Kasih, tentu aku masih ada untukmu, tak pernah beranjak, dan kau sungguh tahu itu.
Sama, dan sama dengan apa yang kau pikirkan. Pun aku akan bahagia
ketika kau menjadi biasa, berjalan pada alur yang seharusnya.
Bukankah cinta telah banyak mendewasakan aku pun kau yang sadar telah
makin tinggi usia.
Kasih, kau adalah yang terbaik dan terindah seumur hidupku...
"Nah, asmara kan?" Dimah meledek. Namun Urip hanya tersenyum dan tak
ingin meladeni ucapan Dimah. Tapi mudah ditebak jika itu tak akan
berlangsung lama, dan benar Urip perlahan mulai tak tahan melihat mata
Dimah yang lebih dalam meminta jawab, seolah memaksa penjelasan.
Nafas panjang menandakan Urip telah mengiklaskan untuk menutup buku
yang sedang ditulis.
"Yup, kau menang" Urip meminum teh yang sudah mendingin.
"Dia perempuan terindah yang aku kenal, dan dia berada di sangat jauh
sana, aku tak bisa menyentuh kulit lembut yang seharusnya aku sentuh.
Dengan menulis barangkali satu-satunya pelega bagiku, melepas
kegelisahan, menumpah apa yang ada di hati. Aku dan dia barangkali
seperti apa yang kau katakan, bukan tercipta untuk saling memiliki
atau lebih tepatnya dia diadakan bukan untukku, namun entah apa
sehingga rasa inginku selalu tertuju padanya, aku dan dia terjerat
tali rasa.
Sekarang kesadaranku hanya ingin melihat dia wajar seperti tak pernah
mengenalku, melupa mungkin tak mudah, menentukan prioritas dalam hidup
barangkali akan sedikit membantu" Urip meminum tehnya lagi, Urip
menganggap sudah cukup penjelasan yang diberikan pada Dimah, namun
setelah itu bukan kelegaan yang Urip dapat malah terlihat ada tersisa
di gurat wajahnya rasa salah, bukanlah salah pada Dimah, melainkan
pada kekasihnya dan perasaan itu terbaca oleh Dimah.
"Laki-laki selalu bisa berkelit. Tahu tidak, perempuan tidak akan
mudah mengungkap apa-apa yang ada di hati dan perasaannya, tak mungkin
perempuan yang melangkah, kecuali laki-laki. Yang aku terima dari
penjelasan tadi hanya kecewanya, karena kau tak kunjung melangkah
padanya...."
Setidaknya keduanya mulai terbiasa hidup dalam dunia yang
baru dipijak. Sedang Beng berada dalam rumah penduduk terlihat juga
sibuk berbicara dengan seseorang, entah apa yang dibicarakan,
kelihatanya serius.
Masih jauh perjalanan menuju Tanah Dalam yang mereka bertiga harus
tempuh, mungkin akan banyak hal yang tak terduga atau sebaliknya.
Sudah cukup lama waktu berlalu, Beng mengakhiri pembicaraan. Beng
melangkahkan kaki keluar rumah menghampiri Urip dan juga Dimah yang
tampak masih asyik berbincang. Namun ada yang terlihat lain di wajah
tua Beng, menandakan ada hal yang tidak menguntungkan dari hasil
pembicaraanya tadi.
Sama, dan sama dengan apa yang kau pikirkan. Pun aku akan bahagia
ketika kau menjadi biasa, berjalan pada alur yang seharusnya.
Bukankah cinta telah banyak mendewasakan aku pun kau yang sadar telah
makin tinggi usia.
Kasih, kau adalah yang terbaik dan terindah seumur hidupku...
"Nah, asmara kan?" Dimah meledek. Namun Urip hanya tersenyum dan tak
ingin meladeni ucapan Dimah. Tapi mudah ditebak jika itu tak akan
berlangsung lama, dan benar Urip perlahan mulai tak tahan melihat mata
Dimah yang lebih dalam meminta jawab, seolah memaksa penjelasan.
Nafas panjang menandakan Urip telah mengiklaskan untuk menutup buku
yang sedang ditulis.
"Yup, kau menang" Urip meminum teh yang sudah mendingin.
"Dia perempuan terindah yang aku kenal, dan dia berada di sangat jauh
sana, aku tak bisa menyentuh kulit lembut yang seharusnya aku sentuh.
Dengan menulis barangkali satu-satunya pelega bagiku, melepas
kegelisahan, menumpah apa yang ada di hati. Aku dan dia barangkali
seperti apa yang kau katakan, bukan tercipta untuk saling memiliki
atau lebih tepatnya dia diadakan bukan untukku, namun entah apa
sehingga rasa inginku selalu tertuju padanya, aku dan dia terjerat
tali rasa.
Sekarang kesadaranku hanya ingin melihat dia wajar seperti tak pernah
mengenalku, melupa mungkin tak mudah, menentukan prioritas dalam hidup
barangkali akan sedikit membantu" Urip meminum tehnya lagi, Urip
menganggap sudah cukup penjelasan yang diberikan pada Dimah, namun
setelah itu bukan kelegaan yang Urip dapat malah terlihat ada tersisa
di gurat wajahnya rasa salah, bukanlah salah pada Dimah, melainkan
pada kekasihnya dan perasaan itu terbaca oleh Dimah.
"Laki-laki selalu bisa berkelit. Tahu tidak, perempuan tidak akan
mudah mengungkap apa-apa yang ada di hati dan perasaannya, tak mungkin
perempuan yang melangkah, kecuali laki-laki. Yang aku terima dari
penjelasan tadi hanya kecewanya, karena kau tak kunjung melangkah
padanya...."
Setidaknya keduanya mulai terbiasa hidup dalam dunia yang
baru dipijak. Sedang Beng berada dalam rumah penduduk terlihat juga
sibuk berbicara dengan seseorang, entah apa yang dibicarakan,
kelihatanya serius.
Masih jauh perjalanan menuju Tanah Dalam yang mereka bertiga harus
tempuh, mungkin akan banyak hal yang tak terduga atau sebaliknya.
Sudah cukup lama waktu berlalu, Beng mengakhiri pembicaraan. Beng
melangkahkan kaki keluar rumah menghampiri Urip dan juga Dimah yang
tampak masih asyik berbincang. Namun ada yang terlihat lain di wajah
tua Beng, menandakan ada hal yang tidak menguntungkan dari hasil
pembicaraanya tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar