Aku menganggap beliau sebagai orang tua sendiri, orang-orang sering memanggil beliau dengan sebutan tuan guru Wahab. Seketika lamunanku tentang perempuan yang telah memutar balik nalarku selama ini buyar saat terlihat rumah beliau. Tampak terkumpul banyak santri mendengarkan beliau membaca kitab.
Jalan samping rumah pilihan terbaik agar tidak mengganggu kegiatan santri lain, tampak ibu sedang duduk sendiri bersandar pada dinding kayu sambil mengurut kedua kakinya, setelah salam kucium tangan ibu lalu duduk dihadapan beliau. Senyum lembut tua itu terasa menjadi kalimat tanya. Aku memang tak terlalu pintar menyembunyikan perasaan.” Sabar, semua ada masanya” kalimat ibu memecah kebisuan. “Tentu perempuan itu sangat istimewa sehingga kau menjadi sangat kacau, tak perlu kau lari, biarkan semuanya mengalir” Ibu selalu tahu walau aku tak mengucapkannya dan aku selalu terdiam tanpa bisa menjawab.
“Tentu bukan mantra buluh perindu yang kau cari, tentu tak ingin kau nodai kasih dengan nafsu angkara, ibu sangat memahamimu, dan itu bukan caramu” kata ibu sambil menuangkan air putih kedalam gelas. Aku menghela nafas, makin tak karuan perasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar