"Tak memerlukan definisi, biar saja berlalu begitu saja, baik atau buruk tak juga aku tahu lagi. Aku hanya tahu bagaimana kewajibanku terbayar dengan uang yang aku kumpulkan sedikit demi sedikit" ujar Urip sambil menyusun barang.
"Kau sangat berubah" ujar Rian
Urip terdiam tak ingin lebih jauh, pilih segera menyusun kembali barang ke dalam mobil sambil mencatat.
"Bagaimana dengan monyet keseimbangan, apa Beng masih disana?" Rian ingin memuaskan rasa ingin tahunya, dia masih penasaran dengan perubahan Urip, berharap Urip masih memiliki sisi seperti yang dahulu pernah mereka lalui bersama. Rian sangat suka kebersamaannya dengan orang-orang yang menurutnya hampir tak nyata, orang-orang yang suka mendebat hal yang sebenarya dia tak pernah faham. Bukan soal apa esensi tapi esistensi mereka terasa membuat arti.
Bersama mereka seolah memasuki dunia yang berbeda.
"Benarkah monyet keseimbangan itu ada bersama perempuan yang juga ahli kitab?" usaha Rian masih tak henti.
Urip terpengaruh jua, rasa tak teganya menghentikan kekakuan yang ia buat.
"Rian, hidup berarti gerak tumbuh kembang. Aku juga hidup dan aku akan berubah seiring waktu. Masih, mereka semua ada dalam kehidupanku tapi terkadang kita bisa terlempar pada kondisi yang jauh tak terduga. Terkadang waktu mengilas kita dengan pola yang membuat kita harus memilih.
Nah dari masing-masing kita telah dibekali Tuhan kemampuan beradaptasi dengan setiap perubahan yang di bawa oleh sang waktu.
Kita boleh memilih, bertahan pada keadaan atau mengikuti waktu"
Urip menghela nafas mengingat Beng juga semua sahabat.
"Sudahlah ini sudah hampir jam 12, jam 2 malam ini aku harus naik menuju Kereng Pange, tinggal dua jam lagi sedang aku masih harus menyelesaikan susunan barang sebelum istirahat"
Kabut asap mulai turun, angin malam tipis membawa dingin. Rian tak lagi mampu mengusik, dia tahu Urip tak ingin berbagi. Rian hanya bisa menyalakan rokok untuk mengurangi rasa kecewanya.
"Kau sangat berubah" ujar Rian
Urip terdiam tak ingin lebih jauh, pilih segera menyusun kembali barang ke dalam mobil sambil mencatat.
"Bagaimana dengan monyet keseimbangan, apa Beng masih disana?" Rian ingin memuaskan rasa ingin tahunya, dia masih penasaran dengan perubahan Urip, berharap Urip masih memiliki sisi seperti yang dahulu pernah mereka lalui bersama. Rian sangat suka kebersamaannya dengan orang-orang yang menurutnya hampir tak nyata, orang-orang yang suka mendebat hal yang sebenarya dia tak pernah faham. Bukan soal apa esensi tapi esistensi mereka terasa membuat arti.
Bersama mereka seolah memasuki dunia yang berbeda.
"Benarkah monyet keseimbangan itu ada bersama perempuan yang juga ahli kitab?" usaha Rian masih tak henti.
Urip terpengaruh jua, rasa tak teganya menghentikan kekakuan yang ia buat.
"Rian, hidup berarti gerak tumbuh kembang. Aku juga hidup dan aku akan berubah seiring waktu. Masih, mereka semua ada dalam kehidupanku tapi terkadang kita bisa terlempar pada kondisi yang jauh tak terduga. Terkadang waktu mengilas kita dengan pola yang membuat kita harus memilih.
Nah dari masing-masing kita telah dibekali Tuhan kemampuan beradaptasi dengan setiap perubahan yang di bawa oleh sang waktu.
Kita boleh memilih, bertahan pada keadaan atau mengikuti waktu"
Urip menghela nafas mengingat Beng juga semua sahabat.
"Sudahlah ini sudah hampir jam 12, jam 2 malam ini aku harus naik menuju Kereng Pange, tinggal dua jam lagi sedang aku masih harus menyelesaikan susunan barang sebelum istirahat"
Kabut asap mulai turun, angin malam tipis membawa dingin. Rian tak lagi mampu mengusik, dia tahu Urip tak ingin berbagi. Rian hanya bisa menyalakan rokok untuk mengurangi rasa kecewanya.