8.17.2020

Mengambil Gambar

Aku sempatkan mengambil gambar sederhana  pagi tadi. Sekedar rumput yang tumbuh di pinggir jalan. Aku gunakan lensa canon 55 - 250mm pula apertur paling rendah sedang speed ada di tertinggi 4000/ sekon tentu objek lebih menonjol dengan ketajaman cukup konskuensi baground blur tentu. 
Terkadang aku lebih berani mengambil objek yang tampak sederhana dan mudah untuk mengambil center interes dari sebuah frame, akan tetapi aku merasa sangat sulit mem-frame perasaan yang sebenarnya sangat jelas. 
Untuk alasan apa aku menulis, itupun masih aku belum tahu.
Waktu kecil aku sering menyendiri dan menangis untuk sesuatu yang terasa sakit di hati. Aku merasa tak ingin seorangpun tahu untuk alasan apa tangisku itu. Aku hanya ingin mengungkap sedihku.

Entah seperti apa seharusnya. Jelas tidak semudah aku mengabil keputusan untuk objek bidik camera

6.01.2020

Pagi Itu

Pagi itu Kojin berdiam memandangi anggrek yang tumbuh di sela pohon yang tumbang
Sedang Beng mendekat
"Tapi apakah dia sehati dengan Urip?" Tanya Kojin.

"Benar untuk diawalnya tapi tidak lagi untuk sekarang mungkin akan lebih terdengar seperti membosankan mendapati hal yang sama seperti masa lalu.

"Mengapa mereka tidak membiarkan masa lalu tetap pada tempatnya?"

"Benar, masa lalu tetap indah jika tetap di masa lalu tentu ketika mereka rindu masa lalu seharusnya cukup dengan mengenang dan bukan masuk dengan terlibat kembali.
Mungkin indah hanya pada waktunya dan tidak ketika berada di waktu yang berbeda."

"Apakah  tindakan Urip salah?"

"Tidak juga, setidaknya mereka bisa mengetahui bahwa kadang ada hal berbeda ketika seseorang mengharap sesuatu yang sama.
Sudahlah... cinta karena seseorang cinta jangan kau tanya alasan, karena aku yakin jika ia memberi alasan jelas itu jawaban yang di ada-ada yang akan janggal didengar
Mungkin aku orang realis yang kolot, mungkin"
Beng berhenti berucap sambil mematikan rokok yang memang sudah mati

5.15.2020

Dewi

Dewi melempar senyum ejek tipis ke arah Urip. Sedang Urip melempar rokok di tangan yang mulai habis.
" Kau memang suka dan kesalahan itu yang terindah. Kau suka ketika bisa mendengar detak jantungna, walau itu ribuan kilometer jaraknya. Kau merindu saat menghabiskan malam bersama hebus nafasnya.
Ah... ah... kau ingin kembali bersamanya..
Ah...aku mencium gairah yang terselubung rindu.
Sungguh kau ingin menyetuh lembut kulitnya?..
Ayo.... katakan... katakan, jangan ragu...
Aku bisa mengambilkannya untukmu" Dewi mulai tampak berselera tahu keadaan Urip.

Kulukai

Mungkin kita telah mengambil satu langkah yang salah hingga menghacurkan diri kita sendiri. Atau mungkin kehidupan yang membawa kita , juga mungkin pula kita yang terkadang lupa untuk apa kita ada.
Pernah seseorang mengatakan padaku bahwa aku ada dan muncul sudah lebih dari cukup untuk menjaga.
Waktu itu kami berdua tak pernah sadar dan benar-benar tidak menyadari jika telah larut oleh hangat peluk sayap-sayap cinta yang sebenarnya sangatlah beracun
Aku tak pernah dengan benar bisa menyadari jika yang mengulurkan minuman waktu itu sebenarnya iblis bermuka suci malaikat.
Tapi jujur...aku suka dengan itu, walau itu berarti juga sesal kerena telah menjadikan luka di setengah hatinya

