“Manusia selalu mengharap syurga firdaus, dan kau manusia telah mendapatkan bidadari yang engkau nantikan pun engkau perempuan telah menjadi bidadari seperti yang dijanjikan, maka tenggelamlah dalam lautan ketenangan yang abadi, menikmati bahagia yang tiada tara” kalimat dari tetua untuk menutup mantra.
Keduanya benar-benar terkena mantra ilusi yang ditebar oleh tetua, tetua rupanya tahu kelemahan dari keduanya yang terletak pada sisi emosi, tergambar dengan jelas di wajah Arya kerinduan yang dalam terhadap Kemala, pun Dewi sangat jelas terlalu setia pada Arya, dan kelemahan itu yang digunakan tetua untuk melempar keduanya kealam damai yang membius. Tak ada lagi harapan yang seharusnya menjadi dasar eksistensi manusia, hanya larut dalam kesediaan cumbu.
Namun ada sisi nurani yang seharusnya juga dikuasainya oleh tetua adat. Sisi yang lembut akan tetapi mengetahui golongan yang bisa dilakukan atau tidak, yang sering berbisik sebelum adanya keputusan.
Ketika suara tetes peluh yang jatuh terdengar , Arya tergugah dan terkejut mendapati dirinya telah jauh, pun Dewi tak kalah terkejut dan cepat-cepat mengenakan pakaian dengan wajah yang memerah.
Ranjang besar berukir, meja penuh makanan dan minuman lezat dan semua keindahan tiba-tiba sirna, perlahan menjadi kabut warna hitam. Arya sadar ini merupakan buah dari kekurang waspadaanya.
Sisi gelap yang bercokol menjadi pilihan. Arya harus tega memberi pelajaran kepada tetua jika dia tidak mau dipermainkan lagi. Tak perlu menghindar adalah jawaban terbaik.
“Mantra hanya susunan kalimat dari bibir penebar, dalam wujud suara yang terdengar, bukanlah nyata.
Sedang mendengar belum tentu melihat, melihat belum tentu mengetahui, mengetahui belum tentu percaya, percaya belum tentu mengimani, mengimani belum tentu melakukan, melakukan belum tentu bisa merasakan”
Arya menutup kalimat dengan hembusan nafas yang panjang. Rupanya kalimat disertai teluh.
Seketika tetua panik, seolah gerak tubuhnya ada yang menahan, dan makin terkejut ketika tersadar ekor miliknya telah tampak, tetua tersadar jika wujud asli dirinya sudah terlihat. Dewi juga tak mau kalah memberi kejutan dengan menumpahkan amarahnya pada tetua, tangan Dewi telah mencengkeram leher tetua, jelas tampak rasa ingin membunuh. Sangat tergambar di wajah Dewi rasa marah dan malu yang teramat dalam, terlihat ingin menghabisi penyebab.
“Dewi, jagalah sikap. Kita disini tamu. Bukankah seharusnya tamu menghormati tuan rumah, dan bukankah tuan rumah seharusnya juga bersikap hormat terhadap tamu”
Tetua terlihat merah wajahnya mendapati kalimat Arya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar