"Tak mau berpihak sama sekali tak seperti yang orang lain jalani, entah mengapa jalanku terasa sulit sedang orang lain terlihat mudah mengambil pilihan dalam hidup, entah mengapa rasanya hanya aku yang tidak bisa memilih untuk banyak pilihan, seharusnya aku bisa memilih tapi mengapa yang aku ingin raih hanya seperti asap yang tak pernah bisa aku tangkap.
Peduli apa dengan mimpi, aku hanya dalam gerbong kereta yang terus berjalan, lajunya tak pernah bisa aku hentikan dan juga merubah arah. Aku hanya bisa melihat yang aku suka dari setiap yang aku lalui dari balik jendela. Ah, sudahlah"
Dimah tak terlalu bersemangat untuk lebih jauh.
"Dulu semasa prasekolah aku ingin sekali menjadi superman, kemudian ketika sudah sekolah dasar setiap ditanya apa cita-citaku maka aku selalu menjawab ingin menjadi guru.
Itu dulu, sekarang aku bukan anak kecil lagi tentu, aku sudah terlalu tua dan kenyataannya aku tak pernah menjadi guru apalagi superman. Aku tak pernah bisa menjadi apapun aku hanya hanyut tak tentu arah, entah kemana. Aku tetap aku seperti yang ada dihapanmu.
Bahkan jika kau tahu Beng yang begitu menyatu dengan kehidupan laut yang sangat menjiwai pelayaran pernah menceritakan padaku jika semasa muda dia sangat ingin bekerja di post indonesia sebagai pengantar surat, bahkan dia dulu sangat takut dengan gelombang laut.
Kita menyangka laut adalah pilihan Beng, kita salah, Beng pernah bilang jika dia terjebak oleh langkahnya sendiri dan berakhir pada suka apa tidak dia harus berusaha menjalani dengan seluruh kemampuan yang dia miliki.
Barangkali aku, Beng, Urip dan mungkin banyak sekali manusia tidak beruntung yang memiliki nasib tak jauh beda denganmu. Tak bisa memilih jalan hidup seperti yang mereka, aku pun kamu mau" ujar Kojin yang mulai sadar jika pembicaraan sudah tidak perlu dilanjutkan.
"Ada apa dengan Urip, mengapa dia lebih pendiam akhir-akhir ini?" tanya Dimah berusaha memecah suasana yang terasa sulit dilarut.
"Andai aku tahu"
Peduli apa dengan mimpi, aku hanya dalam gerbong kereta yang terus berjalan, lajunya tak pernah bisa aku hentikan dan juga merubah arah. Aku hanya bisa melihat yang aku suka dari setiap yang aku lalui dari balik jendela. Ah, sudahlah"
Dimah tak terlalu bersemangat untuk lebih jauh.
"Dulu semasa prasekolah aku ingin sekali menjadi superman, kemudian ketika sudah sekolah dasar setiap ditanya apa cita-citaku maka aku selalu menjawab ingin menjadi guru.
Itu dulu, sekarang aku bukan anak kecil lagi tentu, aku sudah terlalu tua dan kenyataannya aku tak pernah menjadi guru apalagi superman. Aku tak pernah bisa menjadi apapun aku hanya hanyut tak tentu arah, entah kemana. Aku tetap aku seperti yang ada dihapanmu.
Bahkan jika kau tahu Beng yang begitu menyatu dengan kehidupan laut yang sangat menjiwai pelayaran pernah menceritakan padaku jika semasa muda dia sangat ingin bekerja di post indonesia sebagai pengantar surat, bahkan dia dulu sangat takut dengan gelombang laut.
Kita menyangka laut adalah pilihan Beng, kita salah, Beng pernah bilang jika dia terjebak oleh langkahnya sendiri dan berakhir pada suka apa tidak dia harus berusaha menjalani dengan seluruh kemampuan yang dia miliki.
Barangkali aku, Beng, Urip dan mungkin banyak sekali manusia tidak beruntung yang memiliki nasib tak jauh beda denganmu. Tak bisa memilih jalan hidup seperti yang mereka, aku pun kamu mau" ujar Kojin yang mulai sadar jika pembicaraan sudah tidak perlu dilanjutkan.
"Ada apa dengan Urip, mengapa dia lebih pendiam akhir-akhir ini?" tanya Dimah berusaha memecah suasana yang terasa sulit dilarut.
"Andai aku tahu"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar