3.24.2016

Dua Sisi Hati

Datu Yana tak bisa berbuat lebih mengetahui Urip yang sudah tak jelas
arah. Kehidupan nyata yang dia pernah dengan sungguh pilih ternyata
masih bisa bengkok oleh ajakan Dimah untuk mengejar monyet
keseimbangan. Pun ketika gerhana yang dianggap saat paling tepat untuk
melepas jerat mantra dari monyet keseimbangan sudah dekat malah dia
sibuk berbagi hati bersama Salma.

Hati. Dengan hati seorang seniman bisa menjadikan sesuatu yang mati
bisa terasa tampak hidup pun ketika hati luka, bisa berubah menjadi
amarah atau setidaknya benci yang mungkin akan menjadikan yang hidup
jadi mati.

3.18.2016

Belum Faham

Seharusnya Urip sudah mengerti apa yang tetua sering sampaikan tetang
pelajaran terakhir dari hidup, tentang kenyataan yang memaksa
seseorang untuk bisa meletakkan apa yang telah pernah seseorang
pelajari. Tentang membiarkan sesuatu mengalir dan kemudian jika ada
kesempatan biarkan kemampuan diri reaktif terhadap apa yang sedang
dihadapi. Memahami arti baik dan buruk hanya sebagai sudut pandang,
baik menurut orang timur belum tentu baik dari sudut pandang orang
barat atau sebaliknya.
Urip belum lagi faham, apalagi untuk bisa tega.
Terbukti dari dia yang masih lagi bisa ditarik dalam urusan ribut di
Tanah Luar pun Tanah Dalam. Urip masih mau peduli terhadap rekan
apalagi jika hal itu menyangkut perempuan yang ada di hatinya tentu
dia akan makin peduli.

Seharusnya tega.

3.15.2016

Belum

Kebencian Salma pada Urip yang tadinya sudah terkumpul entah mengapa
jadi mencair lagi dan lambat-laun berbalik arah pada membenci diri
sendiri.
Salma bimbang, jadi sangat ingin membenci hidupnya sendiri yang
membuat nafasnya tak lagi lapang, terasa berat, semua jalan terlihat
buntu, entah. Keberanian tak lagi bisa dikumpulkan seperti dulu, hidup
seperti terkutuk sedang air mata tak lagi memiliki arti.
Salma memandang kosong pada Urip yang sekarang tampak lemah dihadapannya.
"Setidaknya aku masih punya kau untuk kawan bicara. Setidaknya kau
masih bisa aku maki ketika sepi mengusikku" ucap Salma lirih.
Ucapan sekedar memastikan jika yang di hatinya belum lagi siap untuk
melenyapkan Urip. Mungkin nanti jika sudah ada pengganti.

Teluh

"Ayo jangan ragu" bisik Dewi.
Mengetahui Salma yang semakin gelap jalan membuat Dewi terus sibuk
mengacaukan suasana apalagi Salma telah siap menggunakan teluh.
"Bukankah dia telah membuatmu kehilangan banyak teman. Lihat dirimu
yang semakin larut dalam kesendirian, kau sadar. Ayolah" lanjut Dewi.
Salma termakan bisik Dewi dan memejamkan mata berusaha untuk
mengumpulkan seluruh rasa tega yang dimiliki, menutup semua ingatan
tentang Urip kemudian mengisi matanya dengan rasa benci.
Aroma kembang kopi telah berubah menjadi sesak bau kemenyan. Urip
merentangkan lengan lalu menurunkan kedua lutut ke tanah. Urip
memejamkan mata tanda telah siap dan tak ingin menghindar.
Dewi tersenyum merasa bakal mendapat kemenangan.

Barangkali Salma akan sangat mudah untuk melenyapkan Urip tapi akan
tidak mudah setelahnya.

3.14.2016

Bujuk Dewi

"Dia bukan perempuan bodoh yang tak mampu bersikap. Aku bisa mengambil
jantungnya untukmu jika kau mau".
Mendengar bisik Dewi terasa hanya makin meremas jantung.
Urip memandang langit berharap ada hal lain yang bisa meringankan perasaan.
Terlalu sulit bagi Urip untuk bisa bijaksana. Salma adalah perempuan
yang paling memiliki arti dari seluruh yang pernah ia temui.

3.10.2016

Pertengkaran

Keduanya sangat tahu jika pertengkaran yang mereka lakukan tak lebih hanya akan membuka kembali peluang. Untuk sesuatu yang mereka berdua tak pernah harapkan terulang lagi.
Salma juga tak begitu yakin akan bisa menjaga amarahnya untuk tidak akan berbalik menjadi kompromi pun Urip

"Membuka lebar pintu hati lalu mengusir yang bercokol di hati dengan kebencian adalah hal yang paling mungkin. Kau hanya sedikit perlu tega dengan menggunakan akal sehat.
Jangan tatap dia lagi karena dia masuk kedalam hatimu melalui mata" lirih terdengar di sela angin.

Sorak Daun

Aroma kembang kopi sudah semakin kuat, jelas itu aroma Salma. Urip berlalu meninggalkan Dimah bersama yang lain memilih lebih dulu menemui Salma dan ingin empat mata.
 
Salma hanya memandang sesaat pada Urip lalu membuang pandang tak ingin isi hatinya terbaca.
"Aku selalu gagap dalam mengambil keputusan sama sepertimu, tapi jika kau tahu aku, sungguh aku orang yang hanya punya dua pilihan warna. Hitam atau putih. Ya atau tidak. Jika aku telah memilih tidak maka akan aku bawa sampai mati pilihanku itu pun kalau ya, aku tak sedikitpun mundur langkah. Bukankah juga begitu sifatmu.
Barangkali karena ketetapan akan berlaku tetap justru yang membuat aku selalu ragu bersikap. Sebab bila aku sudah memilih maka aku tidak akan bisa mencabut pilihanku lagi.
Aku tidak tahu langkah, hanyut tak tentu arah. apakah itu beda denganmu? Dan ya, kita sama-sama tak akan pernah bisa berani memutuskan hubungan kita. Aku takut mengecewakanmu dan kau takut mengecewakan aku.Dan bodohnya kita tak pernah tahu alasannya untuk apa kita saling menjaga.
Aku barangkali bisa tega menghentikan tegur-sapa walau aku ragu untuk bisa berhenti mendengar ceritamu. pun aku yakin kau juga.
Bodohnya aku yang tak bisa berbagi dengan yang lain selain denganmu. Dan kau? aku rasa bisa kau tanyakan pada dirimu sendiri. 
Benar kali ini, saatnya memilih, pun kau sangat memungkinkan untuk memilih dan untuk kali ini aku tidak sama denganmu, kau tahu siapa aku sejak kali awal kita bertemu"  Urip menghentikan kalimat lalu membuang bungkus rokoknya yang sudah habis.
Begitu gamblang Urip membeberkan apa yang ada di perasaan Salma hingga membuat terasa berat nafas Salma, membuatnya sangat ingin menampar Urip tapi yang terjadi malah air matanya yang lebih dulu turun hingga melemaskan seluruh sendi
Terbayang wajah Nungkai, orang yang seharusnya Salma pilih. tapi betapa menjengkelkannya Nungkai yang tak pernah mau bertindak bodoh seperti yang Urip lakukan untuk dirinya. Tak pernah berani menyatakan cinta, tak berani gombal dan tak bisa bertindak gila ketika menyatakan perasaan seperti yang Urip lakukan..
Salma ingin berteriak tapi juga tak bisa.
Urip orang yang samasekali tak memiliki kejelasan kasta. Bukan tanpa alasan sangka itu karena sangat sering ketahuan dari caranya bicara yang jelas menunjukkan kalau Urip berasal dari kasta bawah.
Salma terdiam memandang Urip dan bertanya pada diri sendiri, entah bagaimana orang dari kasta bawah yang ada dihadapannya saat ini bisa mengambil ruang dihatinya.
"Hah! kau membuat aku gila!" teriak Salma tak peduli lagi.
Sesaat keduanya terdiam hingga tangis tak terbendung lagi. Salma tak punya pilihan kecuali malah memeluk Urip untuk menyandarkan sakit hatinya.
"Ayo kita akhiri ini jangan kau jadikan aku bingung..., aku sudah kehabisan terlalu banyak waktu..., untuk apa kita lakukan semua ini.." pinta Salma dengan tangis.
Setelah terasa tumpah emosi Salma mendorong Urip. Salma mencoba menghentikan tangis dan berusaha tegar
Angin berhembus terasa seperti ingin membiarkan keduanya terhukum, sedang daun terasa seperti menyoraki kemenangan iblis yang telah berhasil meniupkan nafas beracun yang terbungkus harum cendana kepada keduanya.
Salma ingin sendiri.

3.07.2016

Bisik Kojin

Belum lagi menemukan jawaban atas hadirnya Pram di pertemuan itu. Urip
sangat mengenal Pram, dia tak jauh beda dengan Andika yang memiliki
pola pikir maju. Urip hanya menyangka jika dunia sudah terbalik karena
Pram juga turut memburu monyet keseimbangan. Sesuatu yang masih belum
jelas dan hanya memiliki sedikit informasi apalagi bersumber dari
mitologi kaum konsevatif yang jauh dari pendekatan akademik.
"Ada apa? mengapa ketika aku sebut nama Salma kau jadi berubah sikap.
Masih saja kau tak berubah Rip" tanya Pram setengah olok.
Urip tak bisa menjawab dan hanya menatap langit sedang semua mata
tertuju padanya menyorot menunggu jawaban Urip.
Kojin mengalih pandang pada Pram dengan tatapan menyalahkan. Ada
sedikit cela tak tercap. Kojin tahu Urip yang tak ingin menjawab.
Kojin bisa membaca apa yang ada di benak Urip dari cara Urip membuang
pandang ke langit.
"Perempua memiliki teduh, Urip tak pernah bisa jauh dari perempuan
karena dia tersesat dan perlu tempat berteduh" ujar Kojin berbisik
pada Dimah.

3.03.2016

Pram tiba

"Apa ada kegagalan dari yang direncanakan atau Urip mulai sadar jika
mengandalkan kemampuan beradaptasi seperti yang ia yakini selama ini
ternyata tidak mampu memberi jawaban atas apa yang ia kejar. Adakah
alasan lain sehingga Urip kali ini memiliki kesediaan di tarik kembali
ke dalam wilayah konflik suku Tanah Luar" tanya Angga. "Bukan,
setahuku Urip memiliki konsistensi yang cukup ketika mengambil
tindakan, setidaknya dia tidak akan berhenti sebelum benar-benar
mendapat kesimpulan yang cukup dari apa yang ia lakukan. Aku menyangka
yang ia lakukan kali ini masih ada kaitannya dengan Salma" bisik Pram
tak ingin Urip menyadari jika ia yang sedang membicarakannya..
Angga menahan langkah agak jauh dari posisi Urip pun Dimah. Demikian
pula Pram turut menghentikan kursi rodanya.
"Mana Nungkai" tanya Kojin.
Pram hanya tersenyum dan tak menjawab. Pram berharap Kojin tak perlu
basa-basi karena jelas Nungkai masih berada di Tanah Dalam.
"Salma titip salam" ujar Pram.
Urip menarik nafas lalu melepas lapang. Urip merasa tak bisa lagi
bicara dan terasa ada yang bergolak di dadanya ketika mendapat salam
dari Salma. Entah mengapa Urip seperti terhukum, seperti semua mata
memandang tajam dan menyalahkan dirinya yang memang sudah merasa
bersalah.
"Ada apa Rip" Pram menegaskan posisi mengetahui kelemahan Urip.

3.02.2016

Ragu





“...ujar datu Yana gerhana peluang terbaik  membuka jerat mantra dari monyet keseimbangan dan Nisa telah sepenuhnya menguasai prilaku monyet itu” ujar Dimah.
Senja itu gerimis turun, Urip membiarkan Dimah yang terus ngoceh juga Kojin yang sibuk menyiapkan bekal. Seberapa besar alasan atas keraguan Urip jika harus kembali ke persoalan Tanah Luar pun Tanah Dalam tak pernah bisa Urip sampaikan kepada Dimah.
Urip memungut ranting kering lalu melempar jauh-jauh. Gejala umum keputusasaan pada laki-laki ketika yang mendapat tekanan  dengan kecenderungan melakukan sesuatu yang tidak berguna sekedar untuk membentuk keseimbangan.  
Urip memang bisa membuang jauh dan melupa apa yang pernah ia raih pun ia tuju, segala pengetahuan, pemahaman atau apa saja dan kemudian ia mengubah arah kemana ia mau lalu bertingkah seolah tak pernah terlibat. Tapi Urip tidak pernah bisa melupa nama yang pernah singgah di hatinya. Barangkali itu yang menjadi alasan Urip mengapa ia berat langkah ketika Dimah menariknya kembali keurusan Tanah Luar dan Tanah Dalam.
Sedang belumlah sepenuh seperti yang terlihat, seolah Urip menemukan hal baru yang bisa mengubah cara hidup. Justru yang ada malah ingatannya penuh akan semua yang pernah ia lalui bersama. Dan kekacauan timbul disisi lain dari kesadarannya yang jelas mengatakan bertemu orang yang dulu selalu berbagi bincang dan tawa terasa hanya mengajaknya tenggelam. Bukan pilihan yang bijak apa yang sedang ia lalui tapi haruskah membawa kedalam pekat.
Urip hanya tahu disana ada perempuan yang telah membuka pintu syurga untuknya dan Urip tak lebih dari api neraka yang akan menghanguskan syurga itu sendiri.
“Ah.. Tanah Luar” Urip menyandarkan tubuh menggenggam sesalnya terasa mengikat nafas.

Mengambil Gambar

Aku sempatkan mengambil gambar sederhana  pagi tadi. Sekedar rumput yang tumbuh di pinggir jalan. Aku gunakan lensa canon 55 - 250mm pula ap...