8.11.2012

Tamu

Kopi makin dingin, sedang rokok terus menyala, kedua tamuku
kelihatannya enggan menghentikan pembicaraan. Aku juga tak keberatan
dengan kedatangan mereka, sebab sudah kebiasaan hampir di tiap malam
selalu ada saja tamu yang datang sekedar ingin ngobrol ringan untuk
mengusir kesunyian jiwa mereka, sambil sesekali mengupas pemahaman.
Sebenarnya tubuhku malam ini sudah teramat letih, akan tetapi aku
berusaha menghormati mereka dengan tetap mengimbangi pembicaraan,
walaupu aku lebih cenderung menjadi pendengar.

"Anakku masih saja belum bekerja, rasa ijasahnya tak laku, entah sudah
berapa lamaran yang dibuat" ujar H. Arifin, terlihat ada kegusaran
yang mendalam.
"Lulusan apa Ji (Haji) anaknya?" Badri menimpali.
"Akademi Uang Bank" jawab H. Arifin.
Pembicaraan kelihatannya sudah kehabisan bahan, sehingga permasalahan
di rumah mulai dijadikan topik. Aku masih saja setia mendengar
keduanya mengembangkan pembicaraan, hingga melebar tanpa arah.
"Urip bukankah kamu juga sarjana?" tiba-tiba Badri merampas
kesetiaanku untuk menjadi pendengar. Sedang aku yang tak siap atas
pertanyaan hanya menjawab dengan tawa, berharap agar jangan diteruskan
pertanyaan, aku memilih sibuk menikmati caraku bersandar yang mulai
awal terasa kurang pas posisinya.
" Ya, dan aku tidak menggunakan itu" aku tak tega membiarkan mereka
menunggu jawaban.
"Mengapa?" Badri justru makin penasaran. Dan tertawa lagi menjadi
pilihan terbaik, karena akan terlalu panjang nantinya, dan aku tak
ingin.
Sejenak kami bertiga terdiam, membiarkan kosong menguasai.

"Ji, yang menjadi permasalahan justru karena adanya sampean (kamu),
anak sering tidak bisa mandiri atau berusaha karena adanya orang tua
yang cukup dalam artian ekonomi. Sehingga kemampuan untuk mengupayakan
sesuatu jadi setengah hati, karena dibenak mereka masih ada yang
dijadikan sandaran. Coba jika jauh dengan orang tua, apa mungkin anak
tidak berusaha habis-habisan demi bisa hidup.
Ulun (aku) ambil contoh, jika ulun boleh memilih mungkin akan senang
jika tetap bersama orang tua, karena jika dirumah orang tua ketika
membuka lemari pendingin isinya selalu penuh, daging, ikan, sayur
pokoknya serba ada. Jadi malas. Coba dirumah sendiri. Kalau membuka
lemari pendingin, isinya bisa sepatu atau sandal, bahkan bisa gergaji.
Tapi justru dirumah sendiri yang jauh dari orang tua ulun bisa
mengembangkan kemampuan, tidak harus menggunakan latar belakang
pendidikan, ulun berusaha keluar dari kesusahan yang melilit, ulun
akan berupaya lemari pendingin akan berisi makanan, bukan sendal atau
sepatu, entah seperti apa caranya" giliran mereka yang tertawa,
padahal aku sungguh-sungguh.

"Tadi sore di televisi bapak B.J. Habibie berencana membangkitkan
kembali IPTN Nurtanio Bandung yang mati suri, tapi yang ulun cermati
justru sewaktu beliau berbicara. Beliau berbicara tak tampak lagi
sebagai orang cerdas yang berhati-hati, akan tetapi berbicara dengan
greget yang kuat, terlihat nasionalismenya yang kuat, ingin
membangkitkan semangat yang mampu berdiri diatas kaki sendiri. Jelas
sekali emosi terlibat dengan kental. Beliau yakin bangsa ini bisa
menghapus pandangan orang luar yang menganggap bangsa ini sebagai
bangsa kuli.
Ini yang ulun maksud dengan dorongan untuk bangkit dengan menggunakan
kombinasi kecerdasan otak secara utuh, bukan otak cerdas melulu"
saking semangatnya ngomong, aku salah menempelkan rokok ke bibir,
justru bagian apinya yang nempel di bibirku.

Tidak ada komentar:

Mengambil Gambar

Aku sempatkan mengambil gambar sederhana  pagi tadi. Sekedar rumput yang tumbuh di pinggir jalan. Aku gunakan lensa canon 55 - 250mm pula ap...