“...ujar datu Yana gerhana peluang terbaik membuka jerat mantra dari monyet keseimbangan dan Nisa telah sepenuhnya menguasai prilaku monyet itu” ujar Dimah.
Senja itu gerimis turun, Urip membiarkan Dimah yang terus
ngoceh juga Kojin yang sibuk menyiapkan bekal. Seberapa besar alasan atas
keraguan Urip jika harus kembali ke persoalan Tanah Luar pun Tanah Dalam tak
pernah bisa Urip sampaikan kepada Dimah.
Urip memungut ranting kering lalu melempar jauh-jauh. Gejala
umum keputusasaan pada laki-laki ketika yang mendapat tekanan dengan kecenderungan melakukan sesuatu yang
tidak berguna sekedar untuk membentuk keseimbangan.
Urip memang bisa membuang jauh dan melupa apa yang pernah ia
raih pun ia tuju, segala pengetahuan, pemahaman atau apa saja dan kemudian ia
mengubah arah kemana ia mau lalu bertingkah seolah tak pernah terlibat. Tapi Urip
tidak pernah bisa melupa nama yang pernah singgah di hatinya. Barangkali itu yang
menjadi alasan Urip mengapa ia berat langkah ketika Dimah menariknya kembali
keurusan Tanah Luar dan Tanah Dalam.
Sedang belumlah sepenuh seperti yang terlihat, seolah Urip
menemukan hal baru yang bisa mengubah cara hidup. Justru yang ada malah
ingatannya penuh akan semua yang pernah ia lalui bersama. Dan kekacauan timbul disisi
lain dari kesadarannya yang jelas mengatakan bertemu orang yang dulu selalu
berbagi bincang dan tawa terasa hanya mengajaknya tenggelam. Bukan pilihan yang
bijak apa yang sedang ia lalui tapi haruskah membawa kedalam pekat.
Urip hanya tahu disana ada perempuan yang telah membuka
pintu syurga untuknya dan Urip tak lebih dari api neraka yang akan
menghanguskan syurga itu sendiri.
“Ah.. Tanah Luar” Urip menyandarkan tubuh menggenggam
sesalnya terasa mengikat nafas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar