"Barangkali di negeri tempat kita berpijak sekarang telah didominasi
oleh generasi yang kehilangan nilai dari akar identitas leluhurnya.
Aku, Wahab, Beng, Narang, Nungkai, Dimah, Salma, Urip juga semua
sahabat yang ada disini dianggap sebagai orang yang salah, karena kami
masih melakukan cara pun ritual purba dalam mengekspresikan kehidupan.
Tapi aku juga semua sahabatku sama sekali tak mengambil hati.
Di negeri ini orang-orang telah berubah, mereka bangga ketika tari
kuda lumping menjadi di haramkan, dilarang, kalau mungkin dimusnahkan,
lalu mereka ganti dengan rebana, mereka mengatakan tari kuda lumping
adalah tarian pemujaan terhadap setan, yang berarti sesat. Yang jelas
mereka memilih mengganti semua tradisi dengan label Arab atau
Vatikan.
Orang-orang bangga ketika makan kurma, mereka bangga ketika roti yang
dijadikan jamuan suci.
Silvi..., seperti yang kau dengar, kematian Arya karena dihakimi
kelompok masa yang mengatasnamakan agama, Arya dihakimi mereka karena
dianggap bersekutu dengan Dewi yang mereka katakan sebagai iblis.
Sekarangpun aku mulai was, bagaimana tidak, sedang terdengar khabar
jika kelompok agama yang juga membinasakan Arya waktu itu telah
merencanakan penumpasan pada kami semua yang ada disini, rencana
dengan kekuatan penuh.
Aku secara pribadi menjadi tak ingin beragama. Jika ada alasan yang
paling mungkin maka atas alasan tak ingin aku masuk kelompok atau
golongan, kelompok Islam, Kristiani, Budha, Majusi, Shinto, atau agama
apapun itu, karena jika seseorang telah masuk pada satu kelompok maka
seseorang tersebut telah mengawali berseberangan dengan kelompok yang
lain, yang berarti berbeda, berbeda di negeri ini sering berarti
musuh. Bahkan mereka yang sudah memahami kebebasanpun setengah dari
hatinya masih mengatakan perbedaan tetap sebagai perbedaan, bukan
keutuhan dari harmoni atas kebersamaan hidup yang serba majemuk" ucap
Datu Yana.
"Apa orang-orang yang sedang berurusan dengan Tanah Dalam sebenarnya
sedang diarahkan pada satu tujuan?" tanya Silvi pada Datu.
Datu Yana hanya tersenyum, namun rasanya sudah cukup jelas maksud dari
senyum itu.
Wajah Silvi menggambar keraguan, bagaimana tidak ragu sementara
kebanyakan orang memilih beragama, namun tak pula dipungkiri jika
agama sering memicu pada keberbedaan yang kontra produktif. Jua terasa
konyol ketika menggantikan kepribadian suatu bangsa dengan pribadi
bangsa lain dengan alasan kemajuan, agama atau apapun itu.
Sesuatu yang dianggap Silvi benar tapi Silvi tak berani melakukan hal
yang dianggapnya benar itu. Barangkali Arya tak beda dengan Silvi,
memiliki keraguan yang sama, namun ketika Arya bertemu Kemala dan dia
berharap dari Kemala bisa mendapatkan jalan tengah yang lebih mungkin
justru kenyataan menyeretnya pada kondisi yang bukan seperti apa Arya
harapkan, justru cinta yang ada dan itu menjadikan makin sulit.
Sedikit kalimat yang menghibur Arya waktu itu bahwa dengan kesulitan
seseorang akan mendapat sesuatu yang sepadan dengan besarnya kesulitan
itu sendiri.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Mengambil Gambar
Aku sempatkan mengambil gambar sederhana pagi tadi. Sekedar rumput yang tumbuh di pinggir jalan. Aku gunakan lensa canon 55 - 250mm pula ap...
-
"Setara dengan apa yang kau rasa ketidak nyamanan itu, ketika kau tengok aku maka itu pula yang berbisik di degup jantungku. Kala senja...
-
Pagi itu Kojin berdiam memandangi anggrek yang tumbuh di sela pohon yang tumbang Sedang Beng mendekat "Tapi apakah dia sehati den...
-
Logis jika sesuatu itu memiliki urutan yang jelas hingga bisa dianalogi dalam pola matematis. misal ada pertanyaan buah dari pohon ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar