Kecepatan hanya 50/km, tak ingin tergesa untuk sampai di desa
Karang yang menjadi tujuan akhir Urip untuk menurunkan barang pesanan pelanggan.
Udara masih terasa agak gerah sedang ac pendingin sudah berada di level
maksimal. Perjalanan rutin yang membosankan melalui perkebun sawit milik perusahaan
dari orang-orang kaya dan jika tidak itu maka galian sangat dalam dan lebar
bekas dari pegerukan batu-bara. Sisanya hanya lahan-lahan kecil milik rakyat
yang tak begitu luas. Negeri yang kaya bagi orang yang memaknai hidup dengan
arti menumpuk kekayaan.
Di depan surau Urip berhenti, rasa penat memaksanya untuk turun sekedar melemaskan
otot karena sudah setengah hari lebih duduk di belakang kemudi.
Berteduh di bawah pohon asam menjadi pilihan yang paling nyaman apalagi angin mulai semilir
menghibur membawa aroma wangi tipis kembang kopi dari perkebunan. Urip
memandang jauh ke awan di langit biru, ada
yang terusik dari kesadarannya ketika wangi kembang kopi itu tercium semakin kuat,
ingatan tentang tanah dalam.
Ada terlalu banyak hal dari kebersamaan dengan orang-orang
yang telah ditinggalkan. Dan ketika Urip memandangi beberapa luka di tubuh, ia
tersenyum, luka yang akan selalu diingat, tapi sesaat kemudian wajah Urip
berubah, ia menjadi tampak pucat, jelas menggambar sebagian dosa bangkit,
luka yang dipandangi tadi kelihatannya berubah menjadi kutuk dan menghukum. Rupannya Urip lebih dalam mengingat perjalan yang telah ia lalui, ada banyak hal yang
telah pernah ia lakukan hingga menyakiti orang-orang yang ia cintai. Sekarang
semua kenangan menyesak, memenuhi sadar hingga terasa berat nafas Urip. Rasa sesal yang barangkali akan abadi. Bagaimana tidak, Urip telah membuat orang yang di cintai menangis, Urip sadar akan
kebodohannya, dia telah membiarkan orang yang dicintai menunggu.
Waktu terus mengalir menghanyutkan Urip. Sedang
disetiap sepi hangat nafas dari orang yang ia cintai masih terlalu dekat dengan
telinga.
Urip bersandar dan memejamkan mata dan tak tahu harus apa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar