Kehadiran Arya lebih merupakan kelukaan, kebencian demi kebencian terbentuk seiring putaran waktu yang terus berjalan, kebencian yang setengahnya justru berubah wujud menjadi rindu, rindu yang pahit bila tersirat dihati, satu rindu yang justru membangkitkan sepi dan kedinginan yang tak bertepi.
Semua benda-benda bisu yang ada seolah tertawa melihat Kemala, terasa mengejek atas ketidak mampuan Kemala mengurai kusutnya permainan yang tidak pernah dimengerti pun tidak pernah sekalipun terlintas dalam bayangan sebelumnya.
“Aku tahu apa itu cinta, tapi bukan untuk Arya yang setengah gila” teriak Kemala dengan lantang dan wajah yang memerah mengambarkan tumpahnya seluruh kemarahan. Tapi tak begitu lama wajah marah Kemala mendadak berubah drastis setelah tersadar dirinya yang ngomel sendiri dan terasa aneh.
Perlahan muram Kemala berlalu setelah otaknya kembali waras, ingatannya kini membangkitkan kesadaran akan adanya ritual tertinggi dari prosesi sunah yang telah menunggu dirinya untuk menjalankan peran sebagai perempuan seutuhnya, perempuan yang akan melahirkan keturunan-keturunan penyelamat dikemudian hari, seperti yang telah dijanjikan dari tiga perkara yang menyelamatkan di hari akhir.
Yang ada malah terasa makin jauh ketika Arya yang setengah gila hadir disebagian perasaaanya, Arya tak lebih dari pengganggu keseimbangan dalam kehidupan. Ada penyesalan dihati Kemala karena telah meremehkan Arya yang ternyata lebih gila dari yang diperkirakan.
Angin berhembus lembut menyapa dengan ramah, masih banyak hal yang lebih penting untuk diselesaikan. Eropa dulu pernah diidamkan dan sekarang kaki telah berpijak, masih bayak kawan yang bisa disapa. Kemala menghela nafas lalu bangkit untuk melangkahkan kaki dengan tujuan bergabung dengan senyum dari komunitas warga Indonesia di Eropa, berbagi salam hingga perasaan sekedar pengobat rindu akan tanah kelahiran.
“Arya” senyum tipis terlepas dari bibir lembut Kemala, menghanyutkan segala nostalgia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar