Beberapa hari kemudia sahabat Arya dengan wajah yang pucat pasi tergopoh menghampiri ibu Arya yang sedang menuai padi dengan menggunakan ani-ani. Belum lagi sempat menyuarakan kalimat tapi ibu sudah mendahului berucap dengan bibir yang bergetar, seolah berat mengeluarkan suara "Arya putraku, istirahatlah, kau sudah cukup lelah, perasaan sayangkulah yang akan menemanimu"
terlihat tubuh tua itu melemah disusul dengan alir air mata dari matanya yang terpejam.
Kabarnya sesampai di puncak pegunungan meratus Arya harus berhadapan dengan banyak orang dari organisasi keagamaan yang telah menghadangnya. Oleh orang-orang itu Arya dinyatakan sesat dan juga kafir, lalu berakhir dengan penghakiman dari masa yang sedang mengamuk, hingga akhirnya Arya tewas. Sedangkan Dewi berhasil ditangkap dan diikat dengan mantra oleh mereka, lalu dibakar hidup-hidup bersama dengan jasad Arya yang penuh darah dan luka.
Sungguh hidup bukan drama yang bisa disusun hingga terlihat manis dan lurus, seperti yang diajarkan guru-guru kita waktu di sekolah, seperti dalam film-film atau dalam buku cerita teladan yang selalu berakhir dengan bagus.
Hidup yang sesungguhnya hampir tak pernah bagus dan mulus. Hidup yang sesungguhnya hanya mengandalkan presisi dari improvisasi yang langsung tercatat dalam sejarah tanpa bisa di ulang untuk perbaikan, bukan seperti siaran televisi tunda yang bisa diedit.
TAMAT
7.11.2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Mengambil Gambar
Aku sempatkan mengambil gambar sederhana pagi tadi. Sekedar rumput yang tumbuh di pinggir jalan. Aku gunakan lensa canon 55 - 250mm pula ap...
-
Segala kemampuan yang dimiliki Beng bukanlah berarti menjadikan sesuatunya bisa lebih mudah. Jantung Urip berdegub lebih kuat begitu meng...
-
Hidup bukanlah untuk tujuan, melainkan perjalanan dari petualangan yang serba mungkin. Hingga apapun itu yang sedang terjadi memang telah ...
-
Haruskah aku berjalan terus menyusun teori konspirasi gila, membolak-balik faham konkret, hingga ya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar