5.31.2012

Perasaan Dewi


Belum lagi selesai menceritakan bagaimana cara dia mendapatkan makanan dan uang, Dewi sudah menghentikan ceritanya lalu berbisik kepada Arya, bahwasanya ada orang yang sedang menuju kearah mereka. Dan benar, sesaat kemudian memang ada dua orang laki-laki dan satu orang perempuan yang datang dari arah bawah gunung. Setelah salam salah satu dari mereka memperkenalkan diri dengan nama Julisar, dan  laki-laki yang lainnya bernama Surya, sedang yang perempuan bernama Galuh. Dikemudian diketahui Surya maupun Galuh adalah dari jenis yang sama dengan Dewi.
Sewaktu Arya sibuk berbincang dengan Julisar, laki-laki yang bernama Surya terlihat sedikit nakal bahkan cenderung birahi melihat kemolekan Dewi, sehingga Dewi  terlihat sangat gelisah, Dewi hanya sibuk merapatkan pakaian, walau sebenarnya pakaian yang dikenakannya kini sudah cukup menutup, Dewi sangat risih dan berusaha menutupi  bagian tubuhnya yang terlihat, akan tetapi  mata Surya tetap saja berupaya menelusuri tiap lekuk tubuh Dewi yang terbungkus dengan busana warna merah.

Waktu berlalu dengan cepat, Arya akhirnya meminta maaf karena tidak bisa berjalan bersama seiring dengan mereka, walaupun mereka sebenarnya satu arah. Lalu Julisar menjabat erat tangan Arya menunjukkan rasa bersahabat yang tinggi, dan setelah salam dan saling lempar senyum lalu merekapun berpisah. Dan kepergian mereka hanya menyisakan jengkel di wajah Dewi, sedang Arya hanya tersenyum memahami perasaan Dewi.

“Sudahlah, mereka sudah pergi, tersenyumlah. Aku tidak akan mengambil keputusan sedang orang yang ada disampingku memiliki kehendak yang lain”
Dewi  berusaha untuk tersenyum mendapati  kalimat dari Arya, akan tetapi entah mengapa ada kedamaian yang dirasakan begitu mendengar Arya berusaha menenangkannya, Dewi  baru menyadari  betapa Arya memperhatikan perasaannya saat dia tertekan oleh kejahilan Surya. Entah baik atau buruk yang sekarang sedang terjadi, karena kelihatannya Dewi kehilangan arah dan tujuan begitu mendapati Arya secara personal, menjadi rancu antara tugas dengan perasaan, Dewi mulai sadar jika ada yang tak biasa dengan dirinya.
“ Bukankah kau bisa membaca mantra yang diajarkan oleh Tuan Guru Wahab untuk mengendalikan aku, jika kau menginginkan sesuatu yang menurutmu perlu?” kata Dewi mencoba menutupi perasaannya yang serba salah.
Arya hanya tersenyum, lalu duduk disebelah Dewi, tak ada kalimat yang tersuarakan, hanya tangan kanan Arya meraih tangan Dewi, akan tetapi itu sudah melebihi dari jawaban yang seharusnya terdengar. Kali ini Dewi benar- bernar limbung, dan tak sadar telah menyandarkan kepalanya di bahu kanan Arya. Pun demikian halnya dengan Arya terlihat kesediaannya dijadikan sandaran.
 

Kabut tipis perlahan datang, udara terasa dingin menyelimuti hutan pegunungan Meratus, Dewi tediam, hanya membiarkan perasaannya berkecamuk menggumpal di dada menyesakkan nafas.


5.28.2012

Air Mata Dewi


Tubuh Dewi masih terlihat sangat letih, letih tubuh juga perasaan. Dewi masih enggan untuk menemui Arya. Selalu timbul perasaan malu jika teringat saat terkena mantra dari tetua adat. Dewi ingin  marah akan tetapi hati kecilnya justru tersenyum.
Dengan berat Dewi beranjak dari tempat tidur lalu menuju cermin besar yang ada di dinding kamar. Bukanlah untuk bersolek atau memastikan kecantikan, melainkan untuk bertanya siapa sebenarnya dia. Dewi memandangi bayangan tubuhnya yang ada di dalam cermin, kemudian terdiam. Diraba tanduk tipis yang ada di kepala, terlihat ada kesedihan di matanya, mengapa harus tumbuh tanduk, Tanya dia dalam hati, sungguh tak pernah diinginkan .

“Bukankah aku iblis yang dikutuk, bukankah semua manusia membenciku, bahkan mereka menyalahkan aku untuk sesuatu yang sebenarnya tidak pernah aku lakukan. Aku bersedia menerima fitnah itu tanpa keluhan.
Sepertinya kaumku akan selalu dipersalahkan atas semua kebejatan manusia, manusia tidak pernah mengakui kesalahannya, sedang kesalahan itu berasal dari isi kepala manusia itu sendiri, namun selalu kaumku yang dijadikan kambing hitam. Tetapi kaumku sejak awal telah menerima dengan ikhlas, dan memang sampai akhir nanti kaumku akan selalu dijadikan sasaran fitnah.
Tapi Arya…”

Dewi tersadar ada air mata yang telah melinang, segera Dewi mengusap dengan kain lengan baju yang dikenakan. Dewi malu terhadap bayangannya sendiri yang ada didalam  cermin, dia tersenyum mencoba untuk kembali profisional.

Untuk kali pertama, Dewi ingin mengenakan busana yang lebih menutup. Entah…

5.27.2012

Mantra


“Manusia selalu mengharap syurga firdaus, dan kau manusia telah mendapatkan bidadari yang engkau nantikan pun engkau perempuan telah menjadi bidadari seperti yang dijanjikan, maka tenggelamlah dalam lautan ketenangan yang abadi, menikmati bahagia yang tiada tara”  kalimat dari tetua untuk menutup mantra.
Keduanya  benar-benar terkena mantra ilusi yang ditebar oleh tetua, tetua rupanya tahu kelemahan dari keduanya yang terletak pada sisi emosi, tergambar dengan jelas di wajah Arya kerinduan yang dalam terhadap Kemala, pun Dewi  sangat  jelas  terlalu setia pada Arya, dan kelemahan itu yang digunakan tetua untuk  melempar keduanya  kealam damai yang membius. Tak ada lagi harapan yang seharusnya menjadi dasar eksistensi manusia, hanya larut dalam kesediaan cumbu.

Namun ada sisi nurani yang seharusnya juga dikuasainya  oleh tetua adat. Sisi yang lembut akan tetapi mengetahui golongan yang bisa dilakukan atau tidak, yang sering berbisik sebelum adanya keputusan.
Ketika suara tetes peluh yang jatuh terdengar , Arya tergugah dan terkejut mendapati dirinya telah jauh, pun Dewi tak kalah terkejut dan cepat-cepat mengenakan pakaian dengan wajah yang memerah.
Ranjang besar berukir, meja penuh makanan dan minuman lezat dan semua keindahan tiba-tiba sirna, perlahan menjadi kabut warna hitam. Arya sadar ini merupakan buah dari kekurang waspadaanya.
Sisi gelap yang bercokol menjadi pilihan. Arya harus tega memberi pelajaran kepada tetua jika dia tidak mau dipermainkan lagi. Tak perlu menghindar adalah jawaban terbaik.

“Mantra hanya susunan kalimat dari bibir penebar, dalam wujud suara yang terdengar, bukanlah nyata.
Sedang mendengar belum tentu melihat, melihat belum tentu mengetahui, mengetahui belum tentu percaya, percaya belum tentu  mengimani, mengimani belum tentu melakukan, melakukan belum tentu bisa merasakan”
Arya menutup kalimat dengan hembusan nafas yang panjang. Rupanya kalimat disertai teluh.
Seketika tetua panik, seolah gerak tubuhnya ada yang menahan, dan makin terkejut ketika tersadar ekor miliknya telah tampak, tetua tersadar jika wujud asli dirinya sudah terlihat. Dewi juga tak mau kalah memberi kejutan dengan menumpahkan amarahnya pada tetua, tangan Dewi telah mencengkeram leher tetua, jelas tampak rasa ingin membunuh. Sangat tergambar di wajah Dewi  rasa marah dan malu yang teramat dalam, terlihat ingin menghabisi penyebab.
“Dewi, jagalah sikap. Kita disini tamu. Bukankah seharusnya tamu menghormati tuan rumah, dan bukankah tuan rumah seharusnya juga bersikap hormat terhadap tamu”
Tetua terlihat merah wajahnya mendapati kalimat Arya.

5.26.2012

Dipermainkan

Tetua berdiri lalu menari, tapi lebih nampak kalau sedang memainkan jurus, sambil bibirnya membaca mantra.
"...ruhui rahayu tuntung pandang nang di harapakan, taduduk betatai, banyu mata balinang.."
Arya terkejut mendengar sebagian mantra dari tetua, makin terkejut lagi ketika menoleh kearah Dewi yang telah mengenakan busana pengantin adat Banjar, pun ketika Dewi menyambut pandang Arya, matanya menyiratkan keikhlasan dan kebahagiaan yang kudus.
Harum rangkaian melati yang menghias rambutnya membangkitkan rasa syahdu. Ada bahagia dan haru. Arya menoleh lagi kearah Dewi, kini terlihat Dewi tertunduk meneteskan air mata haru atas bahagia telah mengakhiri masa lajang.
Tangan Arya telah terpaut dengan tangan Dewi memberi isyarat sedia dalam ikatan setia.
Aroma harum bercampur baur, semua mata tertuju kepada keduanya, tamu-tamu melempar senyum tulus memberi doa bahagia.

Arya mulai sadar telah kalah cepat menguasai permainan. Dan sekarang sedang dipermainkan.

5.25.2012

Jawab Arya

"Tetua sungguh mengetahui kerinduanku kepada dia. Kerinduan yang justru aku sendiri tak pernah mampu memahami. Kerinduan yang hanya tersusun dari hembusan nafas, akan tetapi telah mampu menghitamkan darah yang mengalir"
Arya menghentikan kalimat, kemudian menyalakan rokok untuk mengurangi kecamuk.

"Aku memohon ampun kepada Dia, yang lebih dekat dari urat nadi, pabila khilaf dalam berkalimat" ucap Arya yang tak peduli akan asap rokoknya telah memenuhi ruang.
Sementara di luar dari jendela samping beberapa mata tak lepas memandang dialog.
"mustahil ada ikhlas tanpa adanya perbuatan.
Mustahil perbuatan tahu arah dan tujuan tanpa ilmu.
Mustahil ilmu tanpa adanya akal.
Mustahil akal tanpa ruh.
Mustahil ruh tanpa batang tubuh.
Dan manusia yang menjadikan geliat hidup semesta dengan kecerdasan dan peradabannya"
Tetua agak terkejut mendengar jawaban Arya. Tetua menegakkan badan namun tatapan matanya berubah menjadi tajam.
Sedang Dewi juga menegakkan badan tampak siap dari kemungkinan.

5.24.2012

Sehelai Yang Menyimpan Cerita

Tetua memungut sehelai rambut Arya yang terjatuh dilantai kayu, kemudian membentangkannya dengan kedua tangan, sesaat kemudian tetua mengerutkan kening mencermati.
"Helai rambutmu mencatat banyak hal tentang perempuan yang kau rindukan. Bahkan pesta para raja tak lagi mampu mengalihkan perhatianmu kepadanya, iblis bersedia siang dan malam berupaya memilihkan kalimat terbaik yang diambil dari syurga untukmu, agar kau leluasa menyusun syair untuk dia. Harum cendana tak akan melebihi harum tubuhnya"
Setelah selesai helai rambut itu dimasukan dalam kotak kayu panjang yang ada disamping tetua.
Arya terheran untuk apa sehelai rambutnya disimpan.

Tetua mengusap wajahnya lulu menghela nafas.
"Alam hidup dengan adanya manusia.
Manusia hidup dengan adanya ruh.
Ruh hidup dengan adanya akal.
Akal hidup dengan adanya ilmu.
Ilmu hidup dengan adanya perbuatan.
Perbuatan hidup dengan adanya ikhlas"
Tetua lalu memejamkan mata menunggu arya berkalimat.

Arya sadar siapa yang sekarang dihadapi, sedang Dewi terdiam seolah juga menunggu.

5.22.2012

Sangka

"Biar aku yang menghadapi" pinta Arya sambil meraih tangan Dewi.
Dewi agak terhenyak mendengar kalimat dari Arya. Dewi memandangi raut Arya memastikan kebenaran kalimat yang baru saja didengar. Arya membalas tatapan Dewi dengan senyum meminta kepercayaan.

"Duh Gusti, terserah Engkau, nyata aku tidak mampu, aku menerima dengan ikhlas apapun kehendak-Mu, jika ini sudah Engkau tetapkan" gumam Arya. Mungkin Arya telah sampai dipenghujung asa, jelas Arya tak siap menghadapi gambaran yang ditimbulkan oleh sangkanya sendiri. Yang masih dimemiliki hanya komunikasi sederhana itu. Arya mencoba untuk tidak melibatkan yang lain.

Dan benar rabaan Dewi, datang menghampiri empat laki-laki dengan wajah beku. Sedang Arya yang memang telah siap dengan kemungkinan yang terburuk juga memasang muka dingin.
"Yang ini rupanya" dengan suara parau salah satu dari mereka membuka pembicaraan.
Arya tak membalas kalimat, hanya tak lepas menatap wajah pria itu.
"Tetua adat mengutus kami untuk menjemput kalian, ikutilah kami" rupanya lain kenyataannya dari yang terbayangkan sebelumnya, mereka hanya utusan untuk menjemput, bukan untuk kontak fisik.

Sesampai di rumah panggung besar Arya dan Dewi dipersilahkan masuk.
Setelah salam keduanya duduk berdampingan di lantai kayu dan berhadapan dengan tetua adat.
"Kali pertama rupanya kalian masuk kampung ini, aku minta maaf atas sambutan yang tidak mengenakan dari salah satu warga kami, ayo sambil diminum" dengan lembut dan santun tetua adat mempersilahkan. Senyum tetua adat sangat sulit diartikan.
"Aku melihat dengan jelas kau menyimpan kerinduan terhadap perempuan, kerinduan yang membuat bidadari cemburu" sambil tangan tua itu trampil menyusun kapur, sirih dan pinang. yang hendak dikunyah.

5.20.2012

Buruk


Semua mata memandang dengan tatapan yang terasa tidak mengenakkan perasaan, entah apa yang ada di benak orang-orang kampung sehingga begitu kuat mata mereka berkalimat, tampak ekspresi menghujat, seolah menolak kehadiran Arya. Sedang Dewi tetap melangkah tak menunjukkan ada hirau sama sekali.
Terlalu cepat dari samping sebelah kanan Arya, kedatangan seorang pria dengan sebilah mandao ditangan yang terlihat tajam dan berkilau. Sontak  Arya terkejut dan tak sempat bereaksi mendapati kejadian mendadak secepat itu, padahal sangat jelas terlihat mandao itu diarahkan kepadanya. Terpaku Arya mendapat kejutan yang tak terduga sama sekali. Tetapi Dewi rupanya lebih cepat dengan mendahului menghadang sabetan dan sengaja menjadikan dirinya sebagai perisai untuk melindungi Arya. Pun pria tadi menjadi terhenti langkah begitu mendapati Dewi telah didepannya dan tepat beradu muka.

“Mengapa kau bawa dia masuk kampung , sedang kau tahu manusia yang selalu dikuasai oleh pikiran akan membawa kehancuran dimanapun dia berpijak, dan telah di-nas-kan semenjak dia dicipta. Bukankah kau tahu jika manusia tak akan pernah terpuaskan keinginannya, bukankah peradaban mereka telah mengorbankan alam terlalu banyak, bahkan darah sesama mereka juga tak luput untuk dikorbankan. Mereka terlalu sombong dengan peradaban yang telah mereka ciptakan, mereka selalu merasa benar, mereka selalu merasa lebih tinggi, yang pada akhirnya menganggap yang lain rendah dan pada penghabisannya menganggap yang lain adalah sesuatu yang bisa dikorbankan demi kepuasan mereka, demi kelompok mereka. Lalu mereka mengumbar kebohongannya dengan mengatakan untuk perdamaian, untuk kebaikan, untuk kelestarian alam. Lalu mengabaikan mekanisme alam yang telah diciptakan dengan seimbang, dengan hitungan yang telah alam tetapkan. Mereka hanya mengagungkan kecerdasan logika dan melupakan hati nurani demi ambisi” ucap pria itu
“Kau terlalu banyak bicara. Aku tahu yang aku lakukan dan siapa yang aku bawa. Menyingkirlah sebelum aku berubah pikiran” sahut Dewi.
Walau mata pria itu masih tajam menatap Dewi, akan tetapi  ekspresi Dewi rupanya cukup untuk membuat pria itu berfikir sebelum bertindak lebih jauh lagi. Memang terlihat gerakan Dewi lebih cepat dan impresif, mungkin itulah yang menyurutkan tindakannya.
“Aku mencium aroma cinta yang masih erat mencengkeram di perasaannya, yang tak bisa disembunyikan. Kau melanggar aturan yang telah ditentukan dengan membawanya kemari” pria itu mencoba menyampaikan keberatannya.
Dewi tak menjawab lagi, melainkan tangan Dewi semakin mencengkeram leher pria itu sambil tersenyum, tanda cukup pembicaraan. Tampak sangat terpaksa pria itu harus menurunkan mandao dan segera surut kebelakang setelah Dewi melonggarkan cengkeraman tangannya di leher pria itu .

Detak jantung Arya masih belum lagi stabil selepas pria itu berlalu. Sedang wajah Dewi berubah menjadi tak bersahabat lagi, matanya tajam melihat kearah orang-orang yang sedari tadi menyaksikan adegan drama pendek yang mencekam. Rupanya orang-orang mulai tersadar jika sekarang sudah bukan tontonan yang menyenangkan lagi untuk dilihat, dan mereka segera mengalihkan pandang begitu melihat mata  Dewi yang masih menyiratkan amarah, seolah hendak melumat yang ada.
Arya dan Dewi melanjutkan langkah, akan tetapi Arya masih terbawa suasana, setidaknya ada ketidak nyamanan yang masih tersisa. Menjadi timbul pertanyaan dari pembicaraan yang baru terjadi tadi. Mungkinkah mereka bukan manusia, sedang yang terlihat oleh Arya nyata sekali wujud mereka manusia.
”Rupanya kau masih menyimpan Kemala di hatimu, mengapa kau tak perintahkan aku untuk mendapatkan yang kau cintai. Bukankah cinta seharusnya berasama, lalu mengisi waktu untuk kemudian berbagi ruang agar bisa memadu perasaan dengan tatapan mata dari keduanya, agar terwakili berjuta kalimat yang tersimpan dan tak mampu terucap. Bukankah seharusnya cita-cita bahagia yang dibawa oleh cinta dari anak cucu Adam”
Dewi tak melanjutkan kalimat, malah tangannya membungkam Arya yang hendak menyahuti kalimat darinya. segera tampak Dewi memejamkan mata rapat-rapat seolah berusaha mendengarkan sesuatu dengan segenap indra. Rupanya Dewi merasa  ada yang tidak wajar dengan sekelilingnya. Sedang Arya tak tahu apa yang harus diperbuat, serasa semua  bukanlah  ranahnya.
“Sudah waktunya kau menggunakan kemampuan yang telah diajarkan oleh Tuan Guru Wahab dan Datuk Yana. Gunakan insting” bisik Dewi sambil mencari dari mana kemungkinan itu bakal terjadi. Suasana terasa buruk, Arya hanya merasakan desir angin dan masih bingung bersikap.  Pergantian peran begitu drastis, memaksa Arya untuk masuk pada kondisi yang sangat sulit disikapi. Tetapi mau atau tidak itulah yang sedang terjadi dan harus dihadapi.
Tidak ada teori, perasaan tidak diperlukan, apalagi keyakinan. Kebijaksanaan hanya akan menjadi bahan tertawaan. Hanya insting dan mental pun pengindraan terhadap medan yang bisa diandalkan. Arya sadar ini kenyataan bukan skenario yang bisa disusun dengan renungan. Melainkan gerak bebas tanpa keteraturan yang bakal mengajarkan banyak hal dan akan menjadi cerita dikemudian hari.

5.18.2012

Hutan Borneo

Melakukan sesuatu tanpa ada informasi yang cukup untuk dijadikan tujuan membuat otak Arya terasa lumpuh, rasanya hampir tak mampu difungsikan isi kepala, akan tetapi mungkin akan lebih baik begitu, sehingga pikiran Arya tidak memberi gambaran palsu tentang kejadian yang bakal terjadi, gambaran yang seolah bakal nyata, yang tersusun dalam bentuk sangka-sangka.
Mungkin juga seperti itu seharusnya hidup, lebih baik lakukan dan lakukan, biar dikemudian sang waktu membeberkan bukti yang benar-benar nyata atas segala hasil perbuatan. Bukankah selama ini terlalu sering Arya mengimani sangkanya, bukankah sangka jua yang sering mendorong kelahiran sang kecewa. Bahkan terlalu sulit rasanya menemukan kecewa yang tidak disebabkan oleh sangka. 

Didepan mata terhampar lebat hutan tropis Borneo, menantang insting Arya untuk membuktikan kecerdasannya, bermain dengan mengandalkan improvisasi. Logika hanya akan ditolak kehadirannya oleh roh hutan, mungkin akan berlaku sebaliknya jika Arya berada diantara belantara peradaban modern yang didominasi oleh rencana dan logika.
Sedang Dewi menunggu kesiapan Arya sambil sibuk menyisir rambutnya yang terurai. Dewi sebenarnya ayu bahkan mendekati sempurna, tubuh tinggi semampai, kulit bersih tanpa cacat, dada tampak berisi juga lekukan indah dari tubuh dibalik busana yang cenderung seksi.
Hanya saja yang sedikit membuat Arya terganggu sesekali jika Dewi tersenyum terlihat taring tipis diantara deretan gigi putih bersih dan jika menunduk kadang terlihat dua benjolan tipis di kepala menyerupai tanduk, walau dari wajahnya memancar kelembutan perempuan dewasa, sorot mata kadang sedikit nakal.
Dan satu hal yang masih menjadi pertanyaan dibenak Arya yaitu ketika Dewi mendekat tak pernah ada terdengar suara langkah kaki.

5.16.2012

Oceh

"Sang Keinginan yang makin jelas memaksa untuk menjadi imam.
Sang Pikiran selalu tak mau kalah dengan merebut alih kekuasaan dengan cara memamerkan skenario berikut ilustrasi yang teramat menakjubkan.
Sang Nalar berusaha setia dengan mencarikan solusi untuk dijadikan asumsi.
Sang Hati memberi nuansa dengan meniupkan mantra disela suasana yang mempengaruhi semesta hingga menjadi terasa.
Tinggal kau sedia tidaknya.

Keadaan mungkin tak selalu bagus, tapi bagus pun tidak adalah suasana yang menggunakan pengukuran kaca mata selera individu, sedang aku hanya menganggap sebagai seni permainan dari kehidupan yang bisa dinikmati.
Apakah kau masih berfikir jika jalan akan selalu baik seperti dalam cerita pengantar tidurmu sewaktu kau masih kecil dulu.
Sayangnya aku tak bisa menjadikan hidupmu lepas dari kenyataan dusta, perselingkuhan, ketidaknyamanan, kekecewaan atau apa saja yang tidak pernah terbersit dibenakmu bakal terjadi, sesuatu yang mendapat gunjingan dan pencelaan, yang justru kau sendiri membenci tapi kau sendiri menjalani.
Aku hanya bisa mengatakan hidup terlalu liar, tertawalah dan nikmati, untuk kedewasaan dikemudian hari"

Arya rupanya tak terlalu pintar untuk mencerna ocehan Dewi, hanya terdengar tapi tak meninggalkan bekas.
Dalam hatinya masih saja ada Kemala, hadir seperti kabut menyelimuti, walaupun dia telah bersusah payah melepaskan.
Tapi percuma.

5.15.2012

Mungkin Halusinasi

Arya sadar semua sudah tak lagi masuk akal, dia mencoba menepis apa yang baru saja dialami, kemungkinan terdekat dari peristiwa yang telah berlalu hanya sekedar halusinasi dari hasil kelelahan otak yang dimiliki.

Arya mencoba menyalakan sebatang rokok untuk membuatnya dirinya lebih rileks, terlihat ada ingin yang kuat untuk kembali waras dari mimpi buruk yang baru dialami. Namun yang ada justru keringat dingin keluar hingga menetes, jelas menunjukan ada ketidak seimbangan dari dalam sistem kerja tubuh Arya. Tak lama kemudian telinga mendenging dan disusul dengan penglihatan yang menjadi gelap.

Rokok yang tadi ditangan terjatuh diatas rerumputan, sekujur tubuh rasanya hilang tenaga. Arya mulai sadar jika dia akan segera pingsan, akan tetapi tak juga terjadi, kesadarannya masih berlaku utuh.

5.14.2012

Dewi

Tak terdengar ada suara langkah kaki, tiba-tiba Tuan Guru Wahab sudah berada disamping kiri Arya. Berikutnya tampak Tuan Guru Wahab beradu pandang dengan Datuk Yana dan tanpa sedikitpun ada hirau terhadap Arya, juga tak sepatah kata yang terucap dari bibir keduanya. Arya makin tak memahami ada apa sebenarnya, apa yang mereka berdua rencanakan dari pertemuan ini.
"Jangan mendengar dengan telinga, pandang bagian mata mereka, kau akan tahu apa yang mereka sedang bicarakan" bisik perempuan itu sambil ujung jari tangannya menyentuh dada Arya dengan lembut.
"...sudah tiba rupanya waktu yang ditentukankan, kau jangan kawatirkan, kau juga melihat Dewi masih lekat pada Arya....."
justru yang makin membingungkan Arya, ketika ternyata benar, Arya bisa mengerti apa yang dikatakan Tuan Guru Wahab terhadap Datuk Yana tanpa menggunakan telinganya untuk mendengarkan, setelah melihat tatapan mata dari Tuan Guru Wahab.

Sesaat kemudian Tuan Guru Wahab mengalihkan pandangan matanya pada Arya, lalu bibir tua itu mengatakan
"Jika kau masih menginginkan perempuan yang berada di Belanda itu, Dewi bisa mengambilkan jantung pun hatinya untukmu, Dewi benar dengan semua bisikannya, jangan kau pernah meragukan.
Arya..., Aku dan juga Datuk dulu pernah membuat perjanjian dengan seseorang dan tak terasa sekarang waktunya telah tiba, sekarang aku minta kau temui orang itu, Dewi akan menunjukan kemana arah dan siapa orangnya.
Jaga dirimu baik-baik, pesanku"
lalu terlihat Tuan Guru Wahab memejamkan kedua pelupuk mata.
"Hai.." Arya menoleh kearah perempuan yang baru diketahui namanya itu. Tetapi bukannya ada yang hendak dikatakan, melainkan Dewi hanya tersenyum genit sambil berlalu menjauh kearah belakang Arya.
Terkejut Arya setelah menoleh mengembalikan pandangan semula dan mendapati dirinya telah sendirian, Datuk Yana dan Tuan Guru Wahab sudah tidak ada, yang tersisa hanya kesunyian.

5.12.2012

Transisi

Arya mulai sadar pertemuan dengan Kemala bukanlah keajaiban yang bisa mengembalikannya kepada otak cerdas seperti yang selama ini diharapkan, yang ada justru menyisakan pertanyaan yang tak pernah terjawab.
Tawaran mendapatkan tubuh Kemala juga bukanlah jawaban.

Sedang Datuk Yana yang masih berdiri tampak seolah mengetahui blue print kehidupan Arya. Sekarang makin jelas dihadapan Arya terbentang situasi yang memaksa otak primitifnya untuk dipastikan berfungsi menjadi makin dominan. Arya tak mempunyai pilihan lain, dia harus melepaskan mimpi tentang kehidupan normal. Rupanya Datuk Yana telah mengembalikan Arya pada tempat dimana seharusnya Arya berpijak.
Arya telah siap, dia memejamkan mata lalu mengambil nafas dalam-dalam kemudian melepasnya dengan lapang. Datuk Yana tersenyum tipis melihat Arya mulai tampak bisa ikhlas melepas.

Mengapa Ragu

"Perempuan yang sekarang ada didekatmu itu selalu menyertai kemana kau melangkah, dan dia berkata benar, jika kau mengatakan ya, maka kau akan mendapatkan apa yang kau kehendaki.
Dia setia atasmu, mengapa sekarang kau tidak mengatakan ya, apa yang kau ragukan"
Tanya Datuk Yana.

Sedang perempuan itu tetap mengelilingi Arya dengan senyum pasti yang terus diumbar menawarkan kemampuan.
Arya juga sangat tahu arti dari kalimat ya bila sampai terucap.

5.10.2012

Udara membawa suasana resah dan tak bersahabat, langit yang tadinya membiru berubah menjadi gelap. Entah apa yang terjadi.
"jangan diam, ayolah katakan ya" perempuan berwajah ayu di waktu itu kini telah muncul kembali entah dari mana berasal, dia telah membisik teramat dekat dengan telinga Arya.
"Tidakkah kau merindu tajam kata-katanya yang membuat luka dihati seperti disayat sembilu hingga menetes air matamu sampai ke jantung.
Tidakkah kau merindu kebersamaan dengannya saat musim kembang berkembang, saat kupu-kupu mengitari taman, saat-saat kau dan dia bercanda tawa dengan ditemani lembut hembusan angin.
Atau tidakkah kau merindu melihat linang airmatanya yang lebih bening dari kristal menetes di pipi lembutnya.
Bukankah dia sempurna.
Aku tentu bisa mewujudkan, tinggal kau katakan ya"

Arya tak mampu berfikir lagi, terlihat Datuk Yana masih berdiri berjarak beberapa langkah didepan Arya dengan mata masih terpejam tanpa ada reaksi apapun. Sedang perempuan itu terlihat dekat sekali dengan Arya, dia terlihat sibuk membisik-bisik.

"Percayalah aku bisa mengambilkan jantungnya untukmu, bahkan aku bisa membawakan senyum pun lembut tubuhnya untukmu jika kau mau.
Hingga kau bisa merasakan pedih hatimu yang teramat dalam saat bersamanya.
Bukankah raut wajah itu masih saja membayang, bahkan sampai saat hari yang gelap dan dingin itu datang menjemputmu.
Ayolah..., katakan ya.."

Nafas perempuan itu terasa ditelinga menyebarkan aroma lembut harum, menarik seluruh kesadaran Arya pada Kemala.

5.09.2012

Tekanan Datuk


"Kau seharusnya sudah faham itu semua, Wahab pasti telah mengajarkan semua yang aku katakan kepadamu, aku sangat mengenal Wahab, seharusnya kau sudah bisa mengendalikan perasaan dan pikiranmu"
Datuk Yana menghentikan pembicaraan sesaat lalu menoleh kearah gadis yang masih berusia belasan yang baru saja duduk disebelah Datuk Yana.
Tanpa ada suara yang keluar dari bibir sang Datuk, tapi sang gadis sudah mengerti apa yang dimaksud Datuk Yana. Segera dia mendekat kearah Datuk dan membisik.
Datuk Yana mengangguk tanpa ada kalimat yang keluar, dan gadis itupun segera berlalu setelah melepaskan senyum kearah Arya, pun Arya membalas senyum.
Ada perubahan di raut tua itu.  Datuk Yana menyalakan rokok dan menghisap dalam-dalam, rupanya ada sesuatu yang penting dari bisik gadis tadi, tampak ada perubahan suasana, terlihat Datuk Yana dipaksa masuk kedalam masalah.

"Masih ada waktu, aku ingin segera kau kuasai dirimu, lupakan semua. Keinginan memang telah menjadikan kemajuan peradaban, tapi tengoklah dampak runtutan yang dihasilkan oleh keinginan yang dikuasai oleh gambaran dari pikiran peradaban, kerusakan alam adalah hasil olah ingin, yang diawalnya menjanjikan kebaikan, ternyata apa hasilnya.
Cobalah kau ambil yang terendah dari keinginan hingga menjadi perlu, bukan ingin. Dengan perlu mungkin kau akan lebih bisa mengendalikan"

Datuk Yana menghabiskan sisa teh yang tinggal sedikit lalu bangkit dari duduknya.
"Kita ke halaman, aku hendak melihat pengendalian yang kau miliki, seberapa jauh perempuan itu telah menguasai kesadaranmu" 
Aryapun segera bangkit dan mengikuti Datuk Yana tanpa pertanyaan.
Di halaman depan rumah terasa segar udara pegunungan Meratus, langit membiru, angin sore hari berhembus lembut.
- Sekarang aku bertanya, sejuk udara atau perempuan itu yang ada
* Sejuk udara yang terasa
- Pejamkan mata, lalu apa yang ada
* Dia ada dilubuk terdalam dan membayang

Hanya itu kalimat yang keluar dari keduanya, setelah itu keduanya hanya berdiri berhadapan dengan mata masing-masing terpejam, tanpa ada suara lagi, dan sesaat kemudian terasa udara lebih dingin, terasa bukan udara yang wajar, ada yang aneh dari perubahan mendadak.
Arya membuka mata melihat sekeliling akan tetapi tak terlihat perubahan apa-apa, pun Datuk masih berdiri diposisi semula dan terlihat masih memejamkan mata.

5.08.2012

Menjelang Makna

"Letakkan semua kenangan tentang apapun, gunakan pikiran dan perasaan dengan baik, bukan justru dikuasai pikiran dan perasaan.
Semua seharusnya kau sadari hanya sekedar penggalan sejarah dari waktu yang terasa menjadi berat.
Cinta sekedar menjelang makna atas kedewasaanmu.
Kau akan segera menyadari, yang kau pikir kau tahu ternyata kau salah, kecuali kau telah melalui dan tak mampu lari menghindari atau mengejar"

Arya tak memahami sama sekali apa yang disampaikan oleh Datuk Yana, perasaan kalut lebih menyelimuti kesadaran waras yang dimiliki, benar-benar tumpul semua indra.
Semua kalimat yang didengar justru menjadi tekanan.

5.07.2012

Tak Pernah Faham

Datuk Yana berhenti bicara lalu meminumnya teh dalam gelas besar yang mulai mendingin.
Raut muka kelam dengan garis kerut di wajah tuanya tampak menyimpan catatan perjalanan berat yang Datuk Yana pernah lalui, sekarang beliau telah menghentikan langkah pengejaran, masyarakat menjadikan beliau sebagai tokoh pemangku adat di wilayah Tanah Dalam. Semasa muda beliau banyak melalang buana bersama Tuan Guru Wahab. Keduanya lalu berpisah jalan, jika Tuan Guru Wahab mengambil jalan untuk membagikan keikhlasan segala ilmi yang dimiliki kepada semua santri yang ada di pondoknya, sedang Datu Yana memilih diam dan menutup ilmu, dan hanya sesekali saja beliau memberikan tauziah.

" Arya adalah nama yang diberikan Wahab kepadamu, jika menurut ejaan lama akan menjadi A-r-j-a penulisnnya, apalagi jika terpengaruh penulisan jawa lalu menjadi H-a-r-j-a karena huruf a-nya justru ha, lalu jika ditanya mana yang benar, aku tidak mengambil mana yang benar mana yang salah, melainkan yang aku sebut asal mengerti bahwa dialah yang aku maksud.
Benar atau salah hanya menurut nalar masing-masing.
Sama halnya dengan bahasa cinta, apapun kalimat yang terucap yang terpenting justru sentuhan perasaan, bukan kalimat yang justru bisa melukai.
Lalu untuk merubah hasrat cinta menjadi hasrat kasih pun sayang tergantung dari kemampuan masing-masing untuk menaklukkan keinginan isi kepala dari bahasa benar dan salah, sehingga masing-masing menyadari bahwa tak mungkin untuk memaksa pasangannya sesuai dengan keinginan, bahwa cinta adalah wujud rasa bukan wujud keinginan nalar.
Pandangilah dengan benar wajah perempuan itu sewaktu diam, dalam diam justru kau akan bisa mengerti berjuta bahasa perasaannya yang menggumpal di wajahnya"

Datu Yana tersenyum isyarat kemakluman atas wajah diam Arya yang kalut dengan perasaannya. Arya belum benar-benar faham dengan apa itu cinta, mengapa dengan cinta justru Arya merasa terhukum.

Mungkin

Semesta alam tersenyum seraya memberi salam, beserta peluk erat kehangatan pagi.

Hidup barangkali hanya seni permainan gerak dan pemahaman, tentu akan bebas menggunakan komposisi baik pun buruk kepribadian jua bebas dalam menggunakan pengukuran dari setiap keinginan yang diperah dari pikiran dan perasaan yang bernafas pada adat budaya juga peradaban universal.

Tak menyoal benar atau salah yang rasanya masih tetap nisbi, melainkan sekedar dihidangkan dan telah dipersilahkan.
Segala aroma ditawarkan, tergantung seberapa jauh kedewasaan untuk menyikapi.

Saat tertentu aku bersungguh-sungguh namun di suatu waktu aku berpaling muka sambil mengatakan "ah"

5.05.2012

Rahwana tahu apa itu cinta

Rasanya Rahwana tak sebegitu gila seperti dalam kisah Ramayana.
Tak mungkin Rahwana menjadi sedemikian parah jika Shinta tak pernah memberi kedipan mata hingga menusuk jantung sang raja.

Tindakan dramatis sang raja untuk mencuri sang dewi mungkin berawal dari perasaan sang raja yang makin tercampur aduk, antara kebencian yang menyusup tipis dengan kerinduan akan saat-saat kebersamaan mereka, yang dahulu pernah mereka lalui berdua, maka rasa itu selalu menyelimuti di tiap malam sang raja, malam yang selalu sunyi dan dingin, lalu berujung dengan tidak mampu lagi sang raja menterjemahkan selain mencuri sang dewi.

5.04.2012

Rahwana

Tulisan dengan tajuk "Aku hanya ingin menari" sungguh-sungguh menujukkan nafas egois.
Nyata sekali aku tak menunjukkan sikap dari akar timur yang menggunakan tata krama demi untuk tidak menyakiti perasaan lawan komunikasi, dengan bersikap sesuka hati sendiri.

Atau mungkin seperti itu yang ada di benak Rahwana sang raja, ketika sang raja harus putus asa untuk menggapapai dewi Shinta, sedang keinginan memandang sang dewi masih saja berkecamuk di dada, ketika kerinduan memandang tak tertahankan.
Ketika segala keelokan yang ada diantara langit dan bumi tak lagi mampu menggantikan dengan yang bernama Shinta, mungkin akan terwajarkan kegilaan sang raja ketika bersikukuh mendapatkan sang dewi dengan apapun caranya.
Setidaknya sang raja telah mampu menunjukkan kegelisahan dihari-harinya.
Pun sang raja telah tulus bersikap, terbukti dari pengorbanannya.

Barangkali Rahwana juga tak pernah tahu alasan mengapa hingga tergila-gila, benarkah sudah tak ada lagi bidadari di negara Alengka.
Atau memang tak diperlukan alasan untuk cinta.

Mungkin gelapnya malam yang menyimpan catatan sejarah seperti apa kegelisahan Rahwana waktu itu.
Rahwana mungkin juga akan muram ketika mendengar Adele melantunkan lagu "Some One Like You"

5.03.2012

Aku hanya ingin menari

Kering ide juga bisa menjadi ide. Ide hanya cukup dengan ada, dan jika ada tentu bisa dikelola tergantung keperluan pun kemampuan sipengelola mau dijadikan apa yang ada.
Bukankah kering ide itu ada, dan ada berarti bisa dikelola.

Orang sering mencari yang orang itu inginkan, dan kebanyakan yang tidak ada yang dicari atau yang jauh, sehingga melupakan yang sedang dihadapi atau abai. Pun sebenarnya kita jua tahu jika manusia diberi mampu merubah dari yang sederhana menjadi luar biasa, padahal Tuhan mengadakan sesuatu untuk memberi manfaat, dan yang dihadapi sedang menunggu sentuhan.
Aku hanya berfikir seandainya warga Bali tidak menggali sumberdaya yang terkandung didalam Bali itu sendiri mungkin Bali tak dilirik lagi.
Bali tidak menjual pengetahuan atau technology atau apa saja yang dimiliki dunia modern barat.
Tapi Bali bisa berdaya ekonomi, cukup dengan mengelola apa yang ada. Bali contoh kepercayaan terhadap kemampuan dari sendiri, bukan pengikut.
Bali sukses dengan cara menjadi diri sendiri.

Sering pengetahuan kita justru menjadi tabir bukan sebagai sarana pendukung.
Sering kita dibatasi aturan aturan yang kita dapat dari akademi, seolah pengetahuan yang menjamin hidup. Seolah pengetahuan yang memberi surga. Dan seolah harus.

Jika boleh aku meminjam kalimat "dan Tuhanmu akan menutup pintu rizki bagi siapa yang memutuskan tali silaturrahmi"
aku rasa kalimat itu mengatakan silaturrahmi yang memberi jaminan rizki atas kehidupan, bukan pengetahuan.
Silaturrahmi dengan tumbuhan padi hasilnya memberi kita makan pun sisanya bisa kita jual.
Pun yang menjamin surga aku rasa perbuatan, bukan pengetahuan.
Pengetahuan bukan segalanya, sekedar sarana. Dan aku tahu memang pengetahuan bersifat wajib ada. Memang benar pengetahuan mengantar manusia pada peradaban.
Tapi aku juga tega membunuh pengetahuan jika pengetahuan itu menjadi tabir.
Alam yang mengandung pengetahuan, bukan pengetahuan yang mengandung alam.
Dan aku hidup di alam, aku membiarkan alam mengajarkan apa yang alam miliki.

Kemala lupa jika aku mampu mengolah diamnya menjadi kalimat apa saja. Kemala lupa jika aku mendengar bahasa sisi dalamnya. Kemala lupa jika aku mendalami mistik kuno. Atau mungkin kemala lupa jika aku punya rasa yang bisa merasa.

Yah... aku tak lebih dari dukun yang menebar dusta unrasional.

Aku ingin menari berputar sesuka hati dengan tangan diatas kepala sambil bertepuk, aku ingin selebrasi walau tanpa sebab. Aku memilih lagu Fifa 2010 untuk menambah suasana bahagia.
Bisa juga kau sebut aku idiot, untuk sebuah kebahagiaan tanpa sebab.

Kemala hanya nama, tetapi ruhnya masih saja menyapa. Dan aku belum bosan untuk mengucap salam.
Mungkinkah dia tahu perasaanku?
Mungkin pikirannya sangat membenci kalimatku.
Aku rasa Kemala cerdas tentu dia mengikuti pikiran bukan perasaan.

Kering ide

Entah sudah berapa tulisan aku batalkan, serasa kalimat kosong tanpa muatan, mungkin kalau masakan rasanya hambar kurang bumbu, kurang garam. Kalimat seolah sekedar saja.
Memangnya selama ini tulisanku bagus? bermuatan?. Ha ha ha.... Yang ada konyol, tapi tak soal, inilah aku.
Yang ada sekarang hanya kering ide. Tapi bukankah ini yang aku minta. Set up ulang isi kepala. Bukankah set up ulang wajar kalau ada yang hilang.

Aku pandangi selular yang selalu setia mengirim tulisanku, tetap saja kosong, tidak ada apa-apa.
Satu hal yang tersisa "dia"
Dan aku bingung menterjemahkan diamnya untuk menjadi kalimat.
Yang makin membingungkan diamnya justru menjadikan makin terasa apa yang ada dibenaknya. Mengapa perasaan masih jua peka, padahal sudah aku minta jangan terlalu peka.

Mengambil Gambar

Aku sempatkan mengambil gambar sederhana  pagi tadi. Sekedar rumput yang tumbuh di pinggir jalan. Aku gunakan lensa canon 55 - 250mm pula ap...