":...Ada yang menggeser pohon pembatas antara Tanah Luar dengan Tanah
Dalam, dan kita berada di Tanah Luar yang berbatasan langsung tentu
akan merasa kurang enak karena pohon pembatas itu bergeser kearah
Tanah Dalam, walaupun mereka tak menuduh kita secara..." Nungkai
menghentikan kalimat.
"Ada apa Nung..." belum lagi melanjutkan kalimatnya namun tangan
Nungkai telah menyentuh pundak Beng, tanda agar menahan dulu
pertanyaan, pun yang lain sudah faham.
Udara dingin terbawa angin masuk kedalam ruang, hanya sunyi dan tak
terjadi apapun.
"Seharusnya tamu mengucapkan salam sebelum masuk ruang" suara Nungkai
memecah menimbulkan sedikit gema.
Belum lagi selesai tanya dalam hati namun suara parau setengah tawa
telah tepat berada disebelah kiri Dimah hingga mengagetkannya lebih
awal.
"Masalah, ya... Masalah, kami yang orang Tanah Dalam tidak sebersitpun
menganggap pergeseran itu sebagai masalah. Masalah tak akan pernah ada
kecuali kepada orang yang memang bermasalah, selama seseorang tidak
bermasalah maka masalah itu tak pernah ada. Jangan kau ambil hati
ucapanku saudaraku" ucap Lehar sambil meletakkan ranting kering diatas
meja.
Kehadiran Lehar sangat mengejutkan yang lain, mereka tak tahu kapan
kehadiran Lehar, semua terbungkam seolah kelu lidah. Apalagi Dimah,
bahkan untuk bernafaspun dia rasa tak mampu.
Suasana perselisihan terselubung terasa kental, Nungkai terdiam, dia
sangat tahu diri jika harus berhadapan dengan Lehar yang sangat
kesohor di Tanah Luar. Menurut kabar Lehar telah berusia 190 tahun,
desas-desusnya beliau sudah tidak lagi ada di alam nyata, namun malam
itu mungkin tak akan bisa dilupakan oleh semua yang hadir, mereka baru
kali ini bisa bertatap muka dengan seorang legenda, namun tidak bagi
Nungkai.
Tak seperti nama besarnya, Lehar hanya memiliki tubuh yang kecil,
mungkin tinnginya tak lebih dari 155 cm, tidak terlalu kurus, dengan
warna kulit yang terlalu pucat. Ada sangat jelas bahwa Lehar adalah
orang yang terlalu banyak menghabiskan waktu sendirian.
"Urip..., aku turut berduka atas tewasnya Arya, dia sudah aku
peringatkan waktu itu, tapi dia keras kepala, dia terlalu lemah
dihadapan Wahab pun Yana. Rupanya aku telah salah dengan mengirim Dewi
untuk membantu Arya, Dewi...,bernasib tak jauh beda dengan Arya.
Apa kau juga akan memilih jalan seperti Arya?
Dan kau Narang, putra dari Ladu yang kesohor dipengobatan. Mengapa kau
harus memilih berkumpul disini? seharusnya kau dirumah, damailah dalam
keluarga, disana kau lebih berguna"
Apapun yang diucapkan Lehar terasa sangat menekan dan menimbulkan
firasat yang sangat buruk, hanya Nungkai yang terlihat mulai tenang,
bahkan wajah Nungkai telah berubah licik.
"Nungkai, keputusan tersulit bukanlah menghadapi mati, namun bagaimana
kita sadar bahwa untuk hiduppun kita tidak berhak. Tak perlu kau
repot, aku tidak akan lama, simpan mantramu, aku bukan orang yang
bermasalah, tentu aku tak memiliki masalah yang bisa aku tinggalkan
disini. Cukup kau tahu itu" Lehar menggakhiri kalimat dengan senyum
yang ramah tapi membersit arti yang lain.
Dalam, dan kita berada di Tanah Luar yang berbatasan langsung tentu
akan merasa kurang enak karena pohon pembatas itu bergeser kearah
Tanah Dalam, walaupun mereka tak menuduh kita secara..." Nungkai
menghentikan kalimat.
"Ada apa Nung..." belum lagi melanjutkan kalimatnya namun tangan
Nungkai telah menyentuh pundak Beng, tanda agar menahan dulu
pertanyaan, pun yang lain sudah faham.
Udara dingin terbawa angin masuk kedalam ruang, hanya sunyi dan tak
terjadi apapun.
"Seharusnya tamu mengucapkan salam sebelum masuk ruang" suara Nungkai
memecah menimbulkan sedikit gema.
Belum lagi selesai tanya dalam hati namun suara parau setengah tawa
telah tepat berada disebelah kiri Dimah hingga mengagetkannya lebih
awal.
"Masalah, ya... Masalah, kami yang orang Tanah Dalam tidak sebersitpun
menganggap pergeseran itu sebagai masalah. Masalah tak akan pernah ada
kecuali kepada orang yang memang bermasalah, selama seseorang tidak
bermasalah maka masalah itu tak pernah ada. Jangan kau ambil hati
ucapanku saudaraku" ucap Lehar sambil meletakkan ranting kering diatas
meja.
Kehadiran Lehar sangat mengejutkan yang lain, mereka tak tahu kapan
kehadiran Lehar, semua terbungkam seolah kelu lidah. Apalagi Dimah,
bahkan untuk bernafaspun dia rasa tak mampu.
Suasana perselisihan terselubung terasa kental, Nungkai terdiam, dia
sangat tahu diri jika harus berhadapan dengan Lehar yang sangat
kesohor di Tanah Luar. Menurut kabar Lehar telah berusia 190 tahun,
desas-desusnya beliau sudah tidak lagi ada di alam nyata, namun malam
itu mungkin tak akan bisa dilupakan oleh semua yang hadir, mereka baru
kali ini bisa bertatap muka dengan seorang legenda, namun tidak bagi
Nungkai.
Tak seperti nama besarnya, Lehar hanya memiliki tubuh yang kecil,
mungkin tinnginya tak lebih dari 155 cm, tidak terlalu kurus, dengan
warna kulit yang terlalu pucat. Ada sangat jelas bahwa Lehar adalah
orang yang terlalu banyak menghabiskan waktu sendirian.
"Urip..., aku turut berduka atas tewasnya Arya, dia sudah aku
peringatkan waktu itu, tapi dia keras kepala, dia terlalu lemah
dihadapan Wahab pun Yana. Rupanya aku telah salah dengan mengirim Dewi
untuk membantu Arya, Dewi...,bernasib tak jauh beda dengan Arya.
Apa kau juga akan memilih jalan seperti Arya?
Dan kau Narang, putra dari Ladu yang kesohor dipengobatan. Mengapa kau
harus memilih berkumpul disini? seharusnya kau dirumah, damailah dalam
keluarga, disana kau lebih berguna"
Apapun yang diucapkan Lehar terasa sangat menekan dan menimbulkan
firasat yang sangat buruk, hanya Nungkai yang terlihat mulai tenang,
bahkan wajah Nungkai telah berubah licik.
"Nungkai, keputusan tersulit bukanlah menghadapi mati, namun bagaimana
kita sadar bahwa untuk hiduppun kita tidak berhak. Tak perlu kau
repot, aku tidak akan lama, simpan mantramu, aku bukan orang yang
bermasalah, tentu aku tak memiliki masalah yang bisa aku tinggalkan
disini. Cukup kau tahu itu" Lehar menggakhiri kalimat dengan senyum
yang ramah tapi membersit arti yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar