Tak pernah indah sebenarnya melihat wajahnya yang makin memucat, bodohnya aku mempercayai bibirnya yang lembut mengatakan jika tarian ini kosong tanpa mantra.
Sedang yang aku saksikan justru wajahnya menggambar garis luka, gaun dari bulu merak yang dulu indah dikenakan jadi terasa buram, terkena hembusan teluh penguasa sisi gelap.
Dia masih menari dengan gemulai, tarian teatrikal kadang menusuk, kadang mengundang senyum penonton, biola pengiring ikut mengaduk perasaan diantara asap ringan yang bergerak menyuguhkan aroma dupa, aku terhipnotis oleh ritme gerak yang makin meninggi, terlihat senyum terus diumbar.
Mendadak terkejut aku ketika melihat sorot matanya yang lebih berbicara dari gerak tari yang dimainkan, senyum yang tadi lembut indah ternyata diiringi kalimat puja . Bukan lagi sekedar tarian cerdas.
Masih aku bertanya mengapa dia berikan ruang untuk dewi asmara untuk mengibas-ngibaskan ekornya yang tampak manis sedang setengah dari taringnya tersumbul menawarkan bisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar