9.29.2012

Aku Menutup Blog

Aku menghentikan tulisanku.
Kau yang ada di Belanda, sayangnya aku tak tega untuk membuktikan
semua teori yang ada di tanganku padamu.
Mbak yang di lampung. Jika gambar itu di kelilingi lingkaran. maka
mbak akan menemukan dua poin lagi, tapi lingkaran tidak terlibat
(lingkaran justru awal)

teori yang murni dan tidak aku kutip dari manapun telah aku kirim pada
dua orang perempuan.
Tidak aku publikasikan, pun dua perempuan itu jika bisa memahami dari
awal maka aku pastikan akan tahu awal kehidupan dan segala kerumitan
hidup yang sedang terjadi hingga hari kemudian.

Jika aku ada salah tentu aku meminta maaf.

Salam

9.28.2012

Urip Masih Kekanakan

Urip barangkali masih seperti anak kecil yang tidak pernah tahu kapan
harus berhenti berkhayal. Dia berpikir dengan ritual purba akan bisa
mendekatkan dirinya pada kesempurnaan pemahaman pun prilaku.
Tidak, Datu Yana menganggap apa yang Urip lakukan hanya tindakan untuk
lari dari kenyataan.

" Bukankah Wahab telah mengajarkan bagaimana seharusnya pertempuran,
pertempuran selalu gagal ketika kau terlalu memperhatikan tehnik,
ketika kau memandang lawan dengan kehati-hatian. Kehati-hatian hanya
menimbulkan rasa ragu, dan tehnik hanya pakaian yang menjerat disetiap
gerakmu.
Wahab tentu sudah mengajarkan apa itu pengosongan pikiran, janganlah
pernah ragu dengan apa yang telah Wahab ajarkan.
Urip, pertandingan sesungguhnya bukanlah untuk keagungan, tapi siapa
yang harus mati.
Kau atau aku. Ini bukan pilihan tapi ketetapan. Tak pernah ada matahari kembar"
Datu Yana hanya ingin mempertegas. Bagaimana yang seharusnya permainan
kaum tua berlaku, dan bukan lagi hayalan yang bisa disimulasikan
layaknya drama anak TK.

9.27.2012

Urip

"Aku hanya ingin membakar dupa untuk merangkul rasa luka yang
menyakitkan, lembut mencengkeram di ulu hati dan kadang seperti
membakar dada. Aku sama sekali tak ingin mengucap mantra. Hanya
membiarkan. Aku ingin tahu sejauh mana luka itu menghancurkan aku,
menyita dan memporak porandakan akal warasku, meludahlah kau
diwajahku. maka aku akan mengatakan, ya.., aku bergabung dengan iblis.
Demi kau perempuan yang telah menyusupkan rasa yang aneh pada hidupku"
ucap Urip, sedang tangan kiri memegang beberapa dupa lidi dan tangan
kanan menyalakan korek api untuk menyulut dupa itu.
Duduk bersila dengan memejamkan mata, wajah jelas mengambarkan betapa
buruk perangai Urip.
"Aku tidak menolak apapun itu, tapi jangan paksa aku"

Entah apa yang ada dalam pikiran Urip, kalimat yang diucapkan
terdengar aneh dan terasa sama sekali tidak ada berhubungan dengan
kedatangannya di hutan tempat Datu Yana Menyepi.
Datu Yana sudah masuk kedalam pondok, untuk melakukan sholat malam,
membiarkan urip mengekspresikan segala kecamuk.

Akal Urip Menyangkal

Tak ada tanda gerak dari angin, hanya serangga malam yang ribut,
sedang langit penuh bintang, menampilkan taburan yang sangat
mempesona.
"Yang paling tinggi derajat pun pengetahuan manusia justru ketika
manusia itu sedia berada di posisi paling bawah dari kehidupan,
seberapa kesediaan manusia itu meninggikan derajat kehidupan yang
lain. Maka ketika orang merasa pantas untuk ditinggikan tentu itu tak
lebih dari orang bodoh yang gila hormat. Pun ketika orang merasa telah
memiliki pengetahuan maka bisa dipastikan bahwa kesombonganlah yang
bertahta"
Kopi masih hangat, siap memberikan kenikmatan, menghibur masam liur.
Datu Yana menyalakan rokoknya pun Urip jua. Ada disetengah hati Urip
ingin menyangkal, namun rasa hormat terhadap Datu Yang telah
memandegkan.
"Untuk apa pengejaran jika pada penghabisannya justru harus dibawah"
gerutu Urip dalam hati.
Sedang Datu Yana orang tua yang telah banyak makan garam, tentu dia
bisa membaca apa yang ada dipikiran Urip. Pun Datu Yana sangat tahu
jika suatu ketika Urip akan faham dengan apa yang baru disampaikannya.

9.25.2012

Sore Bersama Datu Yana

Hari keduabelas Urip menjadi tamu Datu Yana, hampir semua yang
diketahui Datu Yana telah didengar Urip dengan gamblang, tak satupun
ada yang terlewatkan.
Sore menjelang senja keduanya turun ke tepi Hutan sekedar membuang
lelah pikiran.
"Aku sangat tahu akan Wahab, dia sudah lebih dari cukup untuk kau
ambil pengetahuannya. Aku semasa muda dulu bersama Wahab larut dalam
pencarian tentang kebenaran Tuhan dan nasib dari hidup manusia, tak
beda seperti apa yang sekarang ini kau cari. Rupanya Wahablah yang
lebih tanggap daripada aku untuk menyerap informasi alam yang
menyimpan rahasia itu, sayang sungguh sayang, yang didapat bukanlah
kebahagiaan seperti yang diinginkan, tapi justru kesedihan yang
mendalam, betapa tidak, karena setelah itu Wahab justru banyak
kedatangan tamu, namun orang-orang yang datang kepadanya hampir semua
tak pernah bisa diingatkan, sedang Wahab dengan jelas mengetahui nasib
yang bakal terjadi pada mereka. Hampir disetiap hari Wahab harus
kehabisan energi untuk mengabarkan kebenaran, namun yang didapat tetap
kekecewaan. Orang-orang tetap tak bisa memahami apa yang telah
disampaikan. Semua peringatan dari Wahab hanya dianggap kalimat sakti,
bukan untuk dicermati, dianggapnya kalimat itu sebagai jimat, yang
hanya pantas untuk disimpan sebagai keberuntungan. Tentu itu salah.
Dan aku sangat tahu jika Wahab bakal sedih.
Andai kau tahu, sebenarnya Wahab masih mengambil sebagian pengetahuan
nasib. Belum semua. Andai seluruh rahasia nasib itu diambil, mungkin
Wahab akan sembunyi dari kehidupan, aku rasa dia akan makin tertekan
melihat manusia yang sibuk menyusun kehancurannya sendiri. Sejak awal
manusia memang telah sia-sia dan larut dalam tipu daya"
Datu Yana mengambil nafas lalu menghempaskan dengan panjang, bersamaan
dengan kepalanya yang menengadah, melapangkan pandang, melepas tiga
perempat dari sisa yang di ketahui tentang Wahab pada langit. Datu
Yana tidak bisa menceritakan semua tentang Wahab, hanya langitlah
tempat yang lapang untuk menerima apa yang ada dalam perasaan dan
pikiran Datu Yana walau tak terucap.

Langit sore memerah, matahari makin menepi. Senja lukisan terindah karya alam.
"Urip, memiliki pengetahuan tinggi bukan berarti kebahagiaan,
melainkan mempertegas kebodohan. Sungguh sedikit yang engkau akan
ketahui, namun begitu banyak yang tidak engkau ketahui. Orang yang
sungguh-sungguh pintar adalah orang yang mengetahui bahwa dirinya
terlalu bodoh" Datu Yana meninggalkan Urip sendirian duduk diatas
rumput, ditemani angin sepoi dan ilalang yang menari. Sedang burung
pipit masih sayang melewatkan sere yang sempurna.
Pelepas lelah jiwa.

9.24.2012

Rian Buntu

".......atau kau berikan saja kalimat-kalimat romantis penggoda, itu
mudah didapat, cari saja di google, dan tinggal pilih mana yang cocok.
Yah.., agak murahan sih, tapi itu bisa jadi pilihan"
Opsi sudah ditawarkan mulai dari yang ekstrim hingga yang gombal,
tinggal Rian menentukan pilihan untuk menyikapi cintanya yang baru
saja berkembang tapi mendadak buntu itu. Namun sayang, bagi Rian semua
opsi yang ditawarkan Kojin malah terasa tak lebih dari sampah yang
ditumpahkan, tak satu opsipun bisa diambil untuk sedikit mencerahkan
kalut yang menyelimuti. Bergolak dan tak mungkin melerai rasa ingin
pada Mita itu justru makin di ubun-ubun, bahkan Kojin yang tadinya
mejadi harapan malah terlihat seperti nenek-nenek sihir yang cerewet.
Buntu, tak lagi bisa mendengar kalimat, yang ada makin gelap. Tak
satupun kalimat yang diucap Kojin bisa dimanfaatkannya. Sepertinya
hanya mengubah level pahitnya liur secara drastis.
"Kerasukan apa engkau ini?" Kojin mulai melihat Rian yang berekspresi
lain dan gelagat tak beres.
"Rian, Rian, Rian!" Kojin mulai was. Rasa takut mulai mengambil posisi.
"Ya, om" sahut Rian.
Cukup alasan rasanya untuk leganya perasaan Kojin mendengar sahut
Rian, hingga Kojin bisa membuang nafas dengan lapang.
"Gila kau ini, membuat jantungku hampir berhenti" sumpah Kojin menumpah.
"Ha ha ha...., emang cinta mulai dulu selalu membuat orang yang waras
menjadi gila, lihat dirimu!" ujar kojin.
"Aku melihatmu bukan seperti orang yang rindu, tapi lebih seperti
orang marah, yang tak bisa mengendalikan apapun.
Ya, sudahlah, selama kau masih bisa tertutup tak masalah dengan apa
yang orang lain pikirkan. Semua akan baik-baik saja"
Kojin melepas permasalahan Rian, karena tersadari tak ada solusi bagi
Rian kecuali menatap wajah kekasihnya. Tak mungkin bagi Rian menafikan
perasaan cinta yang melilit hingga sumsum itu.

Mungkin tidak semua pertanyaan ada jawabnya. Tapi salahkah jika Rian bertanya.

9.23.2012

Di Rumah Kojin

"Itu tempat pelatihan suci. Aku bersama Beng juga Hadi pernah belajar
bersama disana.
Aku bersama mereka belajar melepaskan ikatan, tanpa rasa takut, tanpa
amarah, tanpa keagungan. Belajar menetapkan hati pada satu tujuan
tanpa harus kehilangan hati dan perasaan.
Selayaknya apa yang pernah dilakukan para pendahulu, yang jelas
identitasnya tanpa harus kehilangan adat timur.
Inti dari pembelajaran agar tidak menjadi manusia yang hanya melukai
kehidupan yang lain" Kojin melangkahkan kaki menuju halaman belakang
rumah yang sekaligus merupakan bengkel seni pribadi. Rumah sederhana
type 54 dengan halaman belakang yang cukup, terlihat rapi dan sangat
terkonsep, ini tempat Kojin menuangkan segala rasa seni yang tersimpan
dalam seluruh tubuh kurusnya itu. Terjajar patung karya tangan seni
Kojin dengan berbagai bentuk ekspresi yang rata-rata kuat dan detil.
"O...mah, tolong buatkan kopi satu lagi, buat Rian nih!" agak sedikit
keras suara Kojin, untuk memastikan istrinya mendengar.
"Sadari sebuah tindakan tidak cukup dengan hanya mengandalkan percaya
diri semata, tapi memerlukan keputusan yang optimal dan memadai
terhadap apa yang akan kau lakukan" ucap Kojin sambil meletakan
pantatnya pada kursi kayu.
"Wah, aku mau mendapatkan cinta om, bukan mau bertapa" jawab Rian
dengan polos. Kojin justru meledak tawanya begitu menyadari dia salah
memberi jawaban pada Rian.
"Sorry man..., di daerah Tumbang Nusa ya sekarang Mita?, nah....kita
minum kopi dulu" kojin melapangkan perasaan rileks dengan meminum kopi
yang masih hangat disusul dengan menyalakan rokok kretek yang sejak
tadi sudah ditangan dan belum dinyalakan. Tak lama kemudian istri
Kojin datang dengan nampan berisi secangkir kopi panas, lalu
meletakkannya di meja serta mempersilahkan Rian untuk meminum.

9.20.2012

Kesendirian Rian

Tidak bersama orang-orang yang menyebalkan dan suka bicara jorok tak
sepenuhnya menyenangkan bagi Rian.
Dan tak bersama siapapun justru akan berarti mengumpulkan semua
bayangan tentang seorang perempuan yang tak pernah bisa hilang dari
ingatannya.
Dulu Rian berpikir jika membiarkan Mita bebas untuk memilih jalan
sepeti apa yang diingininya itu akan menunjukkan bahwa Rian akan mampu
sendiri dan akan tetap kuat walau tanpa adanya Mita, tapi sayang semua
itu malah berlaku sebaliknya, Rian hanya menunjukkan bahwa dirinya
telah lari dari kenyataan.
Jelas yang didapatnya bukan keadaan yang makin membaik. Mungkin
terlambat untuk Rian mempercayai adanya kesempatan kedua, belum lagi
Rian yang tak pernah tahu bagaimana cara untuk mendapatkan kesempatan
itu kembali.
Rian hanya tahu tidak akan ada alasan yang cukup bagi Mita untuk
mempertahankan cinta dengannya. Sedang Rian juga sangat tahu arti dari
seorang yang menghindar, jika itu tak lebih dari cara menyimpan rasa
terhadap yang dihindari, hanya saja kecerdasannya yang menguasai
hingga menghindar menjadi pilihan, tapi setengah dari hatinya
mengenang bahkan jika ada kesempatan maka mata akan mencuri pandang.

Dan ketika Mita sama sekali tak memandang apakah itu berarti Mita
lupa. Membiarkan senyum mengembang rupanya menjadi kalimat pemaklum
Rian terhadap Mita, betapa perempuan selalu menyembunyikan.

9.19.2012

Logam Mulia Jali

"Dulu aku juga membenci banyak hal, banyak hal yang tidak sesuai
dengan kemauanku. Tapi Urip mengatakan jika banyak orang juga
membenciku ketika aku sedang mabuk. Setelah itu aku sadar, baik jika
kita membiarkan tiap orang melakukan apa yang orang mau, asal jangan
menganggu atau menyinggung orang lain" ucap Jali.
"Wau! Kalimat bijaksana Tuan Guru Jali" ledek Kojin yang menjadikan
tawa bagi Rian pun Hadi, sedang Jali tampak blingsatan, Jali tersadar
jika kali ini dia memang agak berlebihan dengan sok bijaksana.
" Jali, di KTP agamamu Islam! kau tahu tidak? Kotoran babi itu
termasuk najis berat atau disebut dengan najis mugholadhoh dan kotoran
ayam termasuk najis tingkat sedang, tapi tetap najis yang membatalkan
dari suci. Hebatnya kau tak pernah batal dari suci sedang pekerjaanmu
mengelola kotoran ayam dan segala jenis hewan, atau jangan-jangan juga
termasuk dari...kotoran...ma...manu.." ujar Hadi setengah menahan
tawa. Sedang Rian, Kojin pun Jali bingung mendapati pernyataan itu.
"Kenapa begitu Hadi?" tanya Kojin. Sedang yang ditanya justru tertawa.
"Bagaimana hendak batal dari suci? Bukankah Jali bersuci saja tidak
pernah, batal itu hanya berlaku kepada orang yang menjalani bersuci,
jika tidak pernah menjalani bersuci sejak lahir, lalu batal apanya?
Sudah batal lebih dulu, lalu batalnya orang yang batal, seperti apa
itu?"
Mereka semua melepas tawa habis-habisan, mendapati kekonyolan dialog,
mereka akhirnya saling lempar canda yang mengocok perut dan baru
berakhir setelah kehabisan bahan lelucon.
Waktu tak terasa telah setengah hari berlalu, dan Hadi meninggalkan
mereka berdua begitu mendengar kumandang adzan dari masjid yang tak
jauh letaknya. Sedang Rian telah lebih awal pulang karena punya
kewajiban sekolah.

"Jali ini desain yang aku buat" Kojin mengulurkan gulungan kertas
berisi desain bangunan yang telah digambarnya.
"Aku sebenarnya tak begitu menguasai desain bangunan, aku bukan
arsitek, tapi setidaknya sudah aku lakukan yang terbaik" keduanya
merebahkan tubuh dalam waktu hampir bersamaan, terlihat kehabisan
tenaga.

Duabelas tahun usaha Jali mengumpulkan logam mulia berupa emas, demi
mimpi untuk memiliki usaha penginapan di tepi pantai dengan jendela
besar yang menghadap laut, hingga bisa menampakkan betapa erotisnya
air laut yang sedang bercumbu dengan angin. Kini telah 1,8 kg logam
mulia itu terkumpul dari hasil usaha kotoran ternak.
"Aku tak mengira omongan Urip kau nyatakan, sedangkan Urip sendiri
sampai sekarang masih sibuk dengan pembahasan sebab akibat dari
keberhasilan, yang dia sendiri tak pernah melakukannya" Kojin tertawa
ringan setengahnya memuji Jali. Matanya dari keduanya tertuju pada
tulisan di atas papan kotor yang duabelas tahun lalu menjadi awal
inspirasi Jali untuk menyetarakan kalimat tahi yang dibenci dengan
emas yang dipuja. Tulisan diatas kayu menggunakan sepidol warna hitam,
dan Jalipun juga masih ingat ketika Urip menulis, waktu itu Jali
sedang mabuk berat karena putus asa. Kini tulisan itu agak kabur.

JANGANKAN EMAS, TAHI SEKALIPUN BISA DiJADIKAN UNTUK MENDIRIKAN HOTEL.
TINGGAL KAU !!!

"Kini semua sudah terlalu dekat, tapi sayangnya Urip masih terlalu
jauh" ucap Kojin lirih karena kehabisan suara.

Musim Kabut

Berada di masa yang membingungkan dan sama sekali tidak memberi
pilihan. Rian harus mengahadapi masa puber diantara kecongkaan para
dewasa yang menjadikan dirinya sangat tertekan. Tapi bukankah lebih
baik jika menikmati saja arus kehidupan, sampai nanti waktu yang
ditunggu itu tiba, dimana cita-cita yang dipendam dan sering menganggu
tidurnya itu akan menyata.
Prinsip moralitas jelas sangat jauh, tapi inilah kenyataan yang terjadi.
Satu hal dari kalimat kaum dewasa yang tertanam dalam ingatan Rian,
bahwa sesungguhnya tidak pernah ada jalan pintas untuk kemenangan,
kecuali bagi kaum cerdas dan licik yang sejak awal kejadian telah
memulai dengan kecurangan. Lalu tunggu hingga dia mengetahui resiko
yang tak pernah masuk dalam perhitungan.

Bulan september seharusnya membawa angin barat yang dingin di malam
hari dan panas menyengat di siang hari, namun kemarau di sini justru
kabut asap dari lahan gambut yang terbakar lebih biasa menguasai
musim. Hanya ada sesak di nafas dan kabur mata memandang. Langit
seperti mendung tapi terlalu rata, setiap menjelang sore matahari akan
terlihat tidak menyilaukan lagi, bulat penuh seperti bulan dengan
warna yang oranye.

Hari berlalu tanpa hal yang istimewa, Rian berbagi tempat duduk dengan
Jali, keduanya sedang sibuk menyiapkan karung pengemas kotoran ternak.
Ini tahun ke duabelas jali menggeluti usaha pengelolaan pupuk organik.
Jali juga punya mimpi yang belum lagi bisa tergapai. Jali sangat
berharap waktu memberi kesempatan.

9.17.2012

Rian Belajar Memilih

Segerombolan laki-laki yang sibuk menampilkan kelemahan masing-masing,
walaupun mereka membungkus diri dengan kalimat yang seolah pintar dan
mengetahui.
Hanya itu yang mungkin Rian rasakan tentang Andika, Urip, Kai Didik
pun Beng. Tapi setidaknya mereka lebih disukai Rian ketika
dibandingkan dengan apa yang sedang terlihat di layar kaca. Berita
dengan menampilkan tayangan betapa brutal dan kerasnya demonstrasi
dari orang-orang yang tersinggung.
Setidaknya orang-orang tua menjengkelkan dan suka menggurui itu
sedikit lebih cerdas memilih topik perdebatan, daripada mereka yang
mudah marah ketika tersentuh agama, suku pun rasnya. Daripada golongan
yang mudah dihasut.
Setidaknya Kojin, Hadi, Urip dan semua yang ada didekat Rian melempar
kebencian yang lebih logis, bukan atas dasar keyakinan dalam beragama.
Setidaknya mereka membuat pilihan yang sedikit lebih bisa diharap
untuk memberi hasil yang enak didengar, walaupun itu sekedar omong
kosong.
Daripada mereka yang suka mengimpor masalah dan perselisihan dari luar
lalu menjadikan negri ini sebagai lahan pertempuran mereka.

Orang tua yang menjengkelkan, namun nafas mereka tetap pribumi,
kebencian satu dengan yang lain masih membawa senyum juga kesediaan
duduk bersama. Seperti semangat pribumi sebelum mengimpor budaya yang
tercampur aduk dengan agama.

Negri yang seharusnya sangatlah cukup takaran untuk pengertian kalimat
"toleransi dan menghargai" kini terlihat ngawur dan berantakan.

"Maafkan kami Ibu Pertiwi"

9.16.2012

Guru Wahab Membangkit


Ada perasaan kalah yang ingin ditepis Andika, baginya Urip tak lebih dari keparat yang telah mempermainkannya dengan kalimat-kalimat yang sok berpengetahuan. Tak jauh beda dengan Guru Wahab, beliau  terasa lebih menenggelamkannya dalam rasa malu yang makin dalam, seolah ada tantangan untuk membuktikan kecerdasannya atau justru dengan sengaja Guru Wahab meragukan kemampuannya.
Tetapi betapapun itu, Andika juga jujur telah melakukan kesalahan yang sangat mendasar.
“Bebaskanlah dirimu, lepas semua ikatan yang berasal dari pada luar dirimu sendiri. Untuk apa sesuatu itu kau pertahankan jika tak lagi memberimu kebebasan yang mendasar sebagai manusia merdeka tanpa terjajah” Guru Wahab mempersilahkan Andika untuk meminum kopinya yang makin dingin.
Sedang kekesalan belum lagi terselesaikan namun Guru Wahab telah memaksa Andika untuk segera membangkitkan karakter independen yang ada pada dirinya. Guru Wahab sengaja mengambil kesempatan dalam keterpurukan  Andika, Guru Wahab sangat mengetahui dimana titik yang bisa dijadikan kesempatan untuk membangunkan tidur si kemampuan dasar manusia.

9.15.2012

Andika Menemui Guru Wahab

Andika hanya memiliki dua kemungkinan yang bisa dijadikan pijakan
untuk memulai lagi dari awal. Wahab yang menjadi sumber pengetahuan
Urip atau menemui psikiater sebelum dia makin gila.
Dan Tuan Guru Wahab akhirnya menjadi pilihan di jumat malam itu,
Andika diterima duduk di ruang tamu Tuan Guru Wahab.
"Andika, cobalah untuk tidak terburu mempercayai yang engkau dengar.
Apa yang kau dengar itu kan sekedar kata orang, sedang jika sekedar
katanya itu belum tentu kebenarannya, bukankah kau orang yang
mempunyai kepintaran. Cobalah untuk berlaku seperti yang seharusnya,
seharusnya orang pintar"
Tersadar Andika, rupanya selama ini telah termakan ocehan kosong Urip
tetang ketentuan nasib yang belum tentu kebenarannya. Sebaliknya Wahab
justru hanya tertawa lebar melihat Andika.

"Mendengar belum tentu melihat, melihat belum tentu mengetahui,
mengetahui belum tentu percaya, percaya belum tentu mengimani,
mengimani belum tentu melakukan, melakukan belum tentu bisa merasakan"
Wahab tertawa lagi, memberi kesempatan Andika menelan kalimat mentah
yang selama ini jauh dari otak cerdasnya.
"Andika, sebenarnya kau sedikit saja selip, seharusnya pendidikanmu
telah mengajarkan yang namanya riset, tapi aku sadar betapa kau
kesusahan mencari rekan yang sepadan dengan cara pandang dan pola
pikirmu, di negri ini orang memang mudah mempercayai sesuatu yang
hanya didengar, tanpa bukti, baik itu dari media masa pun dari
lingkungan. Cobalah riset jangan kau artikan selalu menggunakan dana
yang besar, berat rasanya negara kita mau menerima permohonan dana
yang belum tentu manfaatnya bagi kepentingan negara, sedang yang sudah
tentu arah dan tujuannya saja belum tentu bisa mendapat dana. Dana
pribadilah yang paling mungkin untuk mendanai riset yang kau kehendaki
itu. Mengapa tidak kau biasakan hidup dengan seadanya, berilah contoh
untuk generasi mengenal apa itu riset, mulailah riset dari yang paling
sederhana dan kau anggap mampu melakukan, bukan pembicaraan atau
coretan diatas kertas melulu, jangan sampai terus-menerus terlahir
generasi yang besar omong kosongnya atau generasi yang mudah percaya,
sehingga mudah dihasut"
Wahab menyalakan rokok kreteknya lalu menghisap dalam-dalam. Sementara
di luar pun didalam udara terasa gerah, mungkin sama gerahnya dengan
perasaan Andika.
Wahab bukan baru sekali menghadapi orang buntu, sudah ribuan orang
dengan berbagai ragamnya, tentu beliau bisa membaca tamunya yang
sedang buntu akal.
Sangat sadar betapa Andika menyangkal apa yang baru saja disampaikan
karena gengsi, walaupun hatinya membenarkan atas lupanya, tapi itu tak
penting, Wahab tahu apa yang diucapkannya akan membekas dalam ingatan
Andika dan suatu ketika Andika akan menyadari apa yang baru
disampaikan, karena Andika bukan orang yang bodoh.

"sekedar contoh, ada suara tembakan dan kau juga melihat pelaku, lalu
sangkamu itu aksi kejahatan, mungkin perampokan, itu sangkamu.
Nah ini dangkalnya, kita tergesa mengambil kesimpulan sedang kita
belum mengetahui yang sebenarnya.
Andai ternyata tembakan tadi berasal dari pihak kepolisian yang
mengenakan pakaian non dinas dan sedang menyergap teroris bukankah
kita berarti telah salah. Maka baik selidiki dulu dengan benar.
Sama prinsipnya dengan riset, sebelum sesuatu itu kau jadikan
pernyataan tetap sebagai kebenaran, mengapa tidak kau masuki atau
ciptakan suatu kondisi yang bisa kau jadikan penelitian. Lalu kau akan
mendengar, melihat, mengetahui, percaya, mengimani, melakukan,
merasakan. Bukankah itu maksud dari pada riset. Membuktikan dari awal
segala sesuatu yang menjadi pandangan hasil olah pikir, sebelum
sesuatu itu dinyatakan sebagai laporan atas penemuan baru atau sekedar
membuktikan kebenaran, yang kemudian bisa dikembangkan demi
kepentingan manusia utamanya.

Rasanya mudah sekali untuk menjadi pintar dijaman modern ini, asal
kau punya duit tentu kau bisa bebas memilih perguruan, bahkan sampai
keluar negeri sekalipun dan aku dengar kau telah sampai disana. Kau
akan diajarkan banyak ilmu oleh guru-guru pintar, tapi sadarkah kau
tentang ilmu itu? Terbukti apa tidak?

Dulu Urip aku jadikan anak bukanlah untuk aku ajarkan kepintaran,
melainkan aku jadikan untuk bodoh. Dan kau tahu tak banyak orang yang
bersedia untuk bodoh.
Dengan bodoh, otak Urip akan kosong, dan aku sama sekali tidak
mengijinkan Urip untuk mengisi otaknya dengan sesuatu yang tidak
didengar, dilihat, diketahui Urip sendiri, sehingga Urip bisa percaya
dan mengimani, tentu setelah dia melakukan hingga merasakannya
sendiri. Bukankah Urip telah benar membuktikan. Bukankah itu esensi
riset"

Andika seperti dikuliti Guru Wahab, dia sadar betapa dia telah lalai
dan terlarut dalam pola hidup awam, hingga melupa bagaiman seharusnya
cara yang dilakukan oleh orang yang pernah mengenyam pendidikan
tinggi. Sangat sadar hingga tak lagi mampu mengembalikan kalimat dari
Guru Wahab.

9.13.2012

Datu Yana

Asap tipis mengepul meliuk menerobos dedaunan, seperti biasa di hutan
tropis akan banyak jenis tumbuhan pun hewan liar yang bisa diolah
untuk dijadikan makanan. Tapi Datuk Yana tak henti meluapkan
bahagianya dengan kesediaanku membawakan kopi dan gula yang sudah
hampir seminggu beliau kehabisan stok. Setidaknya cukup untuk tiga
bulan kedepan beliau tak perlu menuju kampung yang jaraknya cukup jauh
untuk mendapat kopi.
Ini hari kedua aku menjadi tamu beliau.
"Aku juga sama seperti umumnya manusia Rip. Hanya saja setua ini aku
masih perlu memahami, masih banyak hal yang aku ingin mengerti, tapi
jangan kau tanya untuk apa, karena jelas aku tak bisa menjawab.
Dua Syeikh besar yang aku kagumi dan aku bawa kitab dari keduanya itu
masuk didalam hutan ini agar aku bisa lebih tenang memahami. Ini kau
sudah tahu Ihya' Ulumuddin dan kau tahu ini maha karya syeikh Abu
Hamid Al-Ghazali Rahimakumullah dan yang ini kitab Ta'riful Ahya'bi
Fadla-il Ihya' buah karya Syeikh Abdul Qadir Al-Aidrus Rahimakumullah"
Datuk Yana menghentikan kalimat dan menikmati kopi hangatnya.
"Urip sebutkan satu saja hal yang kau anggap benar" pertanyaan
sederhana tapi tiba-tiba aku kesulitan mencari jawaban.
"Matahari telah benar selalu terbit dari timur" jawabku walaupun tiba-
tiba aku tak begitu yakin.
"Kenapa kau ragu, sedang kau meyakini hal yang selama ini kau anggap
benar" Datuk Yana Tersenyum, jelas mendangkalkan, tapi lembut kasih
sayangnya menyusup mengalir keseluruh damaiku. Ini satu hal yang aku
kagumi dari Datuk Yana, beliau selalu sabar dan kasih sayang.
"Andaikan sewaktu awal adanya kamu di beri nama Simin maka semua orang
akan memanggilmu Simin, aku akan disalahkan jika memanggilmu dengan
nama Urip. Pun demikian andai tempat terbit matahari di beri nama
barat pada awalnya dan disepakati kebanyakan orang waktu itu, maka kau
akan disalahkan jika menyebut matahari terbit dari timur.
Benar hanya kesepakatan manusia, tapi benar yang sesungguhnya seperti apa?"
Datuk Yana menyalakan rokok.
"bukankah ini berarti benar itu adalah kesepakatan, maka jangan heran
jika kau akan disalahkan kebanyakan orang jika berlaku ingin menjadi
terbaik, bukankah kau pernah menyatakan bahwa orang yang menang akan
melakukan apa-apa yang orang lain tidak lakukan. Bukankah jika kau
ingin menang berarti siap disalahkan kebanyakan orang, bukankah
perbuatanmu berarti perbuatan pemenang, bukankah pemenang bukan umum,
pemenang hanya satu. Bisakah menang hanya dibayar dengan yang biasa
alias umum. Kau akan membayar dengan yang tidak umum, tidak masuk
dalam kesepakatan, itu berarti disalahkan.

Aku lebih memilih melakukan hal yang di anggap salah, dengan salah aku
akan tahu apa itu hasilnya, yang aku rasakan sendiri. Sedang hasil
dari perbuatan itu bukan dusta. Contohnya jika aku memukul cangkir
lalu apa hasilnya, nah hasilnya itu yang benar, apapun itu, bisa bunyi
atau pecah, tak penting penyebutannya, tapi itu benar dan kau bisa
dengarkan dan kau bisa lihat sendiri.

Sedang jika aku merasa yakin dan benar terhadap yang aku lakukan
bukankah berarti aku larut dalam kehidupan yang kebanyakan. Bukankah
kebanyakan orang selalu merasa yakin dan merasa benar. Itu jika aku
rujuk pada benar ternyata hanya kesepakatan bukankah itu berarti belum
tentu benar"

Lagi-lagi senyum tipis Datuk Yana menghiasi wajah tua beliau.

Yang Tersisa

Terbersit sedikit penyesalan telah mereduksi apa yang pernah Urip
sampaikan. Berharap ada kesempatan kedua, tapi tak mudah untuk
menemukan Urip. Selain Urip hampir tidak pernah membawa selular juga
terdengar kabar jika Urip masuk ke hutan menemui Datu Yana yang tak
jelas posisinya. Di hutan mana, sedang perangkat tekhnologi yang
dimiliki hanya mampu melacak sinyal. Sedang urip pergi tanpa alat
komunikasi yang memiliki sinyal.
Mentah dan Urip, dua hal yang sekarang berkuasa, sedang apapun yang
dilakukan Andika terasa hampa.

"Lima, lima, lima..., lima luka Kristus, tapi benarkah ini
berhubungan?" dalam hati Kojin, meraba kemungkinan terkait dengan lima
penggal dari kunci rahasia nasib yang tadi malam disebut-sebut Beng.
Kebuntuan yang akhirnya membawa kojin kembali pada Mahkota Mawar.
"Bunda Maria..."sebut Kojin dalam hati demi ratu dari semua devosi,
sedang matanya tertuju pada lima manik penghubung yang berujungkan
salip.

"Lima Perkara yang menjadi rukun dalam ajaran Islam, ya rukun Islam"
Hadi tidak yakin itu terkait dengan pembicaraan yang tadi malam.
"Jali... , dia benar tahu atau olkohol yang membuatnya sok tahu?"
Hadi melipat sajadah dan bangkit, sedang otaknya masih meraba-raba.
Sambil melangkah keluar dari surau Hadi berusaha melupa.
"Tombo ati iku limo sak wernane...
Moco Al-Qur'an angen-angen sak manane..
Kaping pindho sholat wengi lakonono..
Kaping..." Hadi menghentikan tembang, dan ingatannya menerawang jauh
pada seorang Kyai di tanah Jawa.

Malam yang buruk tentu akan menyisakan hal buruk, namun bagi Beng dan
Didik justru itu menjadi harapan demi jelas. Keduanya siang itu
berangkat mencari Urip. Mengandalkan insting Kai Didik juga Kemampuan
Beng melacak.

9.12.2012

Pagi Tiba

Pagi tetap memaksa untuk meninggalkan malam. Bunga teratai warna putih
mekar menyambut matahari pagi yang baru terbit, menggantikan tugas
sang gelap yang baru usai, demi mencatat apa-apa yang telah dilakukan
segenap kehidupan malam, yang akan dipertanggung jawabkan di hari
kemudian, di hari akhir seperti yang telah dijanjikan.

Burung-burung mengambil peran dengan kicaunya tada melupa apa-apa yang
telah terlalui pada hari sebelumnya dan telah dihapus oleh malam
sebagai ketetapan istirahat.
Datangnya pagi, demi yang dibentangkan alam, menyusun, memilih,
menentukan kemungkinan dari setiap peluang, tentang harapan, tentang
bagaimana seharusnya benderangnya siang bisa mencukupkan atas
penghidupan.

Kelelahan dan kantuk masih. Tak terlalu diburu, toh sekolah masuk
siang. Seperti biasa bayangan Mita selalu menyergap lebih awal, Mita,
entah mengapa selalu dia, tak pernah bosan dan selalu ingin sesuatu
tentangnya. Yang Rian tahu hanya segenap materi yang ada didunia ini
terasa masih kurang untuk mengungkapkan ekspresi citanya.

Lain hal dengan Jali yang masih mendengkur terselimut pekat dosa,
terlihat buruk jauh dari contoh prilaku hidup mapan, hampir tak
menunjukan harapan. Tapi setidaknya bagi Rian Jalilah orang dewasa
yang cukup memberi rasa aman.
Jali satu-satunya pria dewasa yang Rian kenal paling mengenakkan,
walau mulutnya kadang bau alkohol tapi Jali paling bisa membuatnya
tertawa dan selalu bicara mudah dimengerti. Jali selalu menghibur.
Terkadang dari setengah perasaan Rian bertanya, Jali berlaku sebagai
sosok pendosa atau sosok lapang dada. Kadang disebagian doa Rian
terselip harap agar Jali bisa mendapat Syurga dan ada rasa tak tega
jika dia menerima api neraka.
Beda dengan dewasa pintar lainnya, dari dewasa yang lain Rian justru
sering mendapat sumpah dan ceramah yang sangat sulit dimengerti.
Bagi Rian mereka yang pintar lebih terlihat seperti orang mabuk,
sedang mereka mengharamkan alkohol.

Pagi yang berat untuk memulai aktivitas, Rian berharap Andika juga
masih mendengkur, jika dia bangun semoga dia masih malas.
"Selular jangan berdering, jangan berdering, jangan!..." Doa Rian
dalam hati dan tak lebih.

9.11.2012

Mentahkan Teori

Hanya menyisakan arak sebagai pilihan terakhir untuk Jali dan harus
diambil peluang itu, jika dia tidak mau otaknya putus mendengar
tekanan Andika. Sedang kai Didik dan Beng hanya bungkam dibantai
Andika dengan kalimat yang makin sulit dicerna.
Rian, Kojin juga Hadi tetap pada posisi dan tak terpengaruh. Atau
mungkin tidak mau mendengar, atau justru tidak mengerti apa yang
dibicarakan. Hanya saja sayup terdengar jari mulut kojin "kau abaikan
Roh Kudus yang menginsafkan dunia akan dosa, kebenaran dan
penghakiman" dan Hadi tak kalah menyambutnya "Subhanallah"

" Apa yang kau benci Dika?..., mengapa kalimatmu hanya berisi
hujat?..., aku heran..., mengapa dunia yang begitu luas justru
menjadikanmu seperti ada didalam penjara..." Jali rupanya sudah mabuk.
Beng tersenyum mendapat sokongan Jali, setidaknya cukup untuk sedikit
melemahkan kegilaan Andika yang tak terbendung. Memanfaatkan kalimat
Andika yang di putus oleh Jali, Beng segera mengambil peluang.
"Urip, pernahkah kau mengira kunci itu ada empat penggal, sedang
yang sesungguhnya lima.
Teori yang kau sampaikan bagus, tapi itu tak lebih dari kulit saja,
kau mengabaikan teori potensi energi reaktif pun yang fakum dari
massa, pun itu sebenarnya pernah disampaikan oleh Urip jua. Sedang
penggalan paling dasar justru ada ditangan perempuan yang dipuja Urip
itu. Lalu dua lainnya dimana? Berisi apa?"
Andika terkejut dan pucat mendengar, menjadi pahit ludah, senyum yang
dilempar justru lebih menunjukkan betapa Beng telah dengan mudah
mementahkan teori yang telah diusungnya itu.

Dengan patahnya Andika justru menyisakan pandangan mata saling curiga
diantara yang turun di pertemuan itu.
"kemungkinan yang dua itu ada disini, tapi setahuku bukan ada pada
kita yang ada di ruang ini..." ucap Jali yang justru menambah ruwet.

9.10.2012

Pertemuan

Disisi sebelah kanan ruang yang sedikit gelap Kojin duduk dengan kedua
telapak tangan menyatu dan rosario terselip diantaranya. Bersebelahan
dengan Hadi dengan posisi duduk yang hampir sama. Terdengar lirih dari
mulut Kojin yang Katolik itu suara mendaras doa Salam Maria. Kojin
menikmati seni doanya yang dianggap paling efektif untuk memahami
kehidupan yang sejati bagi yang masih memiliki iman.
Pun Hadi, dia sibuk memutar tasbih kayu cendana, sedang dari mulutnya
terdengar dzikir lirih.
Sedang Rian sibocah ingusan hanya bengong tak tahu apa yang harus
diperbuat, dia sama sekali tak memahami pembicaraan.

"Seharusnya Urip ada" Jali mencoba merilis kemungkinan yang bisa
membatalkan diskusi yang tampak kusut baginya. Sedang bagi Andika ini
merupakan kesempatan terbaik untuk membenturkan apa yang ditulis dalam
kitab kuno dengan logika modern, setidaknya menurut dia.
"Tuhan hanya mekanisme sebab akibat yang bisa dihitung dari bentuk
susunan kemungkinan variabel objek dalam kaitan sebelum akibat,
termasuk kemungkinan sebelum sebab. Setiap akibat bisa dihitung
menggunakan regresi linier. Dulu Urip pernah mengusung teori yang
dibuatnya berdasarkan analisa tentang sebuah kejadian, lalu urip
mengusulkan perhitungan dari potensi variabel linier dari beberapa
objek yang dijadikannya observasi, dia juga memasukan prilaku dan
perbuatan manusia dengan melibatkan kemungkinan pola otak kiri dan
kanan. Semua perhitungan dari abjek lalu di akumulasikannya dengan
ruang dan waktu.
Tapi sayangnya setelah itu dia sibuk dengan cintanya terhadap
perempuan yang ada di Belanda. Urip sayangnya terlalu gila. Terlalu
gila untuk mengharap keramahan cinta yang tak mungkin. Dan berbuntut
pada semua keberanian yang dimilikinya justru berbalik menjadi
ketakutan. Takut untuk membuktikan teori yang dia susun sendiri, itu
konyol, untuk apa teori tanpa bukti" Andika menghentikan kalimat namun
sebelum yang lain bersuara dia telah mendahului dengan membeberkan
catatannya yang berisi rumus dan teori, Andika segera mempresentasikan
kepada yang hadir di pertemuan itu.

Jali tampak seperti keju lumer mendengar apa yang disampaikan Andika.
Dia berharap Urip muncul untuk kemungkinan baru, namun tidak.

Rupanya Hadi yang pendiam itu mulai terangsang, tapi sebelum kalimat
keluar dari mulutnya Kojin telah mendahului dengan menyentuh tangan
Hadi. Hadi tanggap dan segera menelan kembali kalimat.

9.08.2012

Pertemuan

"Bagaimana mungkin? Ini tak lebih dari mempercayai omong kosong,
nyata Tuhan tak pernah mendengar, mungkin juga Tuhan diada-ada. Tuhan
hanya alasan untuk mereka yang menyerah dan tidak mampu" Andika
memotong diskusi yang makin mengerucut, dua jam lebih pembicaraan
mencari kebenaran yang tak pernah ada yang benarnya. Tentang ketentuan
nasib.
"Kau suatu ketika akan belajar memahami apa itu hal terakhir yang
harus dipelajari dalam hidup dan apa yang kau ukur akan diukurkan
padamu" sahut Beng.
"Apa itu berarti aku mengukur Tuhan dan ukuran itu akan diukurkan
padaku?" Andika mulai memantulkan pertanyaan yang berarti siap akan
segala kemungkinan, tapi yang jelas akan keruh, sedang Beng hanya
tersenyum tipis, mempersilahkan Andika mendiskripsi sendiri. Kai Didik
tak jauh beda dengan Jali, keduanya mengabaikan kitab ditangan yang
sedang mereka bedah, ditutup kitab, dan menyisakan rasa tertelan liur
masam.
Adu kapasitas logika dan kecermatan sepertinya akan menjadi pilihan,
ini berarti sampai akal mereka tak waras lagi.

9.07.2012

Rian Terobati

"Benarkah yang dikatakan om Andika jika cinta hanya dorongan biologis
semata?" Rian mulai ragu dengan keyakinannya sendiri.
Sedang yang ditanya justru membalas dengan tertawa, Kojin geli
mendengar pertanyaan Rian. Bagaimana tidak, rasanya terlalu dini jika
Rian harus mendapat jawaban yang sudah pasti dilogikakan oleh Andika.
"Kau pasti sepakat jika aku sebut mereka-mereka itu tak lebih dari
segerombolan orang gila" Kojin menghentikan pekerjaan dan berusaha
menenangkan belia yang sedang berdiri dengan segumpal pertanyaan itu.
"Kau sebut apa warna ini?" tanya Kojin sambil mengangkat tube cat
minyak yang merupakan komponen dari finishing pembuatan kerajinan
patung yang telah lebih dari 10 tahun ditekuni.
"Merah" pertanyaan yang mudah dijawab Rian.
"Benar, ini merah menurutmu dan jika salah sebutpun negara tidak akan
memberi hukuman atas kesalahan dalam penyebutanmu tadi.
Sedang bagiku ini disebut dengan vermillion red, komposisi dari warna
merah primer dengan ditambahkan sedikit warna kuning tak lebih dari
sepuluh persen agar lebih segar dilihat mata, lalu yang ini english
blue, dan ini yellowis green. Aku mengetahui banyak jenis warna karena
aku profesional. Sama seperti Andika, dia memang selalu logika dan itu
jalan hidupnya.
Nah jawabnya kita bukan orang yang mengagungkan logika, kita masih
memiliki perasaan dan cinta tidak menuntut profesional, kecuali kita
gigolo" Kojin tertawa sambil menepuk bahu kiri Rian.
"Aku sama sepertimu, bisa linglung jika cinta bertengger dihati, aku
tak memahami perasaan dan apa yang dipikirkan perempuan.
Cinta bagiku anugerah ajaib.
Rian..., aku tak bisa memberi jawaban lebih, yang aku tahu kekasihmu
pastilah dia cantik" Kojin menarik nafas panjang lalu melepaskan semua
dengan lapang.
"Berikan ini padanya, tak perlu ada kalimat untuk dia, senyum sudah
cukup, mungkin dia akan tahu betapa cintamu padanya, dia mungkin akan
mengingatmu, mungkin juga dengan ini kau bisa memulai pembicaraan yang
lebih nyaman" Kojin mengulurkan patung kayu bocah laki-laki seukuran
tinngi jengkal dewasa.

Desa Luk Baintan terlihat bersahaja, tanah yang bagus diantara rawa
dan sungai, mengundang pertemuan dari bermacam kepentingan, mungkin
itu yang menjadi alasan sehingga ada pasar terapung yang menjadi aset
desa, tepat berkumpulnya pedagang diatas jukung-jukung kecil mereka
yang membawa aneka pangan olahan pun mentah, sayuran, juga bermacam
buah-buahan dari kebun-kebun mereka.
Sedamai desa tempat tinggal Kojin sedamai kelegaan Rian, setidaknya
ada sedikit solusi untuk Cintanya terhadap Mita, bukan ceramah melulu.
Sementara matanya memandang patung kayu yang ada ditangan kiri
pemberian Kojin namun angannya justru jauh memuja Mita.

Bagi Kojin apa yang sedang dialami Rian bukanlah hasil rancangan besar
alam, melainkan tak lebih dari tradisi yang mewakili warna gairah
kehidupan.

9.06.2012

Kai Didik

"Kehidupan muda mengingatkan pada masa yang telah lalu. Biarkan orang
tua sepertiku, Andika, Urip, Jali, Beng atau semua yang kau anggap
salah cukup menjadi cermin, jika mereka gelap setidaknya kisah mereka
bisa kau jadikan penerang perjalanan hidupmu kelak. Kau akan tahu
bahwa laki-laki telah ditakdirkan sebagai pencari dan kemudian dibawa
pulang untuk diberikan, sedang perempuan telah ditakdirkan untuk
merawat juga mengembangkan" ucap kai Didik dalam hati, melihat Andika
bersama Rian semakin menjauh dari pandangannya.

Manusia boleh membuka rahasia yang ada di bumi hingga langit dan
bintang sekalipun, tapi ada beberapa hal yang baik tetap dibiarkan
menjadi rahasia kehidupan. Jika yang rahasia itu engkau temukan, maka
baik cukup engkau saja yang mengetahui.

9.04.2012

Gerutu Rian

Bukan soal baik buruk, tapi mengapa malah kegelisahan yang ada ketika
Mita memenuhi ruang hati. Bagi Rian baik itu Jali, Andika, Urip pun
Didik yang sudah kakek dan bau tanah itu tak lebih dari sekumpulan
orang gila yang selalu mengumbar khotbah dan sok tahu. Yang Rian tahu
dan rasakan hanya tak semenitpun bayangan Mita bisa beranjak dari
ingatan, terlalu banyak ingatan tentang Mita, setidaknya senyum indah
yang pernah dialamatkan padanya di sore itu atau begitu sempurnanya
tubuh Mita yang dibungkus kain warna merah solid.
Mita bagi Rian adalah tempat membubungkan mimpi tentang esok, saat
langit menjadi cerah dan semesta tersenyum menyaksikan.

"Hai!, apa yang kau pikirkan pemalas" Andika meneriaki Rian dengan
keras, membuyarkan angannya.
Semua drum sudah terisi solar dengan penuh. Mereka harus bergegas
menjauh dari tongkang jika tidak ingin berurusan dengan PolAirud yang
mungkin melihat mereka saat berpatroli, karena solar yang mereka
langsir merupakan solar bersubsidi.

Rian terlihat cekatan dan sangat trampil melakukan apa yang diminta
Andika, walau dengan hati yang setengah menyumpah.
"Kalau mereka memang orang yang pintar dan mengetahui tentu akan
menyelesaikan, bukan justru berkhotbah" keluh Rian dalam hati,
terngiang ucapan Andika juga kai Didik yang telah menceramahinya.

Terasa ada benarnya, khotbah tak lebih dari kemampuan diucapan, dan
sering lemah di pembuktian. Orang-orang yang melakukan akan sibuk
melakukan dan tak punya waktu untuk menyampaikan kecuali telah selesai
dengan apa yang dilakukan.

9.03.2012

Kai Didik

"Nasib bukan keberuntungan yang didapat dari undian, orang-orang yang
menang setidaknya telah melakukan sesuatu yang orang lain tidak
lakukan. Andika bukanlah orang cerdas, dia orang yang membenci
kebodohannya sendiri. Segala identitas yang ditampakkannya justru
berbuah terbalik.
Tak jauh beda dengan urip yang sibuk berkalimat, sedang kehidupannya
tak menunjukkan orang yang benar-benar faham tentang kehidupan, hidup
tidak bisa hanya mengandalkan hati dan perasaan.
Aku tidak pernah tahu bagaimana Urip bisa bertahan hidup" Didik
menghentikan kalimat, sambil mengusap rambutnya yang keriting, sorot
tajam mata tua mengarah pada segerombolan anak buahnya yang sedang
asyik judi dengan kartu domino. Didik dulu kapten dari kapal kargo
besar Surya Sakti yang telah mengantarkannya pada perjalanan hampir
mengelilingi seluruh samudra, dan di usianya yang sudah kepala enam
dia memilih untuk menjalankan tugboat penarik tongkang minyak dengan
tujuan pengiriman tak terlalu jauh lagi.
"Tidak bisa kau menggunakan hati saja, atau perasaan saja, atau
pikiran saja, atau..., apa saja secara terpisah. Jalani hidupmu, nanti
pengalaman akan mengajarkan banyak hal. Hati, perasaan, pikir, akal,
juga tubuhmu akan berlaku secara simultan. Cinta bagi semua usia
adalah gairah yang paling memberi kesan, jangan takut melalui
romantisnya walaupun itu sakit.
Rian, matamu menyimpan api asmara, aku sewaktu seusiamu dulu juga
memiliki hal yang sama, mungkin semua orang sama.
Kita orang Indonesia, jangan kita ikuti psikologis dan idealis barat
yang berpegang pada teori-teori ilmiah, cukup Andika yang seperti itu
dan kau jangan.
Urip bukan juga cermin yang baik"
Didik tersenyum dan berlalu meninggalkan Rian, sedang Rian membalas
dengan senyum antara ragu dan ketidak mengertian.

Gelombang kecil terasa mengayun, burung camar yang terbang memberi
aroma khasnya tentang nafas kehidupan air.

Andika

Andika menurut kabar semasa muda sangatlah cerdas, tidak setahunpun
yang lepas dari peringkat satu nilai yang dicapai dalam pendidikannya.
Dia alumnus fakultas kependidikan kimia Sunan Ampel Surabaya, kemudian
kecermelangan otak yang dimiliki mengantarkannya ke Jerman dengan bea
siswa penuh. Setelah menyelesaikan jenjang S2 di tahun 1999 diapun
sempat bekerja disana. Namun semua yang dirintis jadi berantakan
ketika dia terlibat asmara dengan perempuan Indonesia yang juga
menyelesaikan pendidikan disana. Tapi entah, tak seorangpun mengetahui
dengan jelas kebenaran kisah itu dan Andikapun juga menutup
rapat-rapat. Yang jelas di tahun 2002 Andika kembali ke kampung
halaman di kota Banjarmasin tempat kini dia tinggal. Kabar yang
terdengar perempuan itu kini telah menikah dengan pria lain dan
memiliki seorang putra.

Hidup di lingkungan yang bukan komunitas kompeten sangat membuatnya
tertekan. Segala pengetahuan yang didapat hanya menjadi pajangan
bersama kenangan masa lalunya, walaupun dia bisa menyalurkan ilmu yang
dimiliki kepada mahasiswa ditempat dia mengajar akan tetapi Andika
tetap merasa ada yang kurang. Idealis lebih menguasai otak, namun
tidak ada rekan komunikasi yang mampu mengimbangi kegilaannya.

Kini dia sangat nekat, kenyataan ekonomi merupakan dorongan utama atas
kenekatannya. Berbisnis solar ilegal menjadi pilihan. Tak peduli itu
minyak subsidi, tetap dia setor ke perusahaan tambang batu bara atau
pabrik pengolahan sawit dengan sembunyi-sembunyi menghindari aparat.

Memang ironis, sementara dia sering menceritakan betapa lahan
perkebunan sawit hanya menyisakan kemiskinan pada penduduk di sekitar
lahan yang tanahnya telah diambil perusahaan sawit. Betapa penduduk
hanya bengong melihat alam tempat dia hidup telah dikuasai dan
dijadikan pemasok kekayaan orang-orang yang sudah sangat kelewat kaya.
Betapa lahan sawit merusak ekosistem.
Kenyataannya kini Andika justru menjadi pendukung pengrusakan kearifan
alam itu, demi mendapat kemakmuran. Andika merasa terlalu miskin
dengan gaji yang diterima. Dan bisnis ilegal menjadi pilihan.

"orang-orang kaya itu bodoh, nasib saja kebetulan berpihak" Andika
berteriak, frustasi.

9.01.2012

Cinta


“Cinta tak lebih dari sekedar kesiapan reproduksi alami, Mita pacarmu itu secara alami mengeluarkan kimia feromon yang membuatmu mabuk kepayang. Aku tidak menyalahkan karena kau memang ada di saat yang masih sangat takjub mendapati sensasi kimia feromon  tipis lembut yang terkeluar dan menyebar dari tubuh Mita, kimia yang berasal dari kelenjar endokrin , aroma tak terkategori sebagai aroma wajar, yang memikat seksual, hebohnya aroma itu bisa membuatmu limbung dan lupa dartan hingga otak kananmu  menuntut untuk selalu mendapatkan aroma itu kembali, akibatnya otak kiri jadi sama sekali terabai.  Mita adalah perempuan yang siap dibuahi secara alami, Mita mengundang pria untuk datang membuahi, repotnya Mita maupun kau sama-sama tidak memahami apa yang yang sebenarnya terjadi, kemudian kau asumsikan sebagai cinta.
Jangankan kamu, Urip yang seharusnya sudah terlalu dewasa untuk itu saja dia masih harus kehilangan akal waras ketika mendapati perempuan yang memikatnya ”
Andika mencoba menjelaskan cinta yang sedang melanda Rian di usianya yang masih belasan. Namun bagi Rian terlalu naïf jika cinta sekedar diasumsikan sebagai rangsangan seksual, penyampaian Andika dianggapnya kebohongan yang dicari-cari.
“Tapi bagaimana mungkin om.., jika itu hanya aroma feromon mengapa Urip bisa terpikat oleh perempuan yang aku dengar jarak jauhnya ribuan kilometer? Apa sebegitu tajam penciuman Urip” sanggah Rian.
“Urip orangnya tak begitu pintar dan lemah, dia hanya terhipnotis kalimat dari selembar surat yang ada di tangannya. Dia sok tahu, padahal dia sendiri tidak memahami apa-apa yang diucapkannya. Urip hanya sedikit lebih cerdas dari simpanse” Andika terbahak sambil menepuk punggung Rian dengan keras hingga Rian terhuyung.

Matahari sudah diatas kepala dan semua peralatan telah siap, drum-drum minyak telah tertutup terpal dengan rapi, segera Andika melepas tambat jukung (perahu) miliknya dan segera menghidupkan mesin, keduanya berencana melangsir solar dari tongkang minyak yang biasa menjadi partner dalam menjalankan bisnis gelap penopang kesejahteraan mereka selama ini.
"Urip orangnya gila, dia tak lebih dari faham mistik belaka, bagaimana mungkin perempuan yang cerdas terpikat olehnya, Urip hanya bercumbu dengan angan-angannya sendiri, perempuan itu tidak pernah mencintainya" dengan berteriak Andika terus mengisahkan tentang Urip, suarannya timbul tenggelam diantara kerasnya suara diesel jukung yang mereka berdua naiki.

Mengambil Gambar

Aku sempatkan mengambil gambar sederhana  pagi tadi. Sekedar rumput yang tumbuh di pinggir jalan. Aku gunakan lensa canon 55 - 250mm pula ap...