3.31.2013

Menjelang Pagi


Menyisakan  hati yang terberai setelah kehangatan hasrat berlalu dan dingin telah kembali berkuasa. Salma merasa telah menghancurkan sendiri rasa cintanya kepada Nungkai yang selama ini digenggam. Rasa kecewa terhadap tubuh dewasanya yang telah sedia menerima kehangatan yang seharusnya sakral, tapi justru telah dilakukannya bersama Urip, orang yang baru sekali ditemui. Salma sudah tidak tahu lagi apa yang berguna dan apa yang tidak, yang Salma tahu hanya ini akan sulit
Yang pasti terkutuk sudah tanah tempat  dia tinggal selama ini dan akan menumbuhkan banyak duri ranjang tempat dia sekarang masih berbaring membelakangi Urip.  

Pagi masih gelap dan tubuh Salma masih menolak untuk beranjak dari hangatnya dekapan Urip, Salma tidak mengerti untuk apa air matanya yang sedang mengalir. Ada terbersit dihati jika kesendiriannya selama ini tidak menghasilkan apapun kecuali hanya memberi luka mendalam, seolah hanya mempertegas bahwa semua yang Salma susun selama ini tak lebih dari sekedar bayang-bayang yang terlalu jauh untuk digapai bahkan akan sangat melelahkan.

3.30.2013

Hasrat

"Jiwaku bukanlah di tubuhku, bukan dihati tapi diapa yang aku bangun
dalam pikiranku. Aku menguasai mantra atas dasar logika bukan atas
dasar percaya" bisik Urip ditelinga kanan Salma.
Salma merasa tubuhnya seperti terikat yang hanya bisa membiarkan Urip
memeluk dari belakang dengan kedua tangan Urip terasa mulai nakal .
Salma terlihat pucat ketika Urip mendekatkan wajah ke lehernya hingga
terasa sekali hangat nafas Urip menerpa kulitnya yang lembut seperti
mentega.
Peluk yang sudah terlalu lama Salma lupakan.
"Kau gila" ucap Salma dengan bibir setengah bergetar tak mampu menahan
dorongan dari dalam tubuh dewasanya sendiri.

Bulan terdiam membiarkan apa yang sedang terjadi. Iblis tersenyum dan
malaikat setia mencatat secara rinci tiap hembusan nafas birahi dari
keduanya. Angin dengan sinis membersitkan kalimat caci "jangan pernah
menganggap lemah atau lebih sesuatu, anggapan yang kau ukurkan
terhadap sesuatu itulah sebenarnya keberadaanmu sendiri"
Barangkali keduanya sedang belajar mengerti apa arti kehidupan, yang
bukan sebesar atau sekecil yang pernah terdengar, kecuali keduanya
akan melalui sendiri.
Tak ada yang perlu disesali atau dibanggakan tapi keduanya harus
hadapi dengan kelegaan.

Kesalahan Salma

Segala kemampuan yang dimiliki Beng bukanlah berarti menjadikan
sesuatunya bisa lebih mudah. Jantung Urip berdegub lebih kuat begitu
mengetahui kondisi Beng apalagi Dimah, benaknya mengatakan bahwa dia
dalam posisi yang kurang menguntungkan atau justru sebaliknya,
barangkali malam ini akan terasa lebih panjang, atau justru bisa
berubah akan terasa terlalu cepat, karena di sebagaian wajah Urip
tegas menggambar sesuatu yang Salma sebenarnya sudah menyadari tapi
Salma telah lebih dulu percaya diri dan merasa jika ketiganya akan
mudah diatasi.

"Urip, seluruh tubuhmu mengatakan jika hidupmu hanya mengandalkan
keberanian semata tanpa perhitungan yang memadai sebelum pertaruhan,
hidup bagimu tak ubahnya pertaruhan diatas meja judi.
Disini tak pernah ada racun, pun Nungkai telah memberi bekal yang
cukup, tapi dia tidak pernah memperhitungkan isi hati dari siapa yang
dilindunginya itu, air teh yang aku sajikan hanya teh sedu menggunakan
penyertaan doa dari keinginan lubuk terdalam hati masing-masing
peminum, bukan doa seperti apa yang aku ingin.
Rupanya kau bukan sedang ingin istirahat seperti dua temanmu yang
sudah pulas" ucap Salma,
Seolah Salma benar-benar tahu siapa yang
dihadapi. Tapi sesungguhnya tidak, yang ada di setengah dari hatinya
mulai resah. Salma mulai memutar akal demi bisa menunjukan siapa dia
sebenarnya, dan tak ingin tampak rendah. Sedang sebagian dari hatinya
yang lain bertanya siapa sebenarnya Urip, bagaimana mungkin bisa tak
menunjukkan reaksi setelah hampir habis teh yang diminum, dan sebagian
dari hatinya yang tersisa mengatakan jika semua hanya kebetulan dari
keberuntungan Urip yang masih berpihak.

Kejut Salma, dia mulai menyadari betapa mata Urip telah berubah cara
memandangnya, tapi itu kesadaran yang sudah terlambat. Salma
merapatkan penutup tubuh pada bagian yang sedikit terbuka di daerah
dada. Dia berharap dengan tertidurnya Beng pun Dimah bukanlah justru
kesalahan yang fatal.

Yang Disuguhkan

Masih terasa sakit kaki Urip bekas yang tadi diinjak Dimah. Bagaimana
tidak risih Dimah melihat mata Urip yang tak lepas memandangi tubuh
Salma, seolah menelanjangi.
Tidak bagi Salma, dia justru menawarkan senyum yang sedikit menggoda,
seolah dia tahu apa yang Urip mau, bahkan sama sekali tak memandang
dengan adanya Dimah pun Beng.

Beng sangat tahu resiko dan juga tahu siapa Salma, walau Beng juga
tidak begitu yakin, tapi istirahat adalah pilihan terbaik.
"Sungguh-sungguh kehormatan bagi kami bertiga bisa diterima disini.
Ada salam dari Nungkai" sedikit basa-basi yang dicoba dimanis-maniskan Beng.
"Nungkai. Untuk apa harus ada salam" jawab Salma, sesaat Salma
menghentikan adukan teh, namun itu tak lama. Salma melanjutkan adukan
sambil tersenyum ringan lalu mengulurkan teh tersebut kepada Beng,
Urip juga untuk Dimah.
"Yang menjadikan hidup berat ketika manusia menginginkan sesuatu yang
sama sekali bukan dirinya sendiri, menginginkan sesuatu yang tidak
sedang ada atau sudah berlalu, mendengarkan optimis dari orang lain
bukan hasrat yang timbul dari hatinya sendiri. Aku hanya berhasrat
untuk menjadi seperti diriku sendiri, apapun itu wujudnya.
Aku sudah tidak tertarik dengan masalalu, Nungkai bukanlah prioritas
walaupun aku mengakui dia telah pernah ada di ruang hatiku, pernah
berbagi ruang dengannya. Tapi percayalah aku lebih memilih apa yang
aku hadapi sekarang. Hanya orang yang kalah saja yang mencari alasan
pada masa yang sudah lalu.
Tahukah kalian jika ini merupakan hari yang ajaib bagiku, hari dimana
aku kedatangan tamu setelah lebih dari tujuh tahun tak seorangpun
singgah" ucap Salma.

Beng tidak menyambung pembicaraan dari Salma namun dia melirik kearah
Dimah yang sedang menikmati teh. Setelah itu Beng mengembalikan mata
ke arah Salma menunggu kelanjutan kalimat, namun tangan kanannya
menggawil tubuh Dimah yang hendak meminum teh hingga ke dasar.
Dimah paham apa yang dimaksud oleh Beng dan segera meletakkan kembali
gelas diatas meja sebelum teh itu habis sempurna.

"Jangan dihabiskan sampai dasar, karena dasar tempat endapan racun,
kau begitu khawatir, aku mengerti kekhawatiranmu, yang aku suguhkan
hanya untuk membantu kalian istirahat lebih awal, tidak akan buruk
percayalah... " senyum Salma terlihat benar-benar pasti, dan itu
benar, Beng terlambat karena dia sendiri sudah tenggelam dalam kantuk
yang tak terbendung.

3.28.2013

Salma Turun

Detak jantung tak teratur setiap kali ada hal yang melibatkan Nungkai,
sedang Salma tahu terlalu sulit untuk semua kemungkinan yang pernah
waktu itu ditawarkan Nungkai padanya, semua teterima lebih sebagai
omong kosong. Nungkai satu-satunya orang yang paling dibenci bahkan
dalam ingatan sekalipun, namun yang menjengkelkan justru adanya
dorongan dari hati Salma sendiri yang selalu memaksa seluruh
kesadarannya untuk sekedar mengetahui sedang apa dia, dia Nungkai.
"Nungkai kau gila, kau tak menarik" itu kalimat yang paling pas.
Entah sudah berapa kali Salma mencoba, maka selalu berakhir pada hal
yang sama "kau masih ada"
Barangkali kini Salma benar-benar dipaksa untuk sadar jika Nungkailah
satu orang dari sekian banyak orang yang telah pernah ditemui yang
bisa menyentuh hatinya, walau itu berarti hal yang paling menyakitkan.
Hari yang membuat tak berguna lagi mantra, hanya senyum dan tak perlu
diartikan, barangkali Nungkai sudah akan tahu apa maksudnya, seperti
pernyataan berpisah yang bisa memiliki arti berbeda.

Benar sepertinya, dua laki-laki dan seorang perempuan terlihat di
kejauhan. Salma turun ke tanah sudah tak sabar ingin tahu apa maksud
kedatangan dari ketiganya, sambil melangkahkan kaki tangan kanan
meraih dan memetik kembang kopi yang tumbuh dihalaman, lalu
mendekatkan pada hidung hingga aroma khasnya tercium sempurna. Aroma
yang melayangkan perasaan akan rindu pada sesuatu yang Salma sendiri
tak pernah tahu.
Angin sudah mereda berubah menjadi sepoi, cukup untuk melambaikan
rambut Salma yang tergerai.

Penyihir

Terlalu sempurna wajah dan lekuk indah tubuh yang dimiliki, jauh dari
kemungkinan jika perempuan muda seperti dia hidup dengan menghabiskan
waktu sendirian.
Sebagian dari kabar tentang Salma mengisahkan bahwa dia merupakan
perempuan yang lekat dengan sihir jahat sehingga tak seorangpun berani
mendekat padanya, tapi tak mungkin rasanya Salma seburuk itu jika
melihat elok wajah dan senyum ramahnya yang selalu mengembang,
bagaimana mungkin dia menyimpan kejahatan yang menakutkan sedang
diapun selalu melempar senyum ramah kepada siapa saja yang ditemuinya.

Selalu setiap istirahat setelah seharian menghabiskan waktu Salma
ditemani secangkir minuman hangat, duduk di balkon dengan mata
memandang jauh, menyandarkan tubuh juga kepala, akan jelas menampakkan
bahwa dia sedang melepas semua lelah tubuh dan dipikiran. Tak lama
setelah itu biasanya akan tersusun satu persatu bayangan yang telah
hilang atau apa saja yang Salma belum lalui pun miliki, dan itu semua
biasanya akan berubah jadi menghantui dirinya sendiri.
Tapi tidak untuk kali ini, angin kencang dari arah timur datang
tiba-tiba, langit juga memerah, perubahan cuaca mendahului sebelum
pikiran Salma mengembang, sesaat kemudian awan hitam datang. Hal yang
tidak biasa sedang terjadi membuat sedikit was di hati Salma, dalam
hatinya bertanya, mungkinkah ini hari yang seperti apa telah
diramalkan. Kening Salma mengerinyit, memeras seluruh perasaan,
terlintas dalam pikiran adakah hal buruk akan menghampirinya.
"Wyusimamubi salam tatumpah, ikau angin" salma mengucap mantra, lalu
tertutup kedua pelapuk mata dan wajahnyapun berubah menjadi tanpa
ekspresi, sedang kesepuluh jari tangannya bergerak tak teratur. Tak
lama setelah itu Salma sudah membuka mata dan senyum tipis sudah
menghias kembali di wajahnya, lebih menandakan bahwa Salma telah tahu
apa yang sedang terjadi dan itu bukan hal yang akan menyulitkan.
Salma rupanya tahu jika itu ulah Nungkai. Nungkai telah mengirim tiga
orang dengan menyertakan teluh sebagai pertahanan dari ketiganya.
"Nungkai..., kau selalu menjadikan segala sesuatu tidak lebih mudah"
ucap Salma sambil membuka pintu depan rumahnya.

Hembusan angin menerpa gaun warna merah pastel yang dikenakan Salma,
sehingga mencetak gambar lekuk tubuh yang membuat mata laki-laki
menjadi nakal.

Rasa Bersalah Urip Masih

"Barangkali kau tak akan pernah bisa memahami apa yang disebut hubungan, kau memang membiarkan semua terbangun tanpa control, semua proses hanya berujung tanpa kejelasan. Urip, kau tak pernah tahu apa itu arti kecewa dari lawan bicaramu. rupanya umur tak jua menunjukkan kedewasaanmu yang cukup memadai" cela Dimah.

Apapun yang diucapkan Dimah dianggap Urip hanya ucapan dari gadis manja yang baru beranjak dewasa dan sedang ingin menunjukkan identitas. Urip hanya tahu semua yang telah dilalui adalah sebuah proses yang terbangun secara alami.
"Aku memastikan jika ada saatnya kau mengerti, suatu ketika kau akan menyadari jika hidup bukanlah hal yang bisa kau program dengan menggunakan hitungan matematis apalagi asumsi, adakalanya kau akan tahu bahwa justru kesalahanlah yang akan mengajarkan banyak hal" jawab Urip.
Namun tak lama setelah mengucapkan kalimat itu yang Urip rasa malah ada yang mencengkeram di perasaannya, rupanya Urip tak juga sepenuhnya merasa benar, Urip merasa ada benarnya apa yang telah dikatakan Dimah.  Pembelaan diri yang justru menjadikan kehancuran di hatinya sendiri

3.18.2013

Tentang Dia

Kasih, tentu aku masih ada untukmu, tak pernah beranjak, dan kau sungguh tahu itu.
Sama, dan sama dengan apa yang kau pikirkan. Pun aku akan bahagia
ketika kau menjadi biasa, berjalan pada alur yang seharusnya.
Bukankah cinta telah banyak mendewasakan aku pun kau yang sadar telah
makin tinggi usia.
Kasih, kau adalah yang terbaik dan terindah seumur hidupku...

"Nah, asmara kan?" Dimah meledek. Namun Urip hanya tersenyum dan tak
ingin meladeni ucapan Dimah. Tapi mudah ditebak jika itu tak akan
berlangsung lama, dan benar Urip perlahan mulai tak tahan melihat mata
Dimah yang lebih dalam meminta jawab, seolah memaksa penjelasan.
Nafas panjang menandakan Urip telah mengiklaskan untuk menutup buku
yang sedang ditulis.
"Yup, kau menang" Urip meminum teh yang sudah mendingin.
"Dia perempuan terindah yang aku kenal, dan dia berada di sangat jauh
sana, aku tak bisa menyentuh kulit lembut yang seharusnya aku sentuh.
Dengan menulis barangkali satu-satunya pelega bagiku, melepas
kegelisahan, menumpah apa yang ada di hati. Aku dan dia barangkali
seperti apa yang kau katakan, bukan tercipta untuk saling memiliki
atau lebih tepatnya dia diadakan bukan untukku, namun entah apa
sehingga rasa inginku selalu tertuju padanya, aku dan dia terjerat
tali rasa.
Sekarang kesadaranku hanya ingin melihat dia wajar seperti tak pernah
mengenalku, melupa mungkin tak mudah, menentukan prioritas dalam hidup
barangkali akan sedikit membantu" Urip meminum tehnya lagi, Urip
menganggap sudah cukup penjelasan yang diberikan pada Dimah, namun
setelah itu bukan kelegaan yang Urip dapat malah terlihat ada tersisa
di gurat wajahnya rasa salah, bukanlah salah pada Dimah, melainkan
pada kekasihnya dan perasaan itu terbaca oleh Dimah.
"Laki-laki selalu bisa berkelit. Tahu tidak, perempuan tidak akan
mudah mengungkap apa-apa yang ada di hati dan perasaannya, tak mungkin
perempuan yang melangkah, kecuali laki-laki. Yang aku terima dari
penjelasan tadi hanya kecewanya, karena kau tak kunjung melangkah
padanya...."