5.10.2020

Beng

Itu yang aku maksud bisakah ikan tahu nasib air tempat ia hidup. Urip sangat suka perempuan itu. Perempuan itu cantik baginya. Urip menganggap perempuan itu sempurna. Dimata urip perempuan itu terbaik dari semua yang ia pernah kenal. Sering urip mengatakan padaku andai ia masih sendiri tentu ia akan terbang ke sana untuk menemui. Tapi nasib mengatakan lain. Nasib bukan sekedar hubungan antara dua manusia tapi meliputi semesta alam yang memiliki kait satu dengan yang berjuta dalam ketentuan dan keteraturan yang hanya Tuhan sendiri tahu.
Satu tindakan memiliki keterkaitan berurut atas masa lalu hingga masa depan dengan berjuta akar konskwensi yang saling membentur tapi tetaplah terukur dalam aturan pula itu sangatlah rumit.
Mungkin perempuan itu meragu dengan ucapan Urip yang bernada puja,  mungkin anggap perempuan itu apa yang diucap Urip sebagai gombalan.
Tapi aku rasa Urip taklah buta dan ucapnya bukan gombalan semata. Mustahil lelaki seperti Urip mudah terpengaruh. Jelas perempuan itu memiliki sesuatu yang lebih dari kebanyakan perempuan. Aku rasa perempuan itu telah mampu mencapai sesuatu yang hanya sedikit perempuan lain bisa lakukan. Pasti bukan seperti perempuan yang lain, yang sudah harus terkurung kebebasannya oleh kewajiban rumah tangga hingga tak bisa bergerak. Memikul beban yang diberikan oleh laki-laki  yang dulu memujanya.
Bagaimana mungkin perempuan itu tidak cantik, aku rasa Urip tak akan tertarik untuk berbincang lebih jauh jika dia tak cantik. Dan kau tahu rupa sangat berpengaruh atas sebuah hubungan. Bagaimana mungkin urip sedemikian jauh betah jika dia jelek. Jika dia jelek pastilah Urip malas sudah mendekati apalagi berlama-lama.
Dan aku rasa perempuan itu juga sadar jika sebenarnya telah pernah banyak laki-laki yang sering curi pandang padanya. Tapi sayang... perempuan itu sudah terlalu tinggi jauh diatas hingga laki-laki minder dibuatnya, pun kalau laki-kaki menyatakan suka  padanya sayangnya laki laki itu bukanlah ekspetasinya dan pasti tak bisa perempuan itu sambut karena tak bisa selaras dengan apa yang ia mau. Apa perempuan itu pilih-pilih? Mungkin ya, mungkin tidak. Tapi bagaimana tidak memilih sedang ia punya pengetahuan tentang baik dan buruk, selaras dan tidak.
Nah aku yang justru heran bagaimana Urip bisa  membuat perempuan itu tahan berlama-lama dengannya.
Ah.... inilah hidup.

Unggun

"Tanah luar terdominasi oleh kaum yang lebih maju oleh pendidikan formal, melakukan kegiatan produktif untuk mendapatkan pencukupan materi, memiliki prilaku emonomi.
Sedang orang tanah dalam memiliki pola mirip kehidupan jaman batu. Mereka tak pernah tahu pendidikan formal, seolah kehidupan mandeg.
Namun dua kelompok itu memiliki ketertarikan yang sama pada monyet keseimbangan dan masih diperebutkan sampai sekarang. Dua kelompok yang berbeda akan tetapi tetap memiliki kesamaan

Sering kita tidak paham dengan hidup kita sendiri tapi rasanya mudah menilai kehidupan orang lain. Kita gampang menilai orang justru karena kita sekedar melihat prilaku fisik mereka tanpa mau melihat kedalam isi kepalanya.
Ketika kita mau mencoba masuk isi kepalanya, maka aku rasa kehidupan mereka yang seolah berbeda dengan kita, sebenarnya akan sama saja dengan kita.

Aku melihat sebuah bangunan tua di pinggir sawah dan sejenak aku melayang angan.
Dulu bangunan ini berdiri tentu menggunakan pondasi.
Pondasi itu tentu tak terlihat dan mungkin akan tetap ada walau rumah itu roboh.
Pula mungkin sama dengan aku yang sekarang tampak. Aku kacau, berantakan, tampak tak tentu arah dan aku sendiri tidak paham.
Sedikit dari rumah tua itu yang aku pahami, bahwa aku juga memiliki pondasi dari apa yang aku mau waktu itu. Aku ingin menjadi apa dan seperti apa.
Yah... terlintas beberapa yang aku andai sewaktu aku masih kecil. Itukah pondasiku. Mungkin, mungkin juga bukan itu. Atau apa keinginan kedua orang tuaku yang menjadi pondasi hidupku. Mungkin ya, mungkin bukan.
Atau genetika? Lingkungan? Atau...banyak kemungkinan lain.
Terlintas, ya ini yang aku dapati dan dulu pernah aku inginkan. Namun keinginanku waktu itu tanpa memahami tuntutan sosial yang harus aku hadapi dan sekarang benar-benar membenturku.
Mustahil ada lukisan tanpa media. Mustahil ada garis tapa titik awal" ujar Kojin.

"Kau menyindir aku?"

"Bukan, aku menyidir aku sendiri yang tak jauh beda denganmu. Tadi hanya susunan kalimat. Mengapa bisa melukaimu" sanggah Kojin

"Aku punya telinga untuk mendengar, punya mata untuk melihat!"

"Yang aku tahu telinga tuli juga matamu buta"

"Apa"

Beng tersenyum melihat satu dari kedua sahabatnya mulai memanas.
"Sudahlah Jin...sudah. Andai kita bisa menentukan nasib, mungkin aku sudah tentukan. Apakah Tuhan tidak adil, aku rasa Dia yang memiliki rencana. Apa aku tidak resah, tentu sama resahnya dengan kalian.
Mungkin yang berbeda diantara kita ada yang beragama dan mungkin yang lain hanya berTuhan namun tidak beragama.
Satu hal, dengar dan lihatlah dengan hati dan biarkan Tuhan yang memberitahumu"




5.03.2020

Bibir Hutan


Pukul 8 Jali sudah mulai masuk bibir hutan. Inilah hidup, terkadang seseorang mengambil pilihan yang benar-benar tak ada untungnya untuk dilakukan. Untuk apa, mungkin untuk hati yang tak akan pernah punya kalkulasi. Dan ketika seseorang mengabaikan hati maka orang itu akan merasa ada sesuatu seperti yang tak benar. Seperti ada lobang kosong yang meminta untuk di isi.
Jali salah. Mungkin.
Setidaknya Jali masih memiliki hati sebagai komponen berkehidupan sosial dan bukan semata dominasi kalkulasi untuk angka pasti berketetapan.
Sebagian orang yang lain mungkin masih suka dengan sesuatu yang mutlak. Pula sebagian yang lain mungkin sudah terlalu lelah dengan tuntutan yang harus selalu memiliki ketetapan dalam bentuk kestabilan mutlak.

Langkah Jali terselimut segar udara pagi dan terasa masih menyisakan dingin, saat yang justru makin menyesak angannya dan malah menjadikan penuh tanya tentang Urip.
Jali merasa dulu bisa berubah ke lebih baik karena Urip, sedang Urip sering mengatakan ada seorang perempuan yang sangat berpengaruh dalam hidupnya.
Tergelitik makin keingintahuanya pada sosok perempuan yang Urip sering sebut itu.
" beruntung kau Rippp.." tiriak Jali memecah hutan.
Jali merasa tak mungkin jika perempuan itu hanya bermodal cantik semata seperti perempuan biasa, dia pasti punya kecerdasan dan kematangan hidup yang lebih dari rata-rata.
Jali berpikir jika perempuan itu bak malaikat yang menjadi rebutan pria atau justru kecantikan kecerdasannya  malah membuat pria takut hingga tak percaya diri untuk mendekati.
"Iya-ya... kalau perempuan berkapasitas siapa berani ya...
Iya-ya.. kayak Katy perry atau Agnes mo masak orang biasa berani mendekati.
Wah... beruntung kau Rip Rip...." gumam Jali di kesendiriannya

5.01.2020

Pagi

Katak juga sautan burung rawa saat matahari terbit menyadarkan Jali untuk segera menyusul Kojin dan kedua sahabatnya yang lain. Tak ingin ketinggalan terlalu jauh dari ketiganya.
Jali masih ingin tahu apa maunya Urip walau itu berarti terlibat untuk kedalam sesuatu yang masih gelap baginya.
Jali sadar dia tak sepintar sahabat-sahabatnya yang tahu perhitungan dari sebuah tindakan tapi perasaan lebih menguasai hingga dia rela melepas yang lain.
Ada yang sedikit Jali tahu, Urip tidak mungkin kembali ke Tanah Dalam kecuali demi seseorang yang telah pernah dan mungkin masih mengisi ruang hati Urip.
Jali masih ingat dulu Urip bercerita betapa ia mengagumi kekasihnya yang bahkan bagi Urip kekasihnya itu sangat memiliki arti. Jali tahu perempuan itu telah banyak merubah pola pikir Urip. Sampai saat ini Jali tak mengerti bagaimana cara perempuan itu memberi pengaruh hingga Urip berani mengambil resiko dari sebuah kemungkinan yang bagi kebanyakan orang dianggap mutahil.
Tak mungkin rasanya perempuan menaburkan mantra seperti kebiasaan orang Tanah Dalam untuk memberi pengaruh.
Pula Jali tahu sorot mata perempuan itu bukan seperti dari kebanyakan orang yang memakai tahayul sebagai pegangan hidup.

4.25.2020

Senja

"Seorang kakek duduk memandangi matahari yang beranjak. Ia mengenang masa lalu yang makin jauh tapi selalu lekat ketika senja.
Ia tahu tak seharusnya membiarkan seseorang sendiri menunggu sesuatu yang makin tak menentu
Kakek itu sadar jika seharusnya ia mengisi bagian yang hilang dari seseorang yang telah bersamanya untuk waktu yang cukup lama.
Juga seharusnya memastikan dianya tak sendiri, hingga dianya menemukan teman yang terbaik walau berarti kakek itu kehilangan
Takdir? Mungkin. Ikan berpikir takdir akan menuntunnya akan tetapi apa ikan
tahu takdir air tempat ia hidup"
Andika menghentikan cerita lalu meminum kopinya yang telah dingin.

4.18.2020

Tulisan Urip

... entah, taklah aku ada kecuali untuk kau dan mungkin kita tak akan pernah saling sentuh. Aku kagum terhadapmu melebihi dari yang seharusnya. 
Ketika bayanganmu ada yang kutahu hanya ingin lebih jauh untuk mengenalmu hingga bisa kusentuh rambutmu lalu biarkan waktu berlalu bersama suara detak jantungmu.
Aku tahu benar tidak mungkin kecuali kau dan aku hanya menggelapkan langit.
Jangan kau tanya sampai kapan menyia-nyiakan waktu.

Selembar kertas hasil tulisan tangan Urip yang sedang Kojin baca untuk memahami kemana arah pemikiran Urip tertiup angin yang disetai gerimis.
Andika membuang nafas panjang lalu beranjak dan mendekati Beng yang sedari tadi sibuk menyiapkan kayu bakar sebelum malam benar- benar gelap.


4.17.2020

Sore


"Hipotesisn waktu itu tentu hanya sekedar gagasan riset, aku sadar ada ambisi didalamnya, mungkin aku sendiri yang tahu. Jujur aku masih ragu"

"Aku barangkali berbeda pandangan dan aku rasa tidak akan kupilih jalan sepertimu, aku tidak berani menyampaikan jika aku sendiri masih ragu. Kadang gagasan bisa berarti harapan bagi orang lain, sedang dimataku harapan lebih berbahaya dari virus. Terlalu banyak sudah sahabatku yang telah menjadi korban dari harapan yang mereka telah bangun.
Walau mungkin bagi sebagian yang lain harapan adalah buah yang telah Adam dan Hawa pilih hingga keduanya terusir dari syurga. Pula dengan bekal harapan keduanya bisa bertahan di bumi"

"Terserah apa pendapat kalian, monyet keseibangan yang orang tanah dalam pun tanah luar perebutkan masih menjadi daya tarik bagiku. Aku akan kesana.
Aku dengar Urip telah lebih dulu kembali ke sana.
Entah apa yang Urip pikirkan hingga dia berani menginjak tanah dalam lagi
Aku juga belum paham pemikiran Urip"




Dikirim dari ponsel cerdas Samsung Galaxy saya.

4.03.2020

Tak Sama

Lehar membuang puntung rokok lalu menginjak untuk memastikan bara rokok benar-benar mati.
"Aku telah pernah meninggalkannya agar dia bisa dengan yang lain. Setiap kali aku merindu aku hanya mengintip dari jauh untuk memastikan dia tetap baik-baik sambil berharap dia bisa menemukan yang lain.
Waktu berlalu, setiap kali aku rindu  maka aku selalu menelan lagi rinduku padanya. Selalu membayang saat dia tersenyum atau marah padaku dan kini yang ada jelas tidak berjalan dengan baik" ujar Urip, entah pada siapa dia berkeluh.
"Benar kata Salma. Untuk apa kau kembali. Bukankah kau tidak mungkin bersamanya. Lalu untuk apa?
Setelah sekian lama kau menghilang apa kau berharap semua masih sama seperti yang dulu.
Aku rasa tidak akan" timpal Lehar

"Ya benar. Tidak akan sama dan aku tahu.
Tapi kenapa tidak kau biarkan aku sekedar ingin mendengar dia marah atau menamparku? Dan itu rasa yang masih sama"

4.02.2020

Sesal Mereka

Bukan hanya Dewi, sudah pasti yang lain juga muak, maka Urip sudah tahu itu.
Urip ada sudah salah ketika dia menghilang juga menyisakan tanya yang berujung pada salah. 

"Aku tidak tahu kembali kesini untuk apa. Yang aku tahu setiap di diamku selalu ada yang menyentuh pudakku dan terdengar sayup tanya" ujar Urip.
"Lalu untuk apa kau lalukan sesuatu jika kau sendiri tidak tahu apa yang kau lakukan. Apa setiap tanya harus ada jawab. Tidakkah kau sadar jika tanya itu tak lebih dari benci yang telah dia lontar padamu. Tidakkan kau sadar ketika dari jauh dia sentuh pundakmu hanya untuk melempas serapah? Tidakkah kau sadar?
Aku muak! Kau tak memiliki perasaan" serapah Salma berakhir tampar di pipi kiri Urip.
Urip tak bergeming dan sesaat kemudian membuang pandang sejauh mungkin untuk mengumpulkan dosa lalu menelan bersama liur dan memastikan satu persatu kesalahan itu memang ada padanya.
"Pergi!!"
"Aku muak!"
Salma benar-benar membeci Urip.

Setelah sesaat hening benci Salma perlahan melemah tapi tidak Dengan Dewi yang sedari tadi hanya diam. 
Air mata Dewi jatuh, kini berdiri lagi dihadapannya seorang penecut yang pernah ia temani. Dewi telah salah memilih.
"Aku dulu sedia menemanimu untuk bisa menyatukanmu dengannya. Aku berfikir kau bisa bahagia bersamanya di kemudian hari. Aku salah.
Bahkan aku sempat terpesona padamu orang yang seharusnya aku dampingi.
Kau bukan seperti yang aku rasakan waktu itu. Ada yang menyesak di dada ketika aku merasa telah pernah bersamamu Rip" lirih Dewi berucap.

4.01.2020

Untuk Apa

"Lalu untuk apa kau kembali? Aku hanya melihatmu yang tidak benar- benar ingin menjadikan sesuatu lebih baik." ujar Lehar.
Urip hanya bisu tak bisa menjawab.
"Kau sadar jika kau kembali maka ada yang benar-benar tidak baik akan bangkit? Kau sadar?" 
Lehar mulai tidak suka dengan keberadaan Urip yang memang sudah seharusnya tidak kembali.

Seharusnya Urip sudah cukup belajar untuk membaca diri sediri. Menilai obyektik akan apa yang ia pernah lakukan. 
Sedang orang lain mulai curiga jika Urip akan berulah seperti yang dulu.


3.27.2020

Pandora

Aku terlalu bodoh. Baru sadar ketika semua sudah terlambat. Pandora bukan untuk coba-coba jika tak mau menelan resiko. Pandora menyimpan iblis berwajah menawan penuh tabur aroma syurga yang selalu menuangkan minuman memabukkan.
Pandora bukanlah mainan dan hanya untuk yang ada di jalan yang lurus.

Egoisnya Aku

Daun anggur di depan rumah basah oleh gerimis namun rasa gerah masih lebih ingin mendominasi. Itulah yang ada sebelum aku mengetikkan jari pada seluler. 
 
Rasanya ingatanku tak akan pernah bisa melupa pun apa iya aku mudah membolak- balikkan hatiku sedang sesuatu yang benar- benar telah mengisi hati dengan mudah bisa aku sisihkan begitu saja.
Tentu hatiku hanya satu dan susuatu akan berlaku sistematis berada pada posisi yang seperti seharusnya. Yang ada di kiri tetap di kiri pula yang kanan tak mungkin pindah ke kiri. Yang ada hanya kiri akan tahu yang kanan dan kanan tahu apa yang terasa di kiri. 
Ya sudahlah...aku tak ingin membahas bagian-bagian otak. Hanya sekendar bekalimat "Mau kemana aku sisihkan yang ada di hati, tak ada tempat yang sesuai untuk mendudukkan arsip yang tercatat di hati, aku pindah ke jantung gak bisa, ke lambung juga gak bisa. Sedang aku tak memiliki penghapus untuk menghapus rasaku"

Aku memilih berhenti ketika semua sudah terlambat aku tak memberi kesempatan kepadanya untuk sekedar mengucap selamat jalan. Aku salah itu sudah pasti.
Kini aku mengetik perkata demi kata untuk yang aku sendiri tidak tahu untuk apa. Atau mungkin sekedar melepas senyumnya yang masih saja ada ketika aku menyentuh selular atau mungkin sebaliknya.

Jalan yang sebenarnya aku sudah tahu tidak mungkin untuk bersama tapi entah mengapa waktu itu yang aku tahu hanya harum wangi dari tubuhnya.
Entah mengapa aku hanya bisa nyaman ketika dia mengembangkan senyum, ketika cemberut atau apa saja yang ia lakukan selalu menarik dimataku.

Aku egois. Ketika aku suka dia dan yang kulakukan justru membawanya kedalam hampa bukannya membiarkan dia tetep indah seperti yang seharusnya. 
Seharusnya aku diam.

Mengambil Gambar

Aku sempatkan mengambil gambar sederhana  pagi tadi. Sekedar rumput yang tumbuh di pinggir jalan. Aku gunakan lensa canon 55 - 250mm pula ap...