Semua mata memandang dengan tatapan yang terasa tidak mengenakkan perasaan, entah apa yang ada di benak orang-orang kampung sehingga begitu kuat mata mereka berkalimat, tampak ekspresi menghujat, seolah menolak kehadiran Arya. Sedang Dewi tetap melangkah tak menunjukkan ada hirau sama sekali.
Terlalu cepat dari samping sebelah kanan Arya, kedatangan seorang pria dengan sebilah mandao ditangan yang terlihat tajam dan berkilau. Sontak Arya terkejut dan tak sempat bereaksi mendapati kejadian mendadak secepat itu, padahal sangat jelas terlihat mandao itu diarahkan kepadanya. Terpaku Arya mendapat kejutan yang tak terduga sama sekali. Tetapi Dewi rupanya lebih cepat dengan mendahului menghadang sabetan dan sengaja menjadikan dirinya sebagai perisai untuk melindungi Arya. Pun pria tadi menjadi terhenti langkah begitu mendapati Dewi telah didepannya dan tepat beradu muka.
“Mengapa kau bawa dia masuk kampung , sedang kau tahu manusia yang selalu dikuasai oleh pikiran akan membawa kehancuran dimanapun dia berpijak, dan telah di-nas-kan semenjak dia dicipta. Bukankah kau tahu jika manusia tak akan pernah terpuaskan keinginannya, bukankah peradaban mereka telah mengorbankan alam terlalu banyak, bahkan darah sesama mereka juga tak luput untuk dikorbankan. Mereka terlalu sombong dengan peradaban yang telah mereka ciptakan, mereka selalu merasa benar, mereka selalu merasa lebih tinggi, yang pada akhirnya menganggap yang lain rendah dan pada penghabisannya menganggap yang lain adalah sesuatu yang bisa dikorbankan demi kepuasan mereka, demi kelompok mereka. Lalu mereka mengumbar kebohongannya dengan mengatakan untuk perdamaian, untuk kebaikan, untuk kelestarian alam. Lalu mengabaikan mekanisme alam yang telah diciptakan dengan seimbang, dengan hitungan yang telah alam tetapkan. Mereka hanya mengagungkan kecerdasan logika dan melupakan hati nurani demi ambisi” ucap pria itu
“Kau terlalu banyak bicara. Aku tahu yang aku lakukan dan siapa yang aku bawa. Menyingkirlah sebelum aku berubah pikiran” sahut Dewi.
Walau mata pria itu masih tajam menatap Dewi, akan tetapi ekspresi Dewi rupanya cukup untuk membuat pria itu berfikir sebelum bertindak lebih jauh lagi. Memang terlihat gerakan Dewi lebih cepat dan impresif, mungkin itulah yang menyurutkan tindakannya.
“Aku mencium aroma cinta yang masih erat mencengkeram di perasaannya, yang tak bisa disembunyikan. Kau melanggar aturan yang telah ditentukan dengan membawanya kemari” pria itu mencoba menyampaikan keberatannya.
Dewi tak menjawab lagi, melainkan tangan Dewi semakin mencengkeram leher pria itu sambil tersenyum, tanda cukup pembicaraan. Tampak sangat terpaksa pria itu harus menurunkan mandao dan segera surut kebelakang setelah Dewi melonggarkan cengkeraman tangannya di leher pria itu .
Detak jantung Arya masih belum lagi stabil selepas pria itu berlalu. Sedang wajah Dewi berubah menjadi tak bersahabat lagi, matanya tajam melihat kearah orang-orang yang sedari tadi menyaksikan adegan drama pendek yang mencekam. Rupanya orang-orang mulai tersadar jika sekarang sudah bukan tontonan yang menyenangkan lagi untuk dilihat, dan mereka segera mengalihkan pandang begitu melihat mata Dewi yang masih menyiratkan amarah, seolah hendak melumat yang ada.
Arya dan Dewi melanjutkan langkah, akan tetapi Arya masih terbawa suasana, setidaknya ada ketidak nyamanan yang masih tersisa. Menjadi timbul pertanyaan dari pembicaraan yang baru terjadi tadi. Mungkinkah mereka bukan manusia, sedang yang terlihat oleh Arya nyata sekali wujud mereka manusia.
”Rupanya kau masih menyimpan Kemala di hatimu, mengapa kau tak perintahkan aku untuk mendapatkan yang kau cintai. Bukankah cinta seharusnya berasama, lalu mengisi waktu untuk kemudian berbagi ruang agar bisa memadu perasaan dengan tatapan mata dari keduanya, agar terwakili berjuta kalimat yang tersimpan dan tak mampu terucap. Bukankah seharusnya cita-cita bahagia yang dibawa oleh cinta dari anak cucu Adam”
Dewi tak melanjutkan kalimat, malah tangannya membungkam Arya yang hendak menyahuti kalimat darinya. segera tampak Dewi memejamkan mata rapat-rapat seolah berusaha mendengarkan sesuatu dengan segenap indra. Rupanya Dewi merasa ada yang tidak wajar dengan sekelilingnya. Sedang Arya tak tahu apa yang harus diperbuat, serasa semua bukanlah ranahnya.
“Sudah waktunya kau menggunakan kemampuan yang telah diajarkan oleh Tuan Guru Wahab dan Datuk Yana. Gunakan insting” bisik Dewi sambil mencari dari mana kemungkinan itu bakal terjadi. Suasana terasa buruk, Arya hanya merasakan desir angin dan masih bingung bersikap. Pergantian peran begitu drastis, memaksa Arya untuk masuk pada kondisi yang sangat sulit disikapi. Tetapi mau atau tidak itulah yang sedang terjadi dan harus dihadapi.
Tidak ada teori, perasaan tidak diperlukan, apalagi keyakinan. Kebijaksanaan hanya akan menjadi bahan tertawaan. Hanya insting dan mental pun pengindraan terhadap medan yang bisa diandalkan. Arya sadar ini kenyataan bukan skenario yang bisa disusun dengan renungan. Melainkan gerak bebas tanpa keteraturan yang bakal mengajarkan banyak hal dan akan menjadi cerita dikemudian hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar