Masih terasa sakit kaki Urip bekas yang tadi diinjak Dimah. Bagaimana
tidak risih Dimah melihat mata Urip yang tak lepas memandangi tubuh
Salma, seolah menelanjangi.
Tidak bagi Salma, dia justru menawarkan senyum yang sedikit menggoda,
seolah dia tahu apa yang Urip mau, bahkan sama sekali tak memandang
dengan adanya Dimah pun Beng.
Beng sangat tahu resiko dan juga tahu siapa Salma, walau Beng juga
tidak begitu yakin, tapi istirahat adalah pilihan terbaik.
"Sungguh-sungguh kehormatan bagi kami bertiga bisa diterima disini.
Ada salam dari Nungkai" sedikit basa-basi yang dicoba dimanis-maniskan Beng.
"Nungkai. Untuk apa harus ada salam" jawab Salma, sesaat Salma
menghentikan adukan teh, namun itu tak lama. Salma melanjutkan adukan
sambil tersenyum ringan lalu mengulurkan teh tersebut kepada Beng,
Urip juga untuk Dimah.
"Yang menjadikan hidup berat ketika manusia menginginkan sesuatu yang
sama sekali bukan dirinya sendiri, menginginkan sesuatu yang tidak
sedang ada atau sudah berlalu, mendengarkan optimis dari orang lain
bukan hasrat yang timbul dari hatinya sendiri. Aku hanya berhasrat
untuk menjadi seperti diriku sendiri, apapun itu wujudnya.
Aku sudah tidak tertarik dengan masalalu, Nungkai bukanlah prioritas
walaupun aku mengakui dia telah pernah ada di ruang hatiku, pernah
berbagi ruang dengannya. Tapi percayalah aku lebih memilih apa yang
aku hadapi sekarang. Hanya orang yang kalah saja yang mencari alasan
pada masa yang sudah lalu.
Tahukah kalian jika ini merupakan hari yang ajaib bagiku, hari dimana
aku kedatangan tamu setelah lebih dari tujuh tahun tak seorangpun
singgah" ucap Salma.
Beng tidak menyambung pembicaraan dari Salma namun dia melirik kearah
Dimah yang sedang menikmati teh. Setelah itu Beng mengembalikan mata
ke arah Salma menunggu kelanjutan kalimat, namun tangan kanannya
menggawil tubuh Dimah yang hendak meminum teh hingga ke dasar.
Dimah paham apa yang dimaksud oleh Beng dan segera meletakkan kembali
gelas diatas meja sebelum teh itu habis sempurna.
"Jangan dihabiskan sampai dasar, karena dasar tempat endapan racun,
kau begitu khawatir, aku mengerti kekhawatiranmu, yang aku suguhkan
hanya untuk membantu kalian istirahat lebih awal, tidak akan buruk
percayalah... " senyum Salma terlihat benar-benar pasti, dan itu
benar, Beng terlambat karena dia sendiri sudah tenggelam dalam kantuk
yang tak terbendung.
tidak risih Dimah melihat mata Urip yang tak lepas memandangi tubuh
Salma, seolah menelanjangi.
Tidak bagi Salma, dia justru menawarkan senyum yang sedikit menggoda,
seolah dia tahu apa yang Urip mau, bahkan sama sekali tak memandang
dengan adanya Dimah pun Beng.
Beng sangat tahu resiko dan juga tahu siapa Salma, walau Beng juga
tidak begitu yakin, tapi istirahat adalah pilihan terbaik.
"Sungguh-sungguh kehormatan bagi kami bertiga bisa diterima disini.
Ada salam dari Nungkai" sedikit basa-basi yang dicoba dimanis-maniskan Beng.
"Nungkai. Untuk apa harus ada salam" jawab Salma, sesaat Salma
menghentikan adukan teh, namun itu tak lama. Salma melanjutkan adukan
sambil tersenyum ringan lalu mengulurkan teh tersebut kepada Beng,
Urip juga untuk Dimah.
"Yang menjadikan hidup berat ketika manusia menginginkan sesuatu yang
sama sekali bukan dirinya sendiri, menginginkan sesuatu yang tidak
sedang ada atau sudah berlalu, mendengarkan optimis dari orang lain
bukan hasrat yang timbul dari hatinya sendiri. Aku hanya berhasrat
untuk menjadi seperti diriku sendiri, apapun itu wujudnya.
Aku sudah tidak tertarik dengan masalalu, Nungkai bukanlah prioritas
walaupun aku mengakui dia telah pernah ada di ruang hatiku, pernah
berbagi ruang dengannya. Tapi percayalah aku lebih memilih apa yang
aku hadapi sekarang. Hanya orang yang kalah saja yang mencari alasan
pada masa yang sudah lalu.
Tahukah kalian jika ini merupakan hari yang ajaib bagiku, hari dimana
aku kedatangan tamu setelah lebih dari tujuh tahun tak seorangpun
singgah" ucap Salma.
Beng tidak menyambung pembicaraan dari Salma namun dia melirik kearah
Dimah yang sedang menikmati teh. Setelah itu Beng mengembalikan mata
ke arah Salma menunggu kelanjutan kalimat, namun tangan kanannya
menggawil tubuh Dimah yang hendak meminum teh hingga ke dasar.
Dimah paham apa yang dimaksud oleh Beng dan segera meletakkan kembali
gelas diatas meja sebelum teh itu habis sempurna.
"Jangan dihabiskan sampai dasar, karena dasar tempat endapan racun,
kau begitu khawatir, aku mengerti kekhawatiranmu, yang aku suguhkan
hanya untuk membantu kalian istirahat lebih awal, tidak akan buruk
percayalah... " senyum Salma terlihat benar-benar pasti, dan itu
benar, Beng terlambat karena dia sendiri sudah tenggelam dalam kantuk
yang tak terbendung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar