Datu Yana menyalakan tiga bilah dupa lidi kemudian menancapkan pada mangkok yang berisi beras. Kopi manis, kopi pahit, kelapa, gula merah, jajanan juga ayam jantan yang sudah dipotong jadi satu dalam nampan besar.
Kojin menunduk dengan menyatukan kedua tangannya di dada, sedang rosario terselip menjuntai diantara tangannya.
"Tuhan Bapa yang ada di surga berkatilah kami" ucap Kojin lirih.
Dimah paham jika Kojin mulai meninggikan rasa was. Sedang sang datu hanya kecut melihat Kojin terburu, sedang masih belum ada yang perlu dihawatirkan.
"Benarkah arwah Arya akan bisa datang" bisik Kojin pada Dimah.
"Entah, kita tunggu saja"
Dimah juga mulai was tapi rasa penasaran lebih menguasai sehingga dia tampak lebih tenang.
Tanah juga rumput masih basah sisa dari air hujan sejam yang lalu, burung-burung tampak pulang menuju peristirahatan malam, pula matahari tenggelam bersama langit yang memerah. Dari jauh terdengar kumandang adzan sayup terbawa tiup angin yang menerpa lembut ketiganya.
"Kau ragu" suara setengah berbisik terdengar di telinga kanan, Kojin menoleh ke arah Dimah untuk memastikan apa yang baru didengar, namun Kojin meragu setelah melihat posisi Dimah yang agak jauh, lagipula Dimah sedang sibuk mencari sesuatu dari dalam tas. Kecil kemungkinan suara itu berasal dari Dimah. Makin jauh lagi kemungkinan suara itu datang dari datu yang jelas berada di depan Kojin lagipula datu sibuk menari sambil mulutnya meranyau membaca mantra.
Waktu merambat mengantar remang menuju gelap sebentar lagi malam, udara terasa berubah lebih hangat.
Kejut terulang pada Kojin ketika membuka pejam mata dan mendapati datu sudah menari bersama perempuan yang terus mengumbar senyum dan sesekali tertawa ringan. Tari keduanya makin cepat dan tak teratur tapi tawa perempuan itu lambat laun terdengar berubah seperti tangis. Datu Yana melambat kemudian berhenti mengakhiri tari sedang mulutnya masih tetap mengucap mantra sedang perempuan itu malah mempercepat tarian dengan makin meninggikan jerit. Aroma dupa makin menyebar, entah mengapa rasanya Kojin seperti terhanyut untuk ikut menari. Dimah segera meraih Kojin. Dimah merasa jika itu bukan sesuatu yang wajar.
"Apa yang kau ragukan, aku tahu apa yang kau rasakan, mintalah kepadaku maka akan aku penuhi apa yang kau mau" ucap perempuan itu.
"Siapa kau?" Dimah mundur tiga langkah menjauh.
"Dewi, aku Dewi. Kau ingin bukti?"
Perempuan itu mendekati Kojin dengan tak sedikitpun ragu membuka gaun bermotif bunga-bunga warna ungu dengan dasar kremnya tepat dihadapan Kojin.
Kulit kuning langsat dengan buah dada yang tak terlalu besar bersih menggoda juga senyum lembut mengghias bibir membuat Kojin lemah. Tapi tidak dengan apa yang Dimah lihat. Punggung perempuan itu penuh luka, seperti luka bakar membentuk rajah. Jelas didominasi huruf arab tapi juga tak sedikit huruf jawa.
"Waktu itu aku diikat dan kemudian dibakar menggunakan mantra. Lebih lagi dengan Arya. Dia dipukuli dan dibakar hidup-hidup oleh orang-orang yang merasa dirinya benar dengan mengatasnamakan agama. Arya tewas pun aku hasilnya seperti apa yang kau lihat di punggungku sekarang, sakitnya masih aku rasakan sekatang"
Sambil menutup lagi tubuhnya perempuan itu kembali mendekati Dimah.
"Arya bukanlah orang yang pintar, dia berubah sedikit lebih cerdas setelah bertemu seorang gadis benama Kemala. Semenjak kebersamaannya dengan Kemala banyak perubahan pada pola pikir Arya. Kemala menuntun Arya pada budaya.
Ya, kemudian mereka melibatkan perasaan dan segalanya menjadi tak mudah. Arya bukanlah orang yang memiliki latar belakang jelas. Asal dari hutan tentu dasar tatanan sosial tak banyak menahan rasa cintanya. Arya hanya tahu rasa cinta namun tidak bagi Kemala. Sangat sulit.
Setinggi apa Arya mencinti Kemala maka setinggi itu pula rasa sakit yang Kemala rasakan" ujar perempuan itu.
Cerita resiko pahitnya cinta dari Kemala yang Dewi ceritakan membuat Dimah diam.
Kojin menunduk dengan menyatukan kedua tangannya di dada, sedang rosario terselip menjuntai diantara tangannya.
"Tuhan Bapa yang ada di surga berkatilah kami" ucap Kojin lirih.
Dimah paham jika Kojin mulai meninggikan rasa was. Sedang sang datu hanya kecut melihat Kojin terburu, sedang masih belum ada yang perlu dihawatirkan.
"Benarkah arwah Arya akan bisa datang" bisik Kojin pada Dimah.
"Entah, kita tunggu saja"
Dimah juga mulai was tapi rasa penasaran lebih menguasai sehingga dia tampak lebih tenang.
Tanah juga rumput masih basah sisa dari air hujan sejam yang lalu, burung-burung tampak pulang menuju peristirahatan malam, pula matahari tenggelam bersama langit yang memerah. Dari jauh terdengar kumandang adzan sayup terbawa tiup angin yang menerpa lembut ketiganya.
"Kau ragu" suara setengah berbisik terdengar di telinga kanan, Kojin menoleh ke arah Dimah untuk memastikan apa yang baru didengar, namun Kojin meragu setelah melihat posisi Dimah yang agak jauh, lagipula Dimah sedang sibuk mencari sesuatu dari dalam tas. Kecil kemungkinan suara itu berasal dari Dimah. Makin jauh lagi kemungkinan suara itu datang dari datu yang jelas berada di depan Kojin lagipula datu sibuk menari sambil mulutnya meranyau membaca mantra.
Waktu merambat mengantar remang menuju gelap sebentar lagi malam, udara terasa berubah lebih hangat.
Kejut terulang pada Kojin ketika membuka pejam mata dan mendapati datu sudah menari bersama perempuan yang terus mengumbar senyum dan sesekali tertawa ringan. Tari keduanya makin cepat dan tak teratur tapi tawa perempuan itu lambat laun terdengar berubah seperti tangis. Datu Yana melambat kemudian berhenti mengakhiri tari sedang mulutnya masih tetap mengucap mantra sedang perempuan itu malah mempercepat tarian dengan makin meninggikan jerit. Aroma dupa makin menyebar, entah mengapa rasanya Kojin seperti terhanyut untuk ikut menari. Dimah segera meraih Kojin. Dimah merasa jika itu bukan sesuatu yang wajar.
"Apa yang kau ragukan, aku tahu apa yang kau rasakan, mintalah kepadaku maka akan aku penuhi apa yang kau mau" ucap perempuan itu.
"Siapa kau?" Dimah mundur tiga langkah menjauh.
"Dewi, aku Dewi. Kau ingin bukti?"
Perempuan itu mendekati Kojin dengan tak sedikitpun ragu membuka gaun bermotif bunga-bunga warna ungu dengan dasar kremnya tepat dihadapan Kojin.
Kulit kuning langsat dengan buah dada yang tak terlalu besar bersih menggoda juga senyum lembut mengghias bibir membuat Kojin lemah. Tapi tidak dengan apa yang Dimah lihat. Punggung perempuan itu penuh luka, seperti luka bakar membentuk rajah. Jelas didominasi huruf arab tapi juga tak sedikit huruf jawa.
"Waktu itu aku diikat dan kemudian dibakar menggunakan mantra. Lebih lagi dengan Arya. Dia dipukuli dan dibakar hidup-hidup oleh orang-orang yang merasa dirinya benar dengan mengatasnamakan agama. Arya tewas pun aku hasilnya seperti apa yang kau lihat di punggungku sekarang, sakitnya masih aku rasakan sekatang"
Sambil menutup lagi tubuhnya perempuan itu kembali mendekati Dimah.
"Arya bukanlah orang yang pintar, dia berubah sedikit lebih cerdas setelah bertemu seorang gadis benama Kemala. Semenjak kebersamaannya dengan Kemala banyak perubahan pada pola pikir Arya. Kemala menuntun Arya pada budaya.
Ya, kemudian mereka melibatkan perasaan dan segalanya menjadi tak mudah. Arya bukanlah orang yang memiliki latar belakang jelas. Asal dari hutan tentu dasar tatanan sosial tak banyak menahan rasa cintanya. Arya hanya tahu rasa cinta namun tidak bagi Kemala. Sangat sulit.
Setinggi apa Arya mencinti Kemala maka setinggi itu pula rasa sakit yang Kemala rasakan" ujar perempuan itu.
Cerita resiko pahitnya cinta dari Kemala yang Dewi ceritakan membuat Dimah diam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar