Setelah selesai tuan guru Wahab bercerita beliau menepuk punggungku seraya tersenyum “ Lalu bagaimana arti cinta menurutmu?”
Aku tertunduk “ Sungguh tak ada cinta dihatiku, mungkin jika ada cinta juga telah berkarat, yang tersisa hanya rasa kasih dan sayang kepadanya. Aku bisa menerima cintanya ketika dia telah menjadi lemah dan tak berdaya, bukan ketika dia sempurna. Cukup menjadi pemujanya dan tak akan pernah berani menerima cintanya disaat segala keelokan yang dimiliki masih mempesona setiap mata, ketika dia masih sempurna tentu cintanya hanya menjadi hak pria sempurna”
Guru Wahab hanya manggut-manggut “lalu?”
Aku menghela nafas“ Bukankah kasih berarti memberi, memberikan pelayanan atas segala keinginannya. Bukankah dia perempuan, bukankah dia sama seperti ibu yang telah melahirkan aku, bagaimana mungkin aku tak melayani apa-apa yang menjadi keinginannya, bukankah aku seharusnya melayani dia hingga nafasnya berhenti, aku hanya rindu melayani.
Dan sayang bukankah berarti menjaga, menjaga dari segala keburukan yang menimpa. Lalu apa yang terjadi,bukankah aku justru membuat hancur hatinya, bukankah aku telah meremukkan perasaanya.
Persetan dengan cinta dan sungguh aku pengecut, Aku hanya peduli terhadap perasaanku sendiri yang selalu didera rindu kepadanya, lalu dimana arti melayani, dimana arti melindungi, apa sekedar kata manis perayu agar mendapat tubuh mulusnya. Seharusnya aku memahami lagi arti kata kasih dan sayang. ”
Tak terasa sesalku menusuk perasaanku sendiri, nafas terasa berat, air mata meleleh tanda sesal yang telah melebihi batas. Aku tersadar, segera aku hapus air mata.
Guru Wahab berdiri“Sudahlah… dia juga rindu kau layani.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar