkan air mata Salma yang ada justru menjadikan gelap.
Hidup seperti laknat ketika mengenal Urip. Mungkin benar perasaan Salma waktu itu yang mengatakan jika sebagian dari nafas Urip membawa aroma iblis. Mungkin kesalahan besar telah mengenal Urip tapi entah mengapa justru terasa seperti tercekik ketika Urip jauh.
Bersama Urip hidup Salma berantakan seperti kapal pecah menghantam karang  dan Salma tahu sedang bermain dengan nasib dan jangan kau tanya kemana dia akan melangkah. Yang pasti dia telah lebih dari dewasa dan tahu apa yang ia mau. Sudah pasti itu lebih dari yang Urip pikirkan.

5.05.2016

Mengapa Harus?



“Entah bagaimana cara membengkokkan hati pula bagaimana menghentikan pikir. Mengapa seseorang justru hanyut oleh pikir, hati, naluri pun ego mereka sendiri, mengapa mereka seolah tak memiliki kuasa untuk mengendalikan keempat instrumen yang seharusnya menjadi perangkat untuk menyelesaikan permasalahan sehingga  manusia bisa lebih produktif. Bukan justru membentuk konflik yang berujung pada pelemahan produtifitas”

Apa yang sebenarnya Urip pikirkan sehingga dia masih saja larut pada kalkulasi pemahaman. Sedang nyata Salma sudah tak lagi bisa diajak berbicara. Apa mungkin Urip sudah buta mata hatinya sehingga dia tak lagi bisa membaca apa arti getar bibir dari wajah memucatnya  Salma. Apa semua ucapan harus diartikan seperti apa yang diucapkan. Mengapa Urip tidak jadi robot saja. Bodohnya Urip.
Hembus angin semilir rupanya menegur  Urip untuk menurunkan ego hingga terhenti apa yang memenuhi isi kepalanya. Kemudian ia menengadahkan wajah  sambil menarik nafas mendalam sedang mata memejam dan setelah itu ia menunduk. Tiba-tiba terjadi perubahan yang cukup drastis, otak Urip terlihat buntu bahkan kini Urip tampak berusaha membuka mata hati. Rupanya Urip mulai sadar jika kekacauan telah ia buat sehingga memporak-porandakan hati Salma.
“Ya, aku bodoh, aku telah melakukan kesalahan. Barangkali akan lebih baik jika kita tidak bertemu lagi. Aku tahu ini akan sulit. Jangan kau pikir ini akan mudah bagiku. Bahkan jika kau tahu tak semalampun aku pernah bisa untuk tak memikirkanmu. Jangan kau tanyakan apa artinya kau bagiku. Entah apa jadinya aku tanpa kau ada dalam alam sadarku.
Sudahlah jika berpisah menjadi pilihan terbaik kita. Biar aku tetap menyimpan semua, mungkin akan aku bawa sampai gelap abadi menemaniku” ujar Urip yang tak mampu lagi memberi pilihan.

Angin makin deras menerbangkan daun kering juga rambut Salma yang tergerai. Salma menepis peluk Urip sambil membuang muka, tak bersuara membiarkan air mata perlahan jatuh sedang nafas terasa sesak menahan  remuk perasaan membayangkan arti  berpisah terasa lemas seluruh sendi.  Mengapa Urip berubah menjadi kejam. Mengapa harus berpisah yang menjadi pilihan.

5.03.2016

Egois



“Sebut saja pintu dari rumahku rusak, tentu akan akan terusik dan kemudian akan aku merperbaiki.
Benar, aku memang memperbaiki  pintu rumahku itu hingga pintu menjadi berfungsi dengan baik kembali.
Setelahnya yang ingin aku bahas, bukan soal pintu itu. Sebelum aku mengetahui pintu itu rusak aku baik-baik  tapi setelah mengetahui pintu rusak dan kemudian aku memperbaiki hingga pintu yang rusak itu menjadi baik malah kemudian aku yang menjadi rusak, karena ibu jariku terluka, karena terjepit sewaktu memperbaiki pintu tadi, bajuku yang tadinya bersih berubah menjadi kotor.
Benar, kalau gak ingin kotor atau luka ya biarkan saja pintu itu. Rusak biar tetap rusak hingga yang baik akan tetap baik. Sederhananya jika kau ingin menjadikan sesuatu menjadi baik maka pastikan dirimu siap yang akan menjadi rusak. Coba asumsikan dengan hal lain, apakah yang aku sampaikan masih berlaku sama atau tidak.
Sama barangkali dengan lambai tanganku atau langkah kakiku. Jika yang kiri maju maka yang sebelah kanan akan terbelakang.  Seperti halnya subyek-obyek, memandang- dipandang. Barangkali setiap relationship memiliki ketetapan itu. Bukan sama-sama memiliki untuk bisa disebut us tapi you and I bukan I and I.   
Cinta ketika telah sepakat tidaklah menjadi penyatuan yang saling mencintai melainkan satu kasih dan yang lain sayang. Kita sudah bukan dalam proses untuk bisa dalam kebersamaan. kita sudah dalam kebersamaan”
“Berkelit, berkelit, aku lelah, aku gila hanya memikirkanmu!”  emosi Salma meledak.
Salma tak memerlukan apapun, apalagi asumsi Urip yang terasa justru menyudutkan dirinya kedalam jauh di kesendirian. Kesadaran Salama hanya bertanya  kemana seharusnya bersandar kalau bukan pada Urip. Semenjak adanya Urip Salama telah kehilangan banyak sahabat bahkan untuk menjadi diri sendiripun Salma hampir tak bisa.
Enatah apa yang ada di benak Urip sehingga dia minta dibenarkan dengan ocehan pajangnya itu. Barangkali sudah sifat laki-laki yang egois yang tak pernah memahami perempuan, ketika perempuan mengungkapkan perasaan bagi laki-laki seolah terdengar hanya meminta alasan.
Salma tak memerlukan lebih dari sekedar peluk, sekedar membuktikan bahwa Urip masih ada untuknya, tak lebih. Sekedar pernyataan bahwa dia tak sendiri walau dia juga sadar bersama Urip berarti petaka.
Entah mengapa Salma tak mampu jauh dari Urip sedang dia sangat membenci

Mengambil Gambar

Aku sempatkan mengambil gambar sederhana  pagi tadi. Sekedar rumput yang tumbuh di pinggir jalan. Aku gunakan lensa canon 55 - 250mm pula ap...