Belum lagi selesai menceritakan bagaimana cara dia mendapatkan makanan dan uang, Dewi sudah menghentikan ceritanya lalu berbisik kepada Arya, bahwasanya ada orang yang sedang menuju kearah mereka. Dan benar, sesaat kemudian memang ada dua orang laki-laki dan satu orang perempuan yang datang dari arah bawah gunung. Setelah salam salah satu dari mereka memperkenalkan diri dengan nama Julisar, dan laki-laki yang lainnya bernama Surya, sedang yang perempuan bernama Galuh. Dikemudian diketahui Surya maupun Galuh adalah dari jenis yang sama dengan Dewi.
Sewaktu Arya sibuk berbincang dengan Julisar, laki-laki yang bernama Surya terlihat sedikit nakal bahkan cenderung birahi melihat kemolekan Dewi, sehingga Dewi terlihat sangat gelisah, Dewi hanya sibuk merapatkan pakaian, walau sebenarnya pakaian yang dikenakannya kini sudah cukup menutup, Dewi sangat risih dan berusaha menutupi bagian tubuhnya yang terlihat, akan tetapi mata Surya tetap saja berupaya menelusuri tiap lekuk tubuh Dewi yang terbungkus dengan busana warna merah.
Waktu berlalu dengan cepat, Arya akhirnya meminta maaf karena tidak bisa berjalan bersama seiring dengan mereka, walaupun mereka sebenarnya satu arah. Lalu Julisar menjabat erat tangan Arya menunjukkan rasa bersahabat yang tinggi, dan setelah salam dan saling lempar senyum lalu merekapun berpisah. Dan kepergian mereka hanya menyisakan jengkel di wajah Dewi, sedang Arya hanya tersenyum memahami perasaan Dewi.
“Sudahlah, mereka sudah pergi, tersenyumlah. Aku tidak akan mengambil keputusan sedang orang yang ada disampingku memiliki kehendak yang lain”
Dewi berusaha untuk tersenyum mendapati kalimat dari Arya, akan tetapi entah mengapa ada kedamaian yang dirasakan begitu mendengar Arya berusaha menenangkannya, Dewi baru menyadari betapa Arya memperhatikan perasaannya saat dia tertekan oleh kejahilan Surya. Entah baik atau buruk yang sekarang sedang terjadi, karena kelihatannya Dewi kehilangan arah dan tujuan begitu mendapati Arya secara personal, menjadi rancu antara tugas dengan perasaan, Dewi mulai sadar jika ada yang tak biasa dengan dirinya.
“ Bukankah kau bisa membaca mantra yang diajarkan oleh Tuan Guru Wahab untuk mengendalikan aku, jika kau menginginkan sesuatu yang menurutmu perlu?” kata Dewi mencoba menutupi perasaannya yang serba salah.
Arya hanya tersenyum, lalu duduk disebelah Dewi, tak ada kalimat yang tersuarakan, hanya tangan kanan Arya meraih tangan Dewi, akan tetapi itu sudah melebihi dari jawaban yang seharusnya terdengar. Kali ini Dewi benar- bernar limbung, dan tak sadar telah menyandarkan kepalanya di bahu kanan Arya. Pun demikian halnya dengan Arya terlihat kesediaannya dijadikan sandaran.
Kabut tipis perlahan datang, udara terasa dingin menyelimuti hutan pegunungan Meratus, Dewi tediam, hanya membiarkan perasaannya berkecamuk menggumpal di dada menyesakkan nafas.