Aroma kopi menyapa lebih awal sebelum aku membuka mata diantara segarnya udara yang mesuk melalui jendela. Uap tipis tampak dari cangkir warna putih di ujung meja sudut kamar. Terlihat dia didepan cermin sedang menyisir rambut, dari pantulan cermin matanya mulai melihat aku yang terbangun.
“Hai…, kau tampak cantik tanpa make up” sapaku, dia masih tak lepas pandang dari pantulan cermin.
“Gombal.. laki –laki selalu pintar merayu” dia alihkan pandang pada deretan make up di meja riasnya.
“Jam berapa turun kerja?” tanyaku.
“Juragan hari ini mengunjungi saudaranya di Kalimantan Barat, mungkin bisa seminggu aku libur” dia menoleh kearahku.
“Semalam belum kau jawab, apa dia cantik sekali” dia masih penasaran, malah aku merasa jika dia cemburu, bukan sedang menanyakan. Bukankah aku dan dia baru sehari semalam mengenal, terlalu dini jika cemburu, mungkin dia iri soal nasib.
Aku bangkit untuk menikmati kopi hangat yang dihidangkan dan sesaat beradu pandang , aku merasa dilubuk hatinya merindukan kehadiran teman hidup, untuk dilayani dan disapa disetiap pagi hari. Terlihat dari wajahnya ada kekosongan arah tujuan, seolah aku ditarik kedalam catatan hidup yang dilalui.
“Sering orang mengartikan hubungan sebagai cinta, yang ujungnya kecewa mungkin juga bosan. Sering cinta hanya merupakan keinginan penguasaan atau sekedar ingin saja yang terekayasa menjadi rindu, sering cinta memaksa pasangannya untuk seirama dengannya, dan akan marah ketika pasangannya tak bisa mewujudkan apa yang diinginkan, tidak sesuai dengan pikirannya dan lupa jika masing-masing individu dilahirkan berbeda dan kemudian untuk saling mengisi dan memahami demi kehidupan.
Cantik bukan dari ukuran rupa, rupa akan segera sirna. Kerinduan yang tak akan pernah sirna ketika seorang kekasih ikhlas di kehadirannya, tanpa mengeluhkan tentang pasangannya, menerima apapun pasangannya. Kekasih adalah tempat istirahat dari segala lelah pengejaran duniawi, tempat berbagi bahagia, tepat bersandar ketika kita tak berdaya, lemah, bahkan saat sakaratul maut.
Kau telah memberi teduh kepadaku, kau lakukan semua ini tanpa kulihat keluhan diwajahmu, dan aku bisa merasakannya, tentu aku akan selalu mengingat dan merindukanmu. Aku tak bisa membayangkan jika kau berwajah seperti bidadari namun kau bangunkan aku dengan menyiramkan air di wajahku sambil menyumpah.
Aku tak melihatmu sebagai status sosial, tapi bagaimana kau tersenyum, ketika kau peduli, ketika ikhlas menghiasi setiap nafasmu. Kau sudah lebih dari bidadari”
Ceritaku terhenti ketika terlihat sorot matanya melemah lalu dia menundukan kepala. Sesaat aku berfikir, salah cerita aku rupanya. Ini mungkin yang tak pernah aku fahami tentang perempuan.
“Selama ini hubungan kalian seperti apa?”
Aku hanya tersenyum, mencoba merubah suasana, mencari kondisi yang agak nyaman, agar rilex kembali tapi tetap saja seolah terlanjur suasana berganti. Aku hela nafas panjang melepas muatan perasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar