7.28.2012

Kesalahan


“Kesalahan jika kau menginginkannya” kalimat itu masih terngiang ditelinga. Seorang sahabat menasehati aku agar mengambil jalan yang lurus, dia menganggapku telah terlalu jauh melangkah.
Ya sebuah kesalahan fatal. Sekedar  andai, andai aku mengambil dua buah karya yang memiliki obyek sama dengan gambar kubus, jika yang satu dihasilkan oleh mesin printer  dengan hasil garis-garis lurus sempurna dan yang lainnya dihasilkan oleh tangan seniman dengan hanya mengandalkan pensil tanpa ada penggaris sebagai alat bantu. Mudah ditebak tentu, pasti karya dari tangan seniman tersebut akan banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
Ya sebuah kesalahan fatal, aku sadar. Akan tetapi aku bukan pemuja kebaikan, apalagi kesempurnaan. Bagiku kesempurnaan adalah mati, tak ubahnya mesin printer. Aku menikmati sedikit kesalahan yang menggoda, kesalahan justru indikasi akan kehidupan, kesalahan akan lebih menunjukkan karya si hidup, kesalahan adalah saat dimana sebagian ruh terlibat dalam berkarya. Bukan melulu pikiran yang selalu sadar dan haus akan gambaran-gambaran sempurna. Bagiku ketidak sempurnaan justru sempurna, sempurna untuk menjelaskan bahwa hidup adalah yang sempurna.
Aku berjalan dengan ruh, pun ketika aku memujanya, aku puja dia dengan membelah sebagian ruh yang aku miliki. jika kau anggap aku salah, aku sungguh tahu itu, karena kau hidup

7.25.2012

Naluriku


Haruskah aku berjalan terus menyusun teori konspirasi gila, membolak-balik faham konkret, hingga yang terang benderang menjadi gelap kembali,  hingga mengundang amarah kaum tarbiyah yang telah bersusah payah menata akidah demi  akhlakul karimah yang digadang-gadang demi kehidupan dunia pun akhirat.
Spekulasi dari secarik data dan fakta dengan obyektivitas yang mungkin masih diragukan, tersusun dalam konsep seolah nyata, seolah kritis, sedang hati masih merasa naïf jika menengok kembali akan adanya akidah yang  tak lapuk oleh waktu, nilai-nilai yang telah ada dan dianut sejak ribuan tahun yang lalu.
Tidak membuktikan apapun kecuali hanya gila aku padamu.

7.21.2012

Ide


Banjarmasin, 28 Sya’ban 1433 H
Malam itu kaum agamis berkumpul, ada beberapa tokoh tauhid dan tasawuf juga beberapa santri dari Abah Wahab. Aku duduk agak jauh di antara mereka, rupanya ada satu orang akademisi yang peduli dengan ajaran, dia Dr.Yusni dosen fisika pada sebuah perguruan tinggi di Banjarmasin, dia duduk di antaranya. Mujakarah sesaat terasa hangat diselingi senyum ramah tanda mengiyakan setiap penyampaian.
“Yusni kau sudah lama menjadi dosen, gelar juga mumpuni, sekarang aku mau tanya, benda ini kau sebut apa” Abah Wahab menunjuk asbak yang penuh dengan puntung dan abu rokok.
 Tak lama kemudian  Yusni  menyebut benda itu dengan “asbak” walau dengan berat,  Yusni tahu resikonya, jelas akan dibantai habis, pertanyaan yang terlontar jelas hanya permainan.  Yusni tidak tahu kemana arah pikiran Abah Wahab.
“Tidak bisakah Kau beri nama lain sesuai dengan keinginanmu asal jangan asbak. Ini yang aku bingungkan, apa guna pendidikan sampai ke ujung langit akan tetapi kau menyebutkan benda ini sama seperti  cucuku yang belum pernah mengenyam bangku pendidikan, dia juga menyebut ini dengan sebutan “asbak”. Jika pelajaran di sekolah hanya mengcopy apa kata sang guru atau dosen, aku rasa itu tak ubahnya seperti computer, bahkan mungkin manusia akan kalah dalam menyimpan ingatan-ingatan yang telah diajarkan. Mungkin di tahun 2020 nanti seorang pendidik akan digantikan oleh robot yang lebih banyak dan akurat dalam menyimpan data, bahkan computer yang  sederhana yang sering disebut dengan kalkulator telah melebihi kecepatan dalam menghitung, bukankah hitungan oleh kalkulator hanya seting copy program, bukankah kalkulator lebih cepat dan tepat darimu dalam menghitung”  Abah Wahab menghentikan kalimat lalu mengarahkan pandangannya padaku dengan bibir setengah senyum.

Dialog sederhana tapi cukup menghangatkan dan mengena pada pokok masalah esensi manusia. Aku agak sedikit kurang nyaman ketika Abah Wahab seolah menantangku untuk memberikan jawaban lain, bukan seperti jawaban Yusni.
“Jika melihat bukti dalam kehidupan, orang yang tinggi tingkat pendidikannya akan cenderung lebih variatif dalam pengelolaan ide, sedang yang kurang pendidikan cenderung kurang variatif. Mungkin itu bedanya.
Yang  menjadi permasalahan kebanyakan pencari ilmu telah kehabisan energi untuk mengingat apa yang telah diajarkan oleh pengajar, demi indeks prestasi, sehingga melupa esensi dari pendidikan, mereka cenderung teks book. Seandainya mereka berkreatifpun masih menggabungkan ide dari ingatan yang telah diterima dari pihak pengajar, lebih celakanya lagi para pengajar sendiri belum pernah membuktikan apa yang diajarkannya, akan tetapi pengajar seolah memastikan apa yang diajarkan adalah sahih. Sering saya mendapati mereka kehilangan tujuan dari pendidikan, kecuali untuk lamaran kerja. Seolah pendidikanlah yang bisa memberikan jaminan atas pekerjaan demi kelangsungan hidup.
Yang membedakan kecerdasan manusia dengan robot canggih  pada 2020 nanti ada pada ide kreatif manusia, manusia memiliki sugesti dari dalam yang mampu menciptakan kemungkinannya sendiri,  memiliki keputusan dari optimisme yang serba mungkin, terlibat dengan kemungkinan yang hanya bisa dibaca oleh hati dan perasaan, sedang robot dalam  mengambil keputusan hanya berdasar pada kemungkinan yang telah ada di program, kemungkinan dengan menggunakan angka-angka mati.
Asbak disebut asbak oleh orang yang berpendidikan tinggi, pun anak kecil juga menyebut asbak. Lalu apa bedanya.
Yang bisa membedakan ketika akademisi mampu  menemukan idenya sendiri, bukan sekedar copy paste. Kemudian mengisi ingatannya dengan hal yang telah dibuktikan sendiri, berkiblat pada diri sendiri, bukan berkiblat pada umumnya yang belum tentu kebenarnya (nabi Muhammad SAW andai berkiblat pada ajaran umumnya di waktu itu, tentu beliau akan memberi ajaran seperti  ajaran yang di bawa oleh nabi Isa as, karena umumnya di waktu itu adalah ajaran yang di bawa nabi Isa, dan tentu tidak akan pernah ada Al-Qur’an). Berapa persen memori dalam kepala kita yang telah tertanam dari apa yang kita sendiri pernah membuktikan. Berapa persen memori di kepala kita yang tertanam dari sesuatu yang katanya (walaupun itu teori ilmiah jika belum terbukti tidak bisa kita benarkan, dengan alasan teori hanya selalu bagus dipenyampaiaan dan akan tetap menjadi teori sebelum semua terbuktikan, dan kebenaran menyata setelah terjadi bukti) sekedar contoh kuburan katanya berhantu, sedang kita tak pernah membuktikan namun selalu takut ketika memasuki kuburan di malam hari”

Aku menghentikan kalmiat, sementara semua mata sedang menatapku. Abah Wahab tertawa sambil membuang abu rokok pada asbak yang dibicarakan tadi “ aku menyebut ini  bukan korek api (Abah Wahab mengganti nama ASBAK tersebut dengan nama BUKAN KOREK API ),  dan kalimat BUKAN KOREK API aku jadikan nama untuk tempat membuang abu rokok, setidaknya penyebutanku tidak sama dengan cara kebanyakan orang alias tidak mengcopy dari umumnya orang menyebut” Abah wahab kali ini tertawanya makin keras lagi.
Rupanya  Yusni dikadali oleh Abah Wahab, memang terasa seolah merendahkan, tapi menurutku Abah Wahab sedang mencoba mengingatkan Yusni untuk bisa membuka ide-idenya sendiri yang serba mungkin, yang selama ini terkurung oleh pengetahuan hasil copy akademis. Abah Wahab secara sadar telah membunuh pengetahuan  Yusni demi membangkitkan pengetahuan  baru,yang lebih sehat, pengetahuan yang terungkap dari sisi dalam Yusni bukan sekedar copy dari orang-orang pintar terdahulu yang belum tentu kebenarannya. Untuk berani mengatakan inilah caraku, inilah optimisku, dan aku telah membuktikan sendiri, bukan sekedar copy.
Jika kita sadar, memang terlalu banyak  kita mempercayai sesuatu yang keluar dari mulut orang lain, sementara orang yang kita percaya itu belum tentu pernah membuktikan apa yang diucapkannya.

Soeharto sukses memimpin negara Indonesia dan disegani  ketika menggunakan cara dia sendiri, cara timur. Bukan cara Amerika yang seolah dijadikan kiblat sytem kepemerintahan. Bukan pula cara tempat matahari tenggelam, melainkan cara tempat matahari terbit. Bali sukses dengan cara menjadi Bali bukan menjadi selain Bali.

7.20.2012

7.19.2012

Kau Tetap Ada

Kesepakatan untuk tidak sepakat menjadi pilihan cerdas, toh hati dan perasaan terlalu primitif untuk di jadikan asumsi.

7.17.2012

Tak Terbahasa

Kadang aku merasa ini tak lebih dari sekedar komunikasi menggunakan gestur seperti yang dilakukan oleh individu pada awal kehidupan cerdas di jaman purba. Sebelum cara komunikasi dengan menggunakan isyarat gerak tubuh itu berevolusi menjadi bahasa komunikasi vokal sebagai sarana penyampaian pikiran kepada individu lain.

Mungkin karena terbatasnya kosa kata yang aku miliki, sedang isi kepala dipenuhi pertanyaan dan keinginan yang aku sendiri tak pernah bisa memahami apalagi menyampaikannya.

Jika apa yang ada di benak tak terurai lagi maka tubuh sering otomatis memilih cara primitif secara paksa, yang kadang dipaksa bibir untuk tersenyum, kadang raut dibuat muram, kadang air bening meluncur dari sela pelupuk mata , kadang...

Ya, kadang aku masih mempertanyakan mengapa mantra alam memaksa aku untuk terus menari, sedang aku sudah terlalu lelah.
Sama, sama seperti apa yang ada dibenaknya, tarian ini akan sia-sia. Tidakkah menyerah saja.

Gelap Bagiku

Bodohnya aku yang mempercayai gelap juga wujud cahaya, sehingga aku dengan setia selalu melihat di kegelapan. Aku mempercayai optimisme dari kemungkinan yang dianggap tidak mungkin, bukan yang mungkin.
Memang ini terdengar seperti kejahatan kuno yang telah terlalu lama dikubur. Aku tahu itu.

Aku tidak menggunakan indra untuk mengenali, melainkan perasaan, yang justru sering menipuku, atau mungkin kau yang berkata dusta, sehingga apa yang aku rasakan kau nyatakan salah.

Aku memperhatikan ekspresi hati, walaupun itu nyata berlawanan dengan realita.

Gelap bagiku adalah cahaya dan Sunyi bagiku juga terdengar.

Ya, bisu juga menyampaikan dan aku berusaha menyampaikan kalimat dengan bisu.
Pun keyakinanku kau bisa mendengar bisu itu, sama seperti aku mendengar di kebisuanmu.
Terdengar saat telinga tak mendengar, di menjelang tidur malammu.
Bukan kalimat cinta atau benci yang kusampaikan. Sungguh hatimu telah mengerti itu. Maka dustakan jika ingin kau dustakan, sehingga kau bisa merdeka atas ikatan.

7.15.2012

Rindu

Awal dari segala sesuatu sebelum sesuatu itu diadakan mungkin IDE. Aku tak menemukannya lagi sebelum ide, mungkin pahamku terbatas.
Ada ide murni, ide respon pun ide gabungan.
Ide murni , ide tanpa sebab.
Ide respon. Ide yang terlahir atas reaksi lingkungan.
Ide gabungan, ide yang terlahir atas penggabungan beberapa ide yang telah ada sehingga melahirkan ide baru.

Pertanyaan klasik, dari mana muasal ide rindu terhadap dia seorang kekasih.
Mungkinkah rindu terlahir akibat respon sensor indra. Tapi dari mana ide untuk melangkah hingga bertemu dia, jika sebelumnya bertemu pun tidak, apalagi sapaan.
Lalu terpikir apanya yang membuat jadi begitu menarik. Mengapa tidak yang lain yang lebih mungkin, dan jika mencoba yang lain yang ada hanya hambar. Kala bertanya pada hati dan perasaan, seolah ranah ini melibatkan Tuhan, sedang Tuhan (menurutku) bersifat mutlak.

Sama, sama seperti dia, aku juga tidak tahu kemana arah dan tujuan.
Ingin sekali membiarkan semua lekas berlalu.

7.13.2012

Aku Ragu

Aku heran, mengapa aku jadi rajin menulis, sedang makin hari makin sadar betapa dangkalnya aku, apalagi setelah tahu akan perbendaharaan kata yang sangat terbatas. Aku juga tidak banyak pengetahuan dan tentu jauh dari pintar.
Takutku jika hasrat menulis ini terlahir atas dorongan otak primitif untuk menyapa seseorang di jauh sana. Ini berarti..

Jadi teringat almarhum Popo Iskandar seorang pelukis besar, yang karyanya kalau tidak berobjek kucing ya ayam jago. Cuma dua objek itu saja untuk sekian banyak tema dalam karyanya.
"aku melukis tanpa konsep, aku tidak tahu apa itu tehnik, ataupun apa itu komposisi" begitu jawaban jikalau beliau ditanya soal konsep yang melatar belakangi karya.
Aku masih ingat ketika melihat salah satu karya beliau disebuah galeri kawasan Kemang Raya, memang sangat sederhana lukisan itu, tapi begitu jelasnya greget yang terlihat, ada kekuatan besar dari kesederhanaan tema maupun warna. Goresan kuasnya, seolah ditanami mantra yang teramat kental.

7.11.2012

Arya Tak Akan Lagi

Beberapa hari kemudia sahabat Arya dengan wajah yang pucat pasi tergopoh menghampiri ibu Arya yang sedang menuai padi dengan menggunakan ani-ani. Belum lagi sempat menyuarakan kalimat tapi ibu sudah mendahului berucap dengan bibir yang bergetar, seolah berat mengeluarkan suara "Arya putraku, istirahatlah, kau sudah cukup lelah, perasaan sayangkulah yang akan menemanimu"
terlihat tubuh tua itu melemah disusul dengan alir air mata dari matanya yang terpejam.

Kabarnya sesampai di puncak pegunungan meratus Arya harus berhadapan dengan banyak orang dari organisasi keagamaan yang telah menghadangnya. Oleh orang-orang itu Arya dinyatakan sesat dan juga kafir, lalu berakhir dengan penghakiman dari masa yang sedang mengamuk, hingga akhirnya Arya tewas. Sedangkan Dewi berhasil ditangkap dan diikat dengan mantra oleh mereka, lalu dibakar hidup-hidup bersama dengan jasad Arya yang penuh darah dan luka.

Sungguh hidup bukan drama yang bisa disusun hingga terlihat manis dan lurus, seperti yang diajarkan guru-guru kita waktu di sekolah, seperti dalam film-film atau dalam buku cerita teladan yang selalu berakhir dengan bagus.
Hidup yang sesungguhnya hampir tak pernah bagus dan mulus. Hidup yang sesungguhnya hanya mengandalkan presisi dari improvisasi yang langsung tercatat dalam sejarah tanpa bisa di ulang untuk perbaikan, bukan seperti siaran televisi tunda yang bisa diedit.

TAMAT

7.08.2012

Haruskah

Yang Kemala tahu justru bisik dari nalar cerdasnya untuk menolak bertemu Arya lagi dengan alasan apapun titik.

Tapi entah mengapa jemari lembut itu terpaksa harus klik send untuk sebuah kata "akhir" yang dibumbui dengan sedikit kalimat bantu dan ditujukan kepada Arya.
Begitu seriuskah. Adakah Arya harus tahu apa yang Kemala mau. Rasanya tidak, Arya bukanlah bagian dari hidup Kemala. Atau...

Sedang Arya hanya bisa menghela nafas, mencoba memahami apa yang Kemala rasakan. Baginya Kemala tetaplah perempuan yang terindah, bahkan dianggapnya melebihi bidadari dari syurga yang berlumur dengan keindahan akhlak penyejuk Tak mungkin untuk dapat disentuh olehnya yang beragamapun tidak.
"Sudahlah, untuk apa diungkit lagi" gumam Arya, lalu dialihkannya pandang pada langit yang membiru, berusaha melepaskan sesak di dada.

"Kemala...."sebut Arya, mata terpejam dan ingatannya membangkitkan semua yang telah dilalui, dan dibiarkannya semua mengalir seperti air.

7.07.2012

Salam

Hidup bukanlah untuk tujuan, melainkan perjalanan dari petualangan yang serba mungkin.
Hingga apapun itu yang sedang terjadi memang telah harus ada di jalannya tak perlu dihindari. Tidaklah mungkin untuk dibenarkan pun tidak pula mungkin dinyatakan sebagai kesalahan, melainkan terjadilah jika memang terjadi.

Setidaknya itu yang ada di perasaan Arya walau di hati berkata lain, sekedar kalimat pereda gugup, ketika dengan tak di duga Kemala telah menatap dengan tajam.
"Kemala, benar aku tak bisa menahan rindu yang sungguh telah aku bendung dengan sekuat tenaga, pun aku sangat tahu akan sia-sia, tapi bagaimana mungkin sedang nafasmu masih terlalu dekat dengan telingaku.
Maafkan aku telah menatapmu"

sungguh terlalu banyak sapaan yang Kemala terima, tapi mengapa justru sapa dari Arya yang disesali, untuk alasan apa, sedang cinta bukan pilihan yang mungkin. Atau masih ada kemungkinan lain yang masih mungkin. Tentu hanya Kemala yang tahu.

7.04.2012

Arya Konservatif

Sedang teori-teori terus berevolusi berjuang menghadapi isu dari sektor energi dengan keragamannya, sektor perekonomian pun dampak lingkungan yang terus menerus menekan, seolah memaksa optimisme kaum cerdas untuk berjuang dengan idenya ditengah lingkungan yang serba kompeten dan kompetitif.

Tapi Arya..., dia bukanlah bagian mereka, Arya bukan orang yang termotivasi oleh pikiran ala barat, Arya orang timur, Arya peduli dengan dengan apa itu arti cinta, kasih dan sayang, Arya selalu mencari sesuatu yang dia sendiri tak pernah mengetahui apa itu yang sedang dicari dan untuk apa dicari.
Sungguhpun Arya sadar akan pola pikirnya yang konservatif, pola pikir yang sudah tak laku lagi.

Arya hanya menikmati secangkir kopi sesuai cara dia, cara kasta bawah. Mustahil lebih.

7.02.2012

Kemungkinan

Sedang peluang tidaklah mutlak berasal dari objek yang bisa diukur berdasarkan angka-angka asumsi atau olah pemikiran dalam bentuk teori pun rumus-rumus yang selalu terbarui dan selalu terdengar sangat bagus disetiap presentasi, melainkan emosi dan juga perasaan individu justru lebih mungkin untuk tahu apa itu peluang.
Lalu diantara individu dengan objek juga bukanlah mutlak sebagai ketetapan, melainkan ada ruh jalinan diantara keduanya yang terasa menghangatkan dan memberi kenyamanan disetiap kali pertemuan. Maka tak perlu ragu jika terasa tak lagi ada kebaikan dari jalinan, pastikan bahwa ruh jalinan telah benar berlalu.
Sekarang tersenyumlah, jika benar emosi dan perasaan masih ada tersisa, tentu akan terlalu banyak peluang dan tidaklah jauh melainkan ada didekat, menunggu sentuhan.
Bukankah kini tinggal kesediaan memberi warna dalam hidup, berpegang pada mimpi-mimpi yang serba mungkin.

Aku sungguh tak begitu optimis dengan cukup berpegang pada dua kemungkinan.
Melainkan selalu melibatkan bangunan hati dan perasaan untuk setiap kemungkinan.

Mengambil Gambar

Aku sempatkan mengambil gambar sederhana  pagi tadi. Sekedar rumput yang tumbuh di pinggir jalan. Aku gunakan lensa canon 55 - 250mm pula ap...