Setidaknya keduanya mulai terbiasa hidup dalam dunia yang
baru dipijak. Sedang Beng berada dalam rumah penduduk terlihat juga
sibuk berbicara dengan seseorang, entah apa yang dibicarakan,
kelihatanya serius.

Masih jauh perjalanan menuju Tanah Dalam yang mereka bertiga harus
tempuh, mungkin akan banyak hal yang tak terduga atau sebaliknya.
Sudah cukup lama waktu berlalu, Beng mengakhiri pembicaraan. Beng
melangkahkan kaki keluar rumah menghampiri Urip dan juga Dimah yang
tampak masih asyik berbincang. Namun ada yang terlihat lain di wajah
tua Beng, menandakan ada hal yang tidak menguntungkan dari hasil
pembicaraanya tadi.

3.15.2013

Kebingungan


Bagian yang paling tidak disukai Urip ketika harus dihadapkan sesuatu yang tidak logis, setengah hati Urip bertanya apa manfaat dalam  kehidupan segala yang sedang dilakukannya bersama Beng dan juga Dimah. Terasa lebih pada pembodohan akal waras.
Sedang Beng bersama Dimah telah lebih dulu melangkahkan kaki, namun Urip masih sibuk bertanya-tanya bagaimana mungkin ranting kayu pemberian Lehar bisa berubah menjadi pisau perak, setengah hati Urip curiga jika Beng telah melakukan tipuan, tapi apa untungnya bagi Beng.

Tak habis pikir, barangkali hanya mimpi. Urip mengambil nafas dalam-dalam, aroma harum kenanga tipis bersamaan udara lembab yang masuk kerongga hidung malah lebih memastikan jika semuanya nyata. Tak memberi pilihan lain kecuali Urip harus menyusul keduanya agar jangan tertinggal jauh.
Yang terasa berbeda pada perkampungan umumnya di tanah Borneo ada pada jarak bangunan satu dengan yang lainnya terasa terlalu jauh, juga tak begitu terlihat penduduk beraktifitas, lengang.

3.13.2013

Pagi

"Ada apa Beng?" Urip merasa ada yang berbeda. Urip yakin jika tempat
dia berpijak sudah berubah dari yang kemarin, sedang dia merasa belum
beranjak dari tempat itu.
"Aku kenal daerah ini, kalian jangan jauh dariku!" berucap sambil
kedua mata Beng memperhatikan disekitar, perasaannya mengatakan jika
ini bukanlah hal yang baik, Beng mencoba menerka kemungkinan yang
bakal terjadi, dia sadar akan hal buruk sudah terlalu dekat.
"Bangunkan Dimah, jangan sampai dia terkejut!" ucap Beng.
Suasana terasa sangat sunyi, pagi-pagi ketiganya sudah harus bertemu
hal yang tak diduga sama sekali.
Tak ada pilihan lain, Beng menutup kedua mata dengan kepala semakin
menunduk, sedang kedua tangannya mulai bergerak lembut diikuti dengan
gerak di kakinya. Gerak gemulai Beng lebih seperti orang yang sedang
menari.
Sedang Dimah masih berusaha menata kesadarannya yang baru bangkit dari
lelap, Dimah sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang
terjadi, namun tak lama kemudian dia mulai sadar jika Beng sedang
reaktif terhadap sesuatu, Dimah mengenali gerakan Beng semacam tari
yang digunakan untuk teluh.
Tapi baru kali ini Urip melihat cara Beng menggunakan kemampuan yang
diceritakan banyak orang, menurut cerita Beng bisa memanggil roh angin
dan juga bisa mencipta pasukan dibawah mantra.
Entah pandangan mata atau langit pagi yang makin gelap, Urip merasa
seolah waktu berjalan mundur, namun tak begitu lama terasa kembali
normal dan semakin jelas terlihat sekitar, belum lagi selesai tanya
dalam hati Urip Pun Dimah sudah datang kejut lagi, karena mereka
mendapati diri telah berada di perkampungan penduduk yang terasa
asing.

(nah......, ada lagi tamu yang mengisi halamanku.
May be not enough your face, but don't worry, come anytime, I have more)

Make this festive season one to remember

Season's greetings from Ruby Palace casino.

Change the way you celebrate this festive season and visit Ruby Palace casino today.

Where dreams come true and riches beyond your imagination come to fruition.

Play on your favourite Vegas-style games like Roulette, Blackjack, Poker and awesome Video Slots.

Register today and you'll get a whopping 1,000EUR completely FREE to do with whatever u please.

Win on our progressive Slots; check out the revolutionary Tournaments, the choice is yours.

Play fun, play safe, play fair, play Ruby Palace casino today!
___Link here___

3.11.2013

Salam Urip

"Kau tampak masih menyimpan dia di hati" tanya Dimah sambil menata
kayu menjaga besaran api. Angin telah membawa dingin, dan di langit
bintang-bintang satu persatu menghilang tertutup awan, sedang Beng
sudah terlelap di dalam tenda.
"Barangkali dia sudah mengambil jalan yang tepat dengan berusaha
kembali pada jalur yang seharusnya, pun aku, akan lebih lega ketika
dia telah sepakat untuk melupa" Urip melepas nafas menyertakan salam
untuk orang yang selalu mengisi ruang ingatannya.
"Kasih kau yang terbaik" ucap Urip lirih.
Dimah tak ingin bersuara lagi, dia merasa telah salah mengajukan
pertanyaan. Hangat api hanya membawa keduanya untuk membisu dan
terlarut dalam pikiran masing-masing.

3.09.2013

Tinggi Malam

"Menurut kabar pemukiman orang-orang Tanah Dalam sangatlah jauh dari
batas yang kita ketahui itu, dan kabarnya pula disana bukanlah tempat
yang baik, kita hanya akan mendatangi petaka, secara teknis wilayah
itu tidak masuk dalam peta.
Tapi setidaknya aku masih tetap berusaha untuk mengendalikan rasa
takut" ucap Dimah
"Barangkali itulah yang menjadi alasan mengapa aku begitu
memikirkanmu, bukanlah soal Tanah Dalam, karena sepengetahuanku kau
hanya perempuan yang tertarik terhadap sastra, aku masih belum percaya
kau berada disini, dan aku rasa disini bukanlah tempat yang seharusnya
untukmu.
Namun kenyataannya kita sekarang berada ditempat yang benar sangat
jauh, seolah membawa kita pada masa yang telah lalu, jauh dari
peradaban.
Walaupun sesungguhnya aku taklah jauh beda denganmu, juga merasa ragu
apakah kita berada di jalur yang benar, lebih buruk lagi mungkinkah
kita akan bisa kembali" timpal Urip.

Beng tak hirau terhadap pembicaraan keduanya. Beng lebih tertarik
dengan isi buku yang akhir-akhir ini sering tertunda untuk dibacanya.

Malam semakin tinggi dan langit gelap penuh dengan bintang, api masih
cukup menghangatkan tubuh mereka bertiga.

3.07.2013

Senja

Urip sangat tahu jika situasi sudah berubah, tidak mungkin untuk
mengubah masa lalu, tapi setidaknya masa lalu telah memberi pelajaran.
Berkumpul dengan penyihir-penyihir hitam yang meramu tipu daya menjadi
pilihan terbaik, setidaknya untuk sesaat dia bisa sedikit melupa apa
yang memang tidak seharusnya.
Sebentar lagi malam, ada sayup terdengar dari jauh kumandang adzan,
tapi ketika Urip menoleh kearah suara dia mulai merasa ada sesuatu
yang buruk di dada, sesaat dia terdiam
"Ya Rob..." Urip berucap lirih, Urip merasa ada ketidakberesan dalam
hidupnya, ada keraguan terhadap apa yang telah selama ini dia lakukan,
Urip bimbang
"Rasanya aku telah melakukan hal yang salah tapi selalu berdalih untuk
minta di benarkan"

Dimah yang sedari tadi memperhatikan Urip mulai curiga, namun Dimah
hanya bisa menahan rasa ketika hasrat untuk menaya mulai mengusik.
Dimah hanya membiarkan Urip larut dalam perang menghadapi hatinya
sendiri.

3.05.2013

Menuju Tanah Dalam

"...tak banyak orang yang bisa memahami apa yang telah dilalui dan
seharusnya dia segera mencari penggantimu, agar jangan semakin dalam
sakit menusuk. Aku yakin dia lelah dengan semua, aku bisa merasakan
betapa kecewa itu nyata, pun juga akan sulit untuk menghapus semua
yang ada dalam ingatannya.
Kau bukanlah untuknya Rip, segeralah sadar, walaupun cinta itu ada,
yakinlah itu hanya seperti mimpi panjang yang tak akan pernah usai
dan pasti sangat tidak mengenakan mengharap peluk yang tak kunjung
tiba. Kau kejam, kau egois, apa yang kau pikirkan.
Rip, kini aku tahu bahwa benar yang orang-orang katakan tentangmu, kau
lebih gila dari semua orang yang pernah aku temui" ujar Dimah sambil
menata perbekalan, sedang Beng hanya tersenyum mendengar Dimah ngomel.

Ketiganya pagi itu berangkat menuju Tanah Dalam atas undangan yang
telah disampaikan melalui Lehar. Langit cerah, tanah masih basah bekas
hujan tadi malam.
"Jaman sedemikian modern dengan berbagai kemudahan tekhnologi masih
saja orang Tanah Dalam mengirim undangan menggunakan jasa atar, maka
yang diantar hanya sebilah ranting kering.
Kan bisa sms ..." celetuk Urip sementara tangan kanannya masih
memegang ranting yang diberikan Lehar malam itu. Urip sebenarnya hanya
berusaha mengalihkan perhatian, menghidari Dimah yang semakin sewot.
Ternyata berakibat positif untuk Urip, karena Dimah yang tadinya
tampak serius kini terlihat menahan tawa menutupi geli mendengar Urip,
sedang Beng tertawa mendengar betapa konyol Urip.
"Namanya sudah Tanah Dalam, semua orang sudah tahu akan keberadaannya
yang jauh di dalam hutan. Nah..., sekarang aku tanya, mengapa kita
nggak menuju Tanah Dalam dengan menggunakan mobil saja, atau
setidaknya menggunakan transportasi lain yang lebih sederhana, sepeda
motor barangkali" jawab Beng.

3.04.2013

Urip

Urip terpaku mendengar ucapan Narang. Dia sadar apa kedepan yang dia
bakal hadapi. Tak jauh beda dirinya dengan Arya yang membiarkan
kekasihnya membeku menjalani hari-hari yang terasa melelahkan.

"Kasih maafkan aku" ucap Urip lirih penuh sesal.

Pilihan Narang

Narang tergugah, ketika Lehar menyampaikan tegur padanya, terasa ada
yang menyentuh lubuk hati. Bukankah dia telah bekerja keras menjalani
pilihan hidup demi mimpinya. Dia sadar untuk apa seharusnya dia
diadakan dan memang kekuatan itu ada dalam darahnya yang mengalir.
Seharusnya dia perlu berfikir sebelum mengambil keputusan, masa bodoh
dengan kesetiaan

"Bertindak dengan cerdas seharusnya, itu yang barang kali datu
harapkan, tapi sayangnya insting makhluk sosial lebih menuntunku,
walaupun itu berarti menjadikanku harus binasa seperti Arya yang
lenyap bersama kisah cintanya yang selalu digenggam juga kesetiaannya
kepada orang-orang yang dicintai" ucap Narang untuk memastikan bahwa
dia tahu apa yang seharusnya dilakukan.

Mengambil Gambar

Aku sempatkan mengambil gambar sederhana  pagi tadi. Sekedar rumput yang tumbuh di pinggir jalan. Aku gunakan lensa canon 55 - 250mm pula ap...