Malam telah tinggi tapi gerimis masih belum mau berhenti di kota Batulicin. Di balkon atas dari penginapan sederhana tepi kota Urip sengaja membiarkan waktu terus mengalir bersama Andi juga Uji. Walau bukan akhir pekan dan jelas pekerjaan esok hari menunggu ketiganya tampak tak hirau.
" Sebulan yang lalu salah satu dari mahasiswaku mengajukan pertanyaan yang sebenarnya hampir tak pernah aku tahu jawaban secara tepat. Dia menanyakan relefansi dari kebijakan ekonomi pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah anjloknya pasar global. Pula dia tanyakan perubahan pola yang terbentuk dari mekanisme pasar dan dampaknya terhadap ekonomi mikro yang jelas menyentuh langsung kehidupan masyarakat" Ujar Uji
Sambil menahan pedih mata dari asap rokok yang di hisap Andi berusaha mengajak Uji untuk melupa apa yang mengganggu pikiran
"Sudahlah, hampir semua sektor di negeri ini tertekan. Jika berkaitan dengan ekonomi maka para pelaku usaha yang diingat hanya hutang-piutang, tentu itu akan meninggikan tensi. Sudah jelas sekarang serba tak menentu sedang kewajiban tehadap perbankkan sudah tentu harus mereka selesaikan" ujar Uji.
Tawa Urip keras terdengar, tawa yang lebih menunjukkan pada dia tak mau kalah, tawa yang lebih pada mengajak kedua temannya untuk menjadikan pembicaraan lebih ringan.
Benar setelah itu ketiganya bisa tertawa menertawai apa yang baru mereka bicarakan sendiri, terasa melapang.
Sudah hampir jam 3 tapi gerimis masih tak henti.
"Besok ada tamu dari Jakarta dan aku seharus datang ke kantor. Kabarnya GM jakarta yang akan turun kesini dan kabarnya lagi akan diadakan perombakan menegemen. Tahun kemarin dan sampai saat inipun memang sangat berat, penjualan merosot. Itu terjadi di seluruh distributor di Indonesia. Apalagi Fort yang tak terduga hengkang dari Indonesia, sedang fort termasuk rekan pengguna produk kami yang cukup tinggi permintaanya.
Ya sudahlah, mungkin sejam lagi aku akan pulang ke Banjarmasin" ujar Andi dengan nada rendah menunjukkan sudah dia kelelahan.
"Kita tak akan pernah tahu esok bahkan kaum analis yang kesohorpun kesulitan menentukan variabel yang memungkinkan untuk dianalisa, mereka saat ini hanya bisa membuat prediksi yang masih mengambang. Aku tidak lagi menggunakan kemungkinan. Aku juga gelap, tapi percalalah setiap dari detik putaran waktu akan ada hal baru dan masing-masing dari kita siap apa tidak tetap harus berbentur dengan hal baru.
Masing-masing dari kita memiliki kecerdasan yang kita sendiri hampir tak pernah sadari, kita punya autoproteksi terhadap setiap kemungkinan buruk. Kau , aku pun yang lain sama.
Barangkali aku terlambat terhadap apa yang sekarang aku sadari, aku gagal justru karena akademis yang telah tertanam di otakku terlalu sering mengambil alih keputusan. Aku terlalu banyak pertimbangan yang justru mematikan langkahku, aku tak pernah bisa all aout. Walau aku sadar jika akademis hanya piranti pendukung dan yang seharusnya dominan kemampuan adaptasi tapi apa nyatanya, aku tetap tak bisa seperti yang aku telah pahami.
Aku tahu jika banyak dari pengusaha sukses atau mereka yang berhasil mencapai apa yang diinginkan justru bukanlah orang yang memiliki latar belakang kemampuan akademis. Mereka yang berhasil justru mereka yang memiliki kesederhanaan, justru mereka yang tak memiliki kemampuan presentatif.
Kesadaranku yang terlambat. Sudahlah, esok adalah esok dan jika aku makin tenggelam biar tenggelam sedalam-dalamnya. Setidaknya aku masik memiliki auto proteksi terhadap kemungkinan buruk " Urip mengakhiri pembicaraan bersamaan dengan dia berdiri lalu membuang puntung rokok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar