Yang paling berat justru kesediaan menjadikan aspek
keburukan orang lain yang menyakitkan hati kita pada masa lalu tersadari sebagai
fungsi manfaat atas berlakunya kehidupan, bukan sebagai pengganggu dari
kehidupan. Lalu menganggap segala kekejian yang terlontar justru bersumber dari
keburukan diri sendiri, sehingga menjadi teramat pantas ketika orang lain menyakiti
hati kita, sesungguhnya mereka tidaklah berkehendak untuk menyakiti hati kita,
kecuali mereka melukai keburukkan yang ada pada diri kita sendiri. Demi belajar
memahami santun sebagai etika sosial.
Memohon maaf dengan kalimat-kalimat puitis justru terasa
sebagai kebohongan yang menghilangkan esensi maaf, mengapa tidak mencoba untuk meminta maaf dalam wujud yang bukan kalimat,
melainkan belajar untuk tidak berbuat
sesuatu yang bisa memancing kekejian itu datang.
Mungkin dengan cara ini kita bisa belajar untuk menjadi
manusia yang lebih memiliki harkat juga beradab. Bukan manusia yang dipenuhi
kalkulasi, yang nantinya justru menggerogoti keikhlasan kita sendiri.
Belajar dari bisik sahabatku yang masih ber-Tuhan “ jika ditampar pipi kirimu maka berikanlah pipi kananmu”
Jika simbul-simbul kemarahan dan kebencian itu tersadari
telah tiba, baik segera maafkan diri sendiri yang telah berlaku buruk, sehingga
dengan sendirinya maaf kepada orang lain itu berbisik dihati dengan lembut,
hingga memancing senyum dibibir.
Minal ‘aidin walfaidzin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar