3.02.2016

Ragu





“...ujar datu Yana gerhana peluang terbaik  membuka jerat mantra dari monyet keseimbangan dan Nisa telah sepenuhnya menguasai prilaku monyet itu” ujar Dimah.
Senja itu gerimis turun, Urip membiarkan Dimah yang terus ngoceh juga Kojin yang sibuk menyiapkan bekal. Seberapa besar alasan atas keraguan Urip jika harus kembali ke persoalan Tanah Luar pun Tanah Dalam tak pernah bisa Urip sampaikan kepada Dimah.
Urip memungut ranting kering lalu melempar jauh-jauh. Gejala umum keputusasaan pada laki-laki ketika yang mendapat tekanan  dengan kecenderungan melakukan sesuatu yang tidak berguna sekedar untuk membentuk keseimbangan.  
Urip memang bisa membuang jauh dan melupa apa yang pernah ia raih pun ia tuju, segala pengetahuan, pemahaman atau apa saja dan kemudian ia mengubah arah kemana ia mau lalu bertingkah seolah tak pernah terlibat. Tapi Urip tidak pernah bisa melupa nama yang pernah singgah di hatinya. Barangkali itu yang menjadi alasan Urip mengapa ia berat langkah ketika Dimah menariknya kembali keurusan Tanah Luar dan Tanah Dalam.
Sedang belumlah sepenuh seperti yang terlihat, seolah Urip menemukan hal baru yang bisa mengubah cara hidup. Justru yang ada malah ingatannya penuh akan semua yang pernah ia lalui bersama. Dan kekacauan timbul disisi lain dari kesadarannya yang jelas mengatakan bertemu orang yang dulu selalu berbagi bincang dan tawa terasa hanya mengajaknya tenggelam. Bukan pilihan yang bijak apa yang sedang ia lalui tapi haruskah membawa kedalam pekat.
Urip hanya tahu disana ada perempuan yang telah membuka pintu syurga untuknya dan Urip tak lebih dari api neraka yang akan menghanguskan syurga itu sendiri.
“Ah.. Tanah Luar” Urip menyandarkan tubuh menggenggam sesalnya terasa mengikat nafas.

Tidak ada komentar:

Mengambil Gambar

Aku sempatkan mengambil gambar sederhana  pagi tadi. Sekedar rumput yang tumbuh di pinggir jalan. Aku gunakan lensa canon 55 - 250mm pula ap...