4.30.2014

Kusut

"Apa kelebihan Urip sehingga kau begitu meanak emaskannya?" tanya datu.
"Kesediaannya menjadi bodoh dan aku suka orang bodoh.
Karena dia bodoh maka dia tak lagi memandang lawan bicara, dia berani
mendebat walau itu berarti aku yang didebat. Dia suka bicara semaunya,
bahkan dia ucap apa yang dia tidak tahu" jawab guru.
"Membicarakan yang dia tidak tahu?" datu terheran.
"Bukan membicarakan tapi bicara, ucap bukan mengucap. Lebih spesifik,
karena awalan me adalah kesengajaan.
Nasib tak diketahui maka jika kau ingin tahu nasib jawabnya ada pada
sesuatu yang tidak kau ketahui. Maka ketika Urip bicara sesuatu yang
tidak Urip itu sendiri ketahui disitu pula aku membaca alur nasib dari
siapa yang terbicara.
Ucap sekedar ucap berarti tak memiliki tendensi, tanpa pamprih itu
bodoh. Jika kau pintar maka kau mengucap dan itu memiliki motif atas
pengucapan, jauh dari keikhlasan. Kau memiliki kalkulasi yang kau
ketahui.
Diketahui bukanlah nasib, nasib tak tahu" jawab guru lagi dengan tawa
setengah merendahkan.
"Kau sakit ya..?"
Keduanya tertawa walau setengah dari perasaan masing-masing menyimpan
dongkol sesaat. Dongkol yang segera terbuang.

Mereka menjadikan Urip pertunjukan yang bisa dibuat banyak asumsi,
sedang Urip sendiri kusut menanggung kebodohan atas tindakannya.
Arti kekasih bagi Urip adalah dia yang memiliki berjuta jawaban atas
apa yang dia rasakan atas makna kehidupan pula adanya kekasih telah
menjadi hukuman yang sangat menyakitkan.
Tak pernah henti bayangan sang kekasih memaksa setengah dari ruhnya
mengeluar, memaksa hati dan pikiran menggenggam kesadaran tentang dia.
Bodoh benar-benar bodoh, hanya menjadi tontonan yang bisa ditertawakan
kedua kaum tua itu, tentu tak luput pula cibir dari yang disebut Urip
sebagai kekasihnya itu.

"Sesuatu yang ada tidak akan lenyap kecuali berubah bentuk, teori
materi kekal. Ucap bukanlah materi, tapi aksi atau kreasi, setiap aksi
selalu ada reaksi sedang kreasi akan menjadi. Bukankah perubahan
berdasar pada reaksi, bukankah dikatakan kreasi ketika menjadikan
sesuatu. Lalu adakah ucapku tak akan lenyap begitu saja tanpa bisa
menjadi reaksi atau kreasi, akankah ucap itu menjadikan perubahan
sehingga menjadikan bentuk.
Kasih, ucapku akan menjadi apa aku tak tahu" tanya Urip pada diri
sendiri, tanpa pernah keluar dari mulutnya yang sibuk menghisap rokok.

4.28.2014

Waras

"Bukankah dia selalu kehilangan arti setiap didepan layar. Buruk,
lebih jahat dari sianida dan yang pasti sulit hilang.
Aku hampir bisa merasakan jika dia ingin menangis, tapi itu tak
mungkin dilakukan, akan aneh yang pasti ketika dia sampai menangis
untuk laki-laki yang bernama Urip kecuali dia sudah gila. Sudah pasti
pula menjadi semakin terasa menyakitkan ketika hubungannya dengan Urip
terdengar oleh yang lain. Perempuan itu masih waras kan?" setengah
tertawa bodoh datu Yana.
Gigi ompong kedua laki-laki tua menggambar setengah dari kejahilannya
masih ada tersisa.
Sejuk angin menerpa tubuh keduanya, sedang daun-daun bambu menari
memberi perasaan teduh kepada jiwa yang lelah.

"Dia memiliki rindu yang tak pernah dia bisa ungkap, hanya dia yang
tuhu seberapa makna Urip dalam hidupnya. Ketidakbermaknaanya Urip
justru memberi arti terhadap sesuatu yang dia hampir tak bisa urai.
Kekonyolan Urip menyadarkan keterlambatan dan kesunyiannya yang telah
makin mencengkeram ulu hatinya sendiri.
Bukankah kenyataan memaksa dia untuk memahami arti laki-laki bodoh
bagi hidupnya.
Dia memiliki rindu kepada seseorang yang hanya dia sendiri tahu dan
itu bukan Urip yang pasti. Urip hanya teman yang kebetulan duduk
bersebelahan dalam satu bus dengannya, menuju masing-masing tujuan.
Lalu apa itu berarti mereka bisa saling sepakat. Tidak ah.., yang
benar saja" sambung guru Wahab.

"Kamu ingat ujar orang Jawa, Trisno jalaran soko kulino, cinta karena
terbiasa man...." tawa datu pecah.

4.26.2014

Dia mampu

"Jangan khawatir, kekasihmu sudah terbiasa dengan konflik, setiap
konflik yang pernah dilalui telah menjadikannya cerdas, cerdas yang
bukan sekedar logika.
Bukankah manusia telah didesain untuk mampu beradaptasi, tentu
kekasihmu juga memiliki kemampuan antisipasi dari segala tekanan, dan
itu pasti sudah sangat memadai.
Dia bukan sekedar cantik, dia mewarisi darah ulet ibunya dan keteguhan
ayahnya" ujar Beng.

4.24.2014

Aku Tak Dewasa

"Terkadang aku sangat rindu kekasihku seperti yang dulu. Dia yang dulu
banyak bercerita, dia yang berani, tak segan berucap sesuatu. Kagumku
waktu itu tak terkira, ketika dia memamerkan tariannya yang sangat
ekspresif" ujarku.
"Apa dia sudah tidak menarik lagi" sambung Beng.
"Aku kehilangan dia"
"Bukan, kau bukan kehilangannya, kau telah mendapatkan hati dan
perasaanya. Bukankah itu maumu waktu itu? Kau saja yang tidak
memperhitungkan kemungkinan akan terjadinya konflik pada diri
perempuan itu, konflik dari cinta yang akan lebih menguasai dirinya.
Konflik yang akan menguasai hati dan perasaanya, konflik yang akan
mengambil alih sisi kreatif dari naluri perempuan yang menawannya itu.
Kau sendiri yang telah melakukan itu, kau yang menyita dengan semua
oceh kosongmu, kau yang menjerat hatinya hingga dia merasa sakit luar
biasa. Bagaimana mungkin orang bisa menari sementara dia merasa sakit,
sudah otomatis jika seorang penari sedang sakit maka dia akan lebih
sibuk mengurus sakitnya dan melupakan tarinya" Beng menyalahkan aku.
Aku terdiam, malah sibuk mengingat awal jumpa dengannya.
"Maafkan aku" gumamku.
"Untuk apa, maaf tak merubah apa yang telah terlanjur ada terjadi.
Bukankah sekarang dia hampir tak tahu lagi kemana arah? Tapi dia tak
pernah menyalahkanmu, bahkan dia berusaha sendiri mengatasi konflik
jiwanya, tak sekalipun berani mengeluh padamu.
Rip, dia perempuan yang kuat, dia mampu menyembunyikan semua tangis dan perih.
Sayang sekali kau tak pernah henti melukai." Beng benar-benar menyalahkan aku.

"Angin sampaikan salam dan mohon ampunku padanya. Aku bodoh dan tak
pernah bisa dewasa" kalimat itu tak keluar dari mulutku.
Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Semua tak cukup sekedar
dengan cinta, dunia ini nyata.

Angin berhubus menanyakan seberapa sungguhku menitipkan salam dan
ampunku itu, namun aku tak bisa menjawab, diam menggumpal raguku
hingga angin itu telah benar berlalu.
Tertinggal bunyi serangga malam yang sependapat dengan Beng, ikut
menghakimi aku.
Aku nyalakan rokok dan meletakan ponsel di sebelah duduku memandang
gelap langit tanpa bintang.

"Kasih"

Aku Abai

Barangkali alasan telah ada rasa padamu sehingga serapah terasa
sentuhan lembut bagiku, pun sakit keluhmu terasa menusuk jantungku.

Ya, bodohnya aku yang percaya logikanya hati namun abai logika cerdas.

Kau Lelah

Terkadang aku membaca tulisan seseorang bukanlah memperhatikan apa
yang ditulis itu tapi psikologis dari si penulis itu.
Tekanan, kejenuhan, bimbang, pamer, bangga, bagia, ragu bertindak,
tegur sapa kepada yang lain atau apa saja latar belakang penulis
terkadang sangat jelas bagiku.

Pun ketika membaca tulisan dari seorang kekasih yang bercerita tentang
rananya maka aku bukan tak tahu rana itu itu. Namun rana itu bagiku
bisa berubah menjadi wakil dari kalimat meminta aku untuk lebih
serius padanya. Dengan alasan rana itu nyata ditujukan padaku.
Seseorang tidaklah mudah jujur mengungkap apa yang ada di hati dan
pikirannya kecuali kepada orang yang memang benar bisa dipercaya
sebagai sandaran atas letih.
Pula aku heran karena aku tahu jika disisi setengah dari perasaannya
mengatakan jika aku sama sekali bukanlah pilihan yang tepat baginya.
Terkadang hal seperti inilah yang membuat aku tidak memahami
perempuan. Satu sisi meminta namun bibir berkata tidak. Dan ketika aku
bersungguh maka makin keras sekali dia mengatakan tidak pun ketika aku
melemah maka dia bisa gelisah.
Ya, hati dan pikiran tak akan pernah sama. Hati tahunya senang tanpa
perlu perhitungan sedang pikiran sangat memperhitungkan dari segala
hal pemenuh kesenangan.

Ya, kaki kiri dan kaki kanan melangkah bergantian ketika kau berjalan,
barangkali itu hati dan pikiranmu yang sedang menuju tempat seperti
yang kau mau.

Kau lelah berjalan, aku mengerti itu dan aku hanya orang yang
kebetulan sesui untuk membuang serapahmu.

4.21.2014

Ah

"Dia sebenarnya perempuan yang memiliki banyak alasan untuk bisa pergi
meninggalkan Urip, dan itu berbanding terbalik dengan Urip. Entah apa
yang menjadi alasan sehingga dia tidak melakukannya" ujar guru Wahab
tanpa ekspresi.
"Terasa hanya hal buruk, terkadang manusia justru belajar di keadaan
buruk itu, hidup akan mengajarkan banyak hal.
Tapi apa itu sepadan dengan apa didapat oleh perempuan itu. Perempuan
itu bisa berlalu seharusnya.
Mantra pemikat apa yang ditiupkan Urip?" sambung datu Yana.

4.20.2014

Salam

Bahkan aku tak pernah yakin pada diriku sendiri. Aku hanya merasa
selalu ingin bercerita panjang lebar padamu. Tentang apa saja.
Sadar diri tentu, jika aku membosankan.

4.17.2014

Aku Bodoh

Guru Wahab pun datu Yana bingung mendengar, jelas ada pemaksaan
kalimat dari penjawaban. Datu pun guru mengerenyitkan dahi berusaha
menerka apa yang ada dalam pikiranku, keduanya merasa jika hanya
tubuhku yang ada diantara mereka sedang hatiku tidak. Mereka mulai
sadar jika kesadaranku telah berada jauh dari tubuhku.
Tak beda aku juga sadar atas tatapan mereka berdua, tampak sekali ada
keterkejutan atas jawabanku tadi.
Benar memang, yang ada di kepalaku hanya dia, kekasihku. Aku hanya
bisa mengingat senyum kekasihku, tak lagi mengetahui apa yang mereka
berdua debatkan.

Barangkali seperti sangkamu jika aku terlalu bodoh, karena ketika
sedang berada diantara dua tokoh tua, aku justru sibuk memandang wajah
kekasihku yang aku download dan simpan dari situs miliknya.

4.13.2014

Cinta

"Apa yang kita ucapkan hanya menjadi pelindung, masing-masing dari
yang disebut sungguh tetap tersembunyi, kita masih rahasia atau justru
kita tak pernah mengetahui seperti apa kita sebenarnya.
Aku urat darah daging tulang sumsum, yang memiliki kemauan, bukan
keinginan yang ada dalam pikiran.
Bukankah guru pernah mengajarkan itu padaku.
Bukankah diskusi ini hanya refleksi keakuan. Benturan ego.

Aku juga kekasihku hanyalah gambaran kepahitan zaman. Tidak ada
kaitannya dengan yang kalian debatkan.
Tingginya edukasi seolah kemajuan yang menawarkan kemapanan, pun
ketika tak terdidik nyata bakal tergilas kemajuan peradaban, tapi kami
pada kenyataan hanya ingkar dari kodrat yang hanya berujung siksa.
Kami melupa usia demi mimpi yang jelas tidak akan pernah pasti, seolah
sengaja melupa jika sepasang kekasih seharusnya berakhir bahagia.
Aku pun dia sadar jika ini hanya petaka, kami hanya saling cinta,
tak pernah mau sadar jika cinta adalah wujud sunyinya hati yang Tuhan
bekalkan agar manusia sedia berpasangan-pasangan, demi lahirnya
regenerasi, kelangsungan hidup species manusia.
Jika sunyi hati tak pernah ada mungkin manusia hanya sibuk dengan
pikirannya, pikiran waras yang menolak cinta, mungkin pria pun wanita
akan sibuk sepanjang masa dan tak akan tertarik untuk berbagi ruang
diantara keduanya.
Itu kenyataan ku dengannya, itulah aku pun dia adanya yang nyata.
Jangan pernah dibuat asumsi, hati sunyi tak memerlukan asumsi"

4.11.2014

Ego keduanya

Guru Wahab tersenyum tipis
"Satu hal lagi yang aku ingin sedikit bertanya, mengapa kau selalu
condong ke kiri, mengapa kau suka membalik aturan yang sedang berlaku
dalam tatanan masyarakat" tanya datu Yana.
"Kiri atau kanan tergantung dari posisi hadap subyek kepada objek atau
obyek itu sendiri yang menentukan hadap, aku ambil contoh jika huru b
kau tulis pada media transparan maka b itu bisa berubah menjadi d jika
kau melihat huruf b itu dari sisi sebaliknya, atau b tersebut akan
bisa menjadi d ketika media tulis transparan tersebut berputar 180
derajat, b pun d sama-sama huruf yang memiliki fungsi dalam rangkaian
huruf dalam kata. Keduanya benar.
Seperti katamu aku memang suka berada di posisi sebaliknya dari
aturan. Kiri atau kanan merupakan pendapat subyek namun obyek tetap
setia dengan keberadaannya, tak bisa didustakan, bukankah jelas jika
benar atau salah hanya asumsi subyek.
Lalu apakah kau ingin menyalahkan aku ketika berasumsi sesuatu yang
jamak berlaku tak lebih dari pembodohan, membunuh kreatifitas,
menjadikanmu tak pernah berani melakukan eksplorasi dari kekayaan
potensi yang kau sendiri telah miliki, kau tak akan pernah bisa
berkreasi karena kau takut dibilang berbeda. Bagiku itu makna
penyeragaman dalam tatanan masyarakat. Mengapa kau memilih sesuatu
yang seragam, sedang dirimu tak sekalipun sama dengan yang lain, nama,
umur, wajah warna kulit, semuanya berbeda. Haruskah kita seragam dalam
pendapat?
Aku yang sebenarnya harus bertanya padamu, mengapa kau bisa menjadi
sama dengan yang lain. Mengapa anak-anakmu kau perintahkan untuk
menghabiskan waktu di sekolahnya untuk menghafal pelajaran yang belum
tentu sesuai untuknya. Mengapa tidak kau berikan waktu kepadanya untuk
lebih banyak bermain, sehingga dia menjadi manusia yang berkembang
dengan kreativitasnya. Sadarkah kau jika anakmu bukan bahan mentah
yang siap dicetak oleh mesin produksi. Mereka manusia kreatif yang
bisa menjadi seperti apa yang dia mau, mereka memiliki optimis yang
luar biasa" jawab guru Wahab.
"Kau memang selalu melawan dengan berbagai konsep yang mengejutkan,
namun semua yang kau sampaikan itu hanya penyampaian meminta
pembenaran, kau berdalih" datu Yana tersenyum masam.
Terasa jika datu Yana akan segera menantang dan itu makin jelas ketika
datu mengarahkan pandangannya padaku.
"Rip, kau masih mencintainya? Seberapa kesungguhanmu padanya?" tanya
datu padaku.
Aku tidak terkejut, aku memang sudah siap terhadap kemungkinan, sudah
resiko jika akan terlibat ketika berada diantara perdebatan mereka.
"Tak perlu kau jawab, matamu sudah lebih dari cukup untuk menjawab.
Apa itu yang kau maksud kreatifitas? Menjalin hubungan terhadap
perempuan yang dicintai tanpa pernah menyentuh lembut dari kulit
perempuan itu? Dunia maya untuk prosesi ritual sunah rasul? Urip
bagiku tak lebih dari sebagian gambar atas kegagalanmu mentransformasi
ide pembelotan dari pakem yang seharusnya. Itukah jalan kiri yang kau
maksud?" ucap datu.
Aku terdiam duduk diantara dua monster yang bernama ego. Keduanya
minta dibenarkan, meminta pengakuan.
Guru Wahab tersenyum kearahku dan datu pun aku paham itu. Guru Wahab
memberi kesempatan padaku untuk jangan hanya diam.
Suasana sesaat lengang kami bertiga seolah memberi kesempatan pada
serangga malam untuk memainkan musiknya disela lelah dari meninggikan
tensi.

4.09.2014

Ego

"...It's hard to tell your mind to stop loving someone when your heart
still does..." itu kalimat yang sedikit aku ingat juga sulit aku
pahami dengan baik. Itu ucapan Peter, seorang sahabat.

Sedang malam sudah hampir pagi, aku masih merenung tentang kita. Sudah
tak lagi aku memiliki alasan untuk apa aku selalu ingin kau.
Belakangan aku berusaha menghentikan, ada selalu perasaan salah yang
datang. Bukan apa, tapi aku semakin lancang ketika sudah tidak sungkan
mengatakan bahwa aku perlu bersandar atas sunyinya perasaan padamu.
Benar, masing-masing orang memiliki sunyi dan lelahnya jiwa mereka
sendiri-sendiri dan kekasih hatilah yang menjadi sandaran sunyi itu,
karena Tuhan yang seharusnya ada terlalu sulit untuk dinyatakan dalam
kehidupan.

Kasih biarkan aku memanggilmu ketika aku tidak mampu.

Mengambil Gambar

Aku sempatkan mengambil gambar sederhana  pagi tadi. Sekedar rumput yang tumbuh di pinggir jalan. Aku gunakan lensa canon 55 - 250mm pula ap...