"Hati yang tak kenal takut hanya milik orang yang sudah tak memiliki hasrat, pun berani juga tak beda.
Dalam keadaan sulit keraguanlah yang akan membinasakan" ucap Nisa dibarengi senyumnya yang manis.
Nungkai tahu bibir Nisa memang tersenyum tapi Nungkai juga tahu kalau hati Nisa lain. Ada terbersit sesuatu yang berat sedang menghimpit hati dan perasaan Nisa. Tapi Nunngkai berusaha mengabaikan, sambil berharap suasana tidak berubah buruk.
" Aku sulit membedakan dari apa yang kau ucapkan, kau lebih seperti bhikuni daripada muslimah" ucap Nungkai.
Apa yang Nungkai ucapkan rupanya cukup beralasan, karena kalimat yang disampaikan Nisa memang mirip ajaran Bhuda, apalagi bekas pembakaran dupa dalam ruang itu masih menyisakan aroma khas.
Bunga teratai putih bermekaran di antara rumput air rawa, burung pelikan menari dihadapan betinanya yang telah siap dicumbu.
"Kau selalu bisa membaca hati dan perasaan orang lain, tentu aku tak bisa menyembunyikan apa yang aku rasakan. Tapi aku yakin kau datang kemari bukan untuk itu. Katakan. Apa soal Tanah Dalam" Nisa menyerah, membiarkan Nungkai mengetahui isi hatinya.
Nungkai tak menjawab, dia hanya membiarkan angin yang terasa lembut menerpa wajahnya.
"Awal, tak mungkin kembali awal lagi. Selalu awal kemudian Akhir. Apapun yang terasa gelap tentu kemudian akan terang, jika awalnya benci tentu suatu ketika kau akan merindu atau sebaliknya. Itu ketetapan alam. Dulu aku mencintai seseorang dan sekarang menyisakan kebencian yang tak pernah bisa aku buang" Nisa mempertegas apa yang Nungkai rasakan tentang dirinya, berharap Nungkai berhenti menelanjangi perasaannya yang sebenarnya dia tak ingin orang lain tahu. Nisa menyerah.
Waktu seperti terhenti, dari semua yang telah dilakukan hanya memberi terdiam pada keduanya, harmoni alam membiarkan perasaan masing-masing teraduk. Langit cerah dengan sedikit awan penambah keindahan.
Dalam keadaan sulit keraguanlah yang akan membinasakan" ucap Nisa dibarengi senyumnya yang manis.
Nungkai tahu bibir Nisa memang tersenyum tapi Nungkai juga tahu kalau hati Nisa lain. Ada terbersit sesuatu yang berat sedang menghimpit hati dan perasaan Nisa. Tapi Nunngkai berusaha mengabaikan, sambil berharap suasana tidak berubah buruk.
" Aku sulit membedakan dari apa yang kau ucapkan, kau lebih seperti bhikuni daripada muslimah" ucap Nungkai.
Apa yang Nungkai ucapkan rupanya cukup beralasan, karena kalimat yang disampaikan Nisa memang mirip ajaran Bhuda, apalagi bekas pembakaran dupa dalam ruang itu masih menyisakan aroma khas.
Bunga teratai putih bermekaran di antara rumput air rawa, burung pelikan menari dihadapan betinanya yang telah siap dicumbu.
"Kau selalu bisa membaca hati dan perasaan orang lain, tentu aku tak bisa menyembunyikan apa yang aku rasakan. Tapi aku yakin kau datang kemari bukan untuk itu. Katakan. Apa soal Tanah Dalam" Nisa menyerah, membiarkan Nungkai mengetahui isi hatinya.
Nungkai tak menjawab, dia hanya membiarkan angin yang terasa lembut menerpa wajahnya.
"Awal, tak mungkin kembali awal lagi. Selalu awal kemudian Akhir. Apapun yang terasa gelap tentu kemudian akan terang, jika awalnya benci tentu suatu ketika kau akan merindu atau sebaliknya. Itu ketetapan alam. Dulu aku mencintai seseorang dan sekarang menyisakan kebencian yang tak pernah bisa aku buang" Nisa mempertegas apa yang Nungkai rasakan tentang dirinya, berharap Nungkai berhenti menelanjangi perasaannya yang sebenarnya dia tak ingin orang lain tahu. Nisa menyerah.
Waktu seperti terhenti, dari semua yang telah dilakukan hanya memberi terdiam pada keduanya, harmoni alam membiarkan perasaan masing-masing teraduk. Langit cerah dengan sedikit awan penambah keindahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar