3.05.2013

Menuju Tanah Dalam

"...tak banyak orang yang bisa memahami apa yang telah dilalui dan
seharusnya dia segera mencari penggantimu, agar jangan semakin dalam
sakit menusuk. Aku yakin dia lelah dengan semua, aku bisa merasakan
betapa kecewa itu nyata, pun juga akan sulit untuk menghapus semua
yang ada dalam ingatannya.
Kau bukanlah untuknya Rip, segeralah sadar, walaupun cinta itu ada,
yakinlah itu hanya seperti mimpi panjang yang tak akan pernah usai
dan pasti sangat tidak mengenakan mengharap peluk yang tak kunjung
tiba. Kau kejam, kau egois, apa yang kau pikirkan.
Rip, kini aku tahu bahwa benar yang orang-orang katakan tentangmu, kau
lebih gila dari semua orang yang pernah aku temui" ujar Dimah sambil
menata perbekalan, sedang Beng hanya tersenyum mendengar Dimah ngomel.

Ketiganya pagi itu berangkat menuju Tanah Dalam atas undangan yang
telah disampaikan melalui Lehar. Langit cerah, tanah masih basah bekas
hujan tadi malam.
"Jaman sedemikian modern dengan berbagai kemudahan tekhnologi masih
saja orang Tanah Dalam mengirim undangan menggunakan jasa atar, maka
yang diantar hanya sebilah ranting kering.
Kan bisa sms ..." celetuk Urip sementara tangan kanannya masih
memegang ranting yang diberikan Lehar malam itu. Urip sebenarnya hanya
berusaha mengalihkan perhatian, menghidari Dimah yang semakin sewot.
Ternyata berakibat positif untuk Urip, karena Dimah yang tadinya
tampak serius kini terlihat menahan tawa menutupi geli mendengar Urip,
sedang Beng tertawa mendengar betapa konyol Urip.
"Namanya sudah Tanah Dalam, semua orang sudah tahu akan keberadaannya
yang jauh di dalam hutan. Nah..., sekarang aku tanya, mengapa kita
nggak menuju Tanah Dalam dengan menggunakan mobil saja, atau
setidaknya menggunakan transportasi lain yang lebih sederhana, sepeda
motor barangkali" jawab Beng.

Tidak ada komentar:

Mengambil Gambar

Aku sempatkan mengambil gambar sederhana  pagi tadi. Sekedar rumput yang tumbuh di pinggir jalan. Aku gunakan lensa canon 55 - 250mm pula ap...