Makin hari bukanlah makin lega nafas ini, justru makin sesak, justru makin sering mata berkaca. Bagaimana tidak sedang aku makin tersadar neraka jahanam yang terdalam telah didepan mata. Kalimat ampun tak berguna setelah mengingat semua yang aku lakukan.
“Bagaimana mungkin aku mengharap surga sedang aku telah sia-sia terhadap pemilik surga yang sesungguhnya. Bukankah Adam dan Hawa sungguh penghuni surga sebelum dilempar ke bumi.
Bukankah Adam laki-laki dan Hawa perempuan. Bukankah laki-laki pun perempuan berasal dari rahim. Lalu apa terlalu berbeda kalimat rahim ibu dengan rahim-Nya. Lalu apa terlalu berbeda Surga dengan kandungan perempuan.
Seharusnya aku bersungguh- sungguh melayani dia ketika aku mendamba surga. Bukan justru sebaliknya malah menyakiti, menjadikannya dalam kebimbangan.
Ya Rahman, Ya Rahim, benar aku ateis, benar aku telah memutar balik norma, terimalah airmataku sebagai tanda sesalku, yang tidak bisa berjalan seperti laki-laki lainnya, yang umumnya selalu dilayani perempuan, yang selalu minta diatas, yang selalu menganggap perempuan dibelakang. Aku justru menjadikan perempuan yang seharusnya dilayani.
Ya Rahman, Ya Rahim, aku iklas menerima menerima neraka jahanam”
Guru Wahab menyalakan bilah rokok yang sejak aku bercerita hanya dimain-mainkan, lalu menghisapnya dalam-dalam.
“Biarlah Dia pemilik sekalian alam menentukan kau pantas apa tidak mendapat surga perempuan itu. Jalani tanpa keluhan, jika memang kau berhak atas surganya tak satupun mampu menghalangi, namun jika bukan hakmu maka semua ini hanya pikiran yang membentuk sangka”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar