"Dan kau sekarang mencoba untuk lari dari kesepakatan, sedang kau sadar jika tidak akan dengan mudah iblis membiarkanmu ingkar dari perjanjian yang telah kau buat dengannya.
Kini kau sadar perempuan itu telah tak hirau, yang dia tahu hanya kau seharusnya ada, apapun itu. Dia hanya tahu kau yang seharusnya selalu akan menjadi tempat membuang rasa sakit dan sesak disetiap hela nafas, tanpa peduli lagi kau hirau atau tak.
Mengapa kau harus lari?
Bukankah kau pun dia waktu itu dengan lantang telah pernah berani memuji, mencaci, ketika dalam kebersamaan menumpah isi hati dan perasaan dengan sepenuh. Bukankah kau dulu selalu meniupkan mantra yang kau curi dari pohon terlarang milik para dewa, hingga kau sertakan puja teluh disetiap hembus nafasmu ketika tiba sunyi malam"
Hembusan angin yang menerbangkan daun kering mempertegas musim kemarau. Sedang Urip yang hanya bisa terdiam lebih pada mempertegas kebodohannya.
Kini kau sadar perempuan itu telah tak hirau, yang dia tahu hanya kau seharusnya ada, apapun itu. Dia hanya tahu kau yang seharusnya selalu akan menjadi tempat membuang rasa sakit dan sesak disetiap hela nafas, tanpa peduli lagi kau hirau atau tak.
Mengapa kau harus lari?
Bukankah kau pun dia waktu itu dengan lantang telah pernah berani memuji, mencaci, ketika dalam kebersamaan menumpah isi hati dan perasaan dengan sepenuh. Bukankah kau dulu selalu meniupkan mantra yang kau curi dari pohon terlarang milik para dewa, hingga kau sertakan puja teluh disetiap hembus nafasmu ketika tiba sunyi malam"
Hembusan angin yang menerbangkan daun kering mempertegas musim kemarau. Sedang Urip yang hanya bisa terdiam lebih pada mempertegas kebodohannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar