Banjarmasin, 28 Sya’ban 1433 H
Malam itu kaum agamis berkumpul, ada beberapa tokoh tauhid
dan tasawuf juga beberapa santri dari Abah Wahab. Aku duduk agak jauh di antara
mereka, rupanya ada satu orang akademisi yang peduli dengan ajaran, dia Dr.Yusni
dosen fisika pada sebuah perguruan tinggi di Banjarmasin, dia duduk di antaranya.
Mujakarah sesaat terasa hangat diselingi senyum ramah tanda mengiyakan setiap
penyampaian.
“Yusni kau sudah lama menjadi dosen, gelar juga mumpuni, sekarang
aku mau tanya, benda ini kau sebut apa” Abah Wahab menunjuk asbak yang penuh
dengan puntung dan abu rokok.
Tak lama
kemudian Yusni menyebut benda itu dengan “asbak” walau dengan
berat, Yusni tahu resikonya, jelas akan
dibantai habis, pertanyaan yang terlontar jelas hanya permainan. Yusni tidak tahu kemana arah pikiran Abah
Wahab.
“Tidak bisakah Kau beri nama lain sesuai dengan keinginanmu
asal jangan asbak. Ini yang aku bingungkan, apa guna pendidikan sampai ke ujung
langit akan tetapi kau menyebutkan benda ini sama seperti cucuku yang belum pernah mengenyam bangku
pendidikan, dia juga menyebut ini dengan sebutan “asbak”. Jika pelajaran di
sekolah hanya mengcopy apa kata sang guru atau dosen, aku rasa itu tak ubahnya
seperti computer, bahkan mungkin manusia akan kalah dalam menyimpan
ingatan-ingatan yang telah diajarkan. Mungkin di tahun 2020 nanti seorang
pendidik akan digantikan oleh robot yang lebih banyak dan akurat dalam
menyimpan data, bahkan computer yang sederhana yang sering disebut dengan
kalkulator telah melebihi kecepatan dalam menghitung, bukankah hitungan oleh
kalkulator hanya seting copy program, bukankah kalkulator lebih cepat dan tepat
darimu dalam menghitung” Abah Wahab
menghentikan kalimat lalu mengarahkan pandangannya padaku dengan bibir setengah
senyum.
Dialog sederhana tapi cukup menghangatkan dan mengena pada pokok
masalah esensi manusia. Aku agak sedikit kurang nyaman ketika Abah Wahab seolah
menantangku untuk memberikan jawaban lain, bukan seperti jawaban Yusni.
“Jika melihat bukti dalam kehidupan, orang yang tinggi
tingkat pendidikannya akan cenderung lebih variatif dalam pengelolaan ide,
sedang yang kurang pendidikan cenderung kurang variatif. Mungkin itu bedanya.
Yang menjadi permasalahan
kebanyakan pencari ilmu telah kehabisan energi untuk mengingat apa yang telah
diajarkan oleh pengajar, demi indeks prestasi, sehingga melupa esensi dari
pendidikan, mereka cenderung teks book. Seandainya mereka berkreatifpun masih
menggabungkan ide dari ingatan yang telah diterima dari pihak pengajar, lebih
celakanya lagi para pengajar sendiri belum pernah membuktikan apa yang
diajarkannya, akan tetapi pengajar seolah memastikan apa yang diajarkan adalah
sahih. Sering saya mendapati mereka kehilangan tujuan dari pendidikan, kecuali
untuk lamaran kerja. Seolah pendidikanlah yang bisa memberikan jaminan atas
pekerjaan demi kelangsungan hidup.
Yang membedakan kecerdasan manusia dengan robot canggih pada 2020 nanti ada pada ide kreatif manusia, manusia
memiliki sugesti dari dalam yang mampu menciptakan kemungkinannya sendiri, memiliki keputusan dari optimisme yang serba
mungkin, terlibat dengan kemungkinan yang hanya bisa dibaca oleh hati dan
perasaan, sedang robot dalam mengambil
keputusan hanya berdasar pada kemungkinan yang telah ada di program,
kemungkinan dengan menggunakan angka-angka mati.
Asbak disebut asbak
oleh orang yang berpendidikan tinggi, pun anak kecil juga menyebut asbak. Lalu
apa bedanya.
Yang bisa membedakan ketika akademisi mampu menemukan idenya sendiri, bukan sekedar copy paste. Kemudian mengisi ingatannya dengan hal yang telah dibuktikan
sendiri, berkiblat pada diri sendiri, bukan berkiblat pada umumnya yang belum
tentu kebenarnya (nabi Muhammad SAW andai berkiblat pada ajaran umumnya di waktu
itu, tentu beliau akan memberi ajaran seperti
ajaran yang di bawa oleh nabi Isa as, karena umumnya di waktu itu adalah
ajaran yang di bawa nabi Isa, dan tentu tidak akan pernah ada Al-Qur’an).
Berapa persen memori dalam kepala kita yang telah tertanam dari apa yang kita
sendiri pernah membuktikan. Berapa persen memori di kepala kita yang tertanam
dari sesuatu yang katanya (walaupun itu teori ilmiah jika belum terbukti tidak
bisa kita benarkan, dengan alasan teori hanya selalu bagus dipenyampaiaan dan
akan tetap menjadi teori sebelum semua terbuktikan, dan kebenaran menyata
setelah terjadi bukti) sekedar contoh kuburan katanya berhantu, sedang kita tak
pernah membuktikan namun selalu takut ketika memasuki kuburan di malam hari”
Aku menghentikan kalmiat, sementara semua mata sedang
menatapku. Abah Wahab tertawa sambil membuang abu rokok pada asbak yang
dibicarakan tadi “ aku menyebut ini bukan korek api (Abah Wahab mengganti nama
ASBAK tersebut dengan nama BUKAN KOREK API ), dan kalimat BUKAN KOREK API aku jadikan nama
untuk tempat membuang abu rokok, setidaknya penyebutanku tidak sama dengan cara
kebanyakan orang alias tidak mengcopy dari umumnya orang menyebut” Abah wahab
kali ini tertawanya makin keras lagi.
Rupanya Yusni
dikadali oleh Abah Wahab, memang terasa seolah merendahkan, tapi menurutku Abah
Wahab sedang mencoba mengingatkan Yusni untuk bisa membuka ide-idenya sendiri
yang serba mungkin, yang selama ini terkurung oleh pengetahuan hasil copy
akademis. Abah Wahab secara sadar telah membunuh pengetahuan Yusni demi membangkitkan pengetahuan baru,yang lebih sehat, pengetahuan yang
terungkap dari sisi dalam Yusni bukan sekedar copy dari orang-orang pintar
terdahulu yang belum tentu kebenarannya. Untuk berani mengatakan inilah caraku,
inilah optimisku, dan aku telah membuktikan sendiri, bukan sekedar copy.
Jika kita sadar, memang terlalu banyak kita mempercayai sesuatu yang keluar dari
mulut orang lain, sementara orang yang kita percaya itu belum tentu pernah
membuktikan apa yang diucapkannya.
Soeharto sukses memimpin negara Indonesia
dan disegani ketika menggunakan cara dia
sendiri, cara timur. Bukan cara Amerika yang seolah dijadikan kiblat sytem
kepemerintahan. Bukan pula cara tempat matahari tenggelam, melainkan cara
tempat matahari terbit. Bali sukses dengan cara menjadi Bali bukan menjadi
selain Bali.