Setiap manusia memenuhi takdirnya sendiri-sendiri tak satupun akan sama, mereka selalu berusaha menuju kondisi bahagia mustahil jika kesedihan yang dituju, walaupun mereka juga tak begitu yakin dengan kebahagiaan itu sendiri. Mimpi, ya impian.
Dan masing- masing mengejar, hingga lupa dengan sang waktu yang terus merayap dan siap untuk berubah muka menjadi momok, lupa jika segera tiba saatnya gemerlap yang selalu dipelupuk mata perlahan sirna, sinarnya meredup, dan mimpi itu perlahan berubah wujud menjadi bayangan hitam yang terlalu dekat dengan urat nadi. Terkejut ketika mendapati sekeliling berubah menjadi terror, mendapati terlalu banyak waktu demi mengejar kepuasan diri sendiri, demi mimpi yang sungguh nyata liar, mimpi itu bahkan telah menentukan langkahnya sendiri, sambil menarik jerat dileher pengejar mimpi. Tersadar. Tak begitu banyak yang bisa diberikan kepada kehidupan lain, demi catatan menjelang sakaratul maut.
Seperti itukah jalanku, bukan. Aku menyerahkan diriku pada ritual alam, aku menari mengikuti suara gemrisik daun-daun yang tertiup angin. Aku tidak lagi bisa membedakan mimpi atau nyata, waras atau gila. Aku selalu sadar disetiap langkah yang aku lalui, aku sadar jika darahku telah hitam.
Jika kau tanya aku tentang dia, yang aku tahu hembusan nafasnya masih saja dekat dengan telingaku. Aku memikirkannya sama seperti kecemasku akan Dia, Dia yang lebih dekat daripada urat nadiku sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar