5.06.2013

Lupa Tujuan

Kelapa, beras, jarum, setangkup gula aren, juga berbagai jenis makanan
telah siap. Narang menyalakan tiga bilah dupa lidi dan diletakkan
diantara sesajen itu.
Cara purba, membangkit sugesti dari dalam dirinya sendiri,
mengandalkan ruh para leluhur sebagai suport, walau sejujurnya Narang
sedikit geli menyadari prilakunya yang terasa tak lazim, terasa aneh
dijaman yang sudah 3G, jaman dimana perangkat selular sudah mencapai
tingkat audio visual namun dia masih mengandalkan dupa untuk mencapai
sesuatu yang dituju.

Bukan, sanggah Narang dalam hati, manusia tak lagi bisa diandalkan,
dan ini cara yang tak pernah orang gila materi kasat mata mengerti.
Tubuh disangga ruh, yang hidup ruh bukan tubuh.

"Salam. Diri ruh semesta, apa yang ada di langit dan bumi serta apa
yang ada diantara keduanya. Aku Narang bin Ladu bin Radi bin Sarli bin
Maat.
Narai ikau handak, aku sedia. Salam" Narang menutup salam pembuka mantra.
Belum lagi melanjutkan penyampaian namun ada yang terasa lain, apa
yang dilihat Narang terasa seperti memburam.

"Kau mencari batu keseimbangan? Atau lebih tepatnya batu penyangga
keseimbangan, itu mudah" suara perempuan telah dekat dengan telinga
kanan Narang.
"Siapa kau?"
"Dewi"
"Bukankah...." Narang ragu.
"Bukankah Dewi telah tewas bersama Arya? Itu maksudmu" perempuan itu
mengetahui keraguan Narang.
"Materi memiliki sifat kekal, tak pernah ada sesuatu yang ada lalu
menjadi tidak ada, yang ada adalah perubahan bentuk" lanjut perempuan
itu.
"Jadi kau..."
"Ya, aku Dewi"

Keduanya dengan cepat larut, bahkan Narang lupa dengan apa yang
menjadi tujuan semula. Narang justru lebih tertarik pada cerita Dewi
tentang keberadaan Arya waktu itu.

"Kemala sangat mempercayai Arya, dia memiliki cinta yang mekar di
kekeringan, pun Arya tak beda. Ketidak cocokan antara keduanya justru
makin membangkit cinta yang membawa bingung antara keduanya, tapi
cinta bagi keduanya bukanlah hal yang baik. Buruk, menyakitkan.
Kesadaran itu sudah terlambat.

Sejak itulah Kemala menjadi sulit mempercayai orang lain, Kemala
beranggapan semua akan sama, mempercayai orang lain akan berarti
menghancurkan hatinya sendiri.
Tapi aku yakin jika itu bukan berarti Kemala sudah kehilangan hati,
terbukti dari dia yang masih menulis, dan itu untuk Arya.
Kemala percaya cinta itu ada, juga percaya kehancuran itu nyata,
sekarang yang aku tahu hanya Kemala telah menjadi sulit untuk
berkomunikasi dengan orang lain apalagi mempercayai"

Tidak ada komentar:

Mengambil Gambar

Aku sempatkan mengambil gambar sederhana  pagi tadi. Sekedar rumput yang tumbuh di pinggir jalan. Aku gunakan lensa canon 55 - 250mm pula ap...