Bulan sembunyi dibalik awan, sedang malam hampir pagi dan dingin tak begitu menusuk tak seperti hari-hari sebelumnya. Beng masih terjaga kehilangan rasa kantuk. Tak ada yang bisa dilakukan kecuali berdiam diri menunggu api yang mulai hampir mati.
Ketika matanya mengarah pada Narang yang sedang lelap ada terbersit pertanyaan kemana arah hidup. Sudah pasti Beng tak akan tahu jawabannya dan hanya menjadi diam yang tak terasa berubah menjadi kecamuk yang perlahan membangkitkan semua ingatannya tentang Ladu, ayah dari Narang. Seorang tokoh pengobatan tradisional yang namanya sudah menggaung namun Ladu sendiri masih merasa dirinya sangat jauh dari ekspektasi peracik ramuan. Ladu yang selalu merasa diri hanya dukun kampung dan tak lebih.
Seharusnya Narang ada dirumah ada diantara anak dan istri dan bukan disini. Beng merasa sekali jika Narang hanya terserat alur dari orang-orang yang mengagungkan intuisi untuk mengetahui sesuatu bukan berdasar investigasi. Orang-orang yang membawa kehidupan pada kondisi lampau.
"Tak tidur Beng?" suara Dimah sedikit membuat kejut Beng.
"Sudah aku coba" sahut Beng.
Dimah perlahan menata kesadaran mengetahui kondisi Beng yang masih terjaga. Seharusnya Beng sudah beristirahat dengan tidur. Dimah bangkit dari posisi rebah mencoba untuk duduk, namun sudah tidak terlalu berat untuk bangkit sehingga Dimah merasa nyaman ketika berdiri dan mendekati Beng untuk ikut duduk dekat dengan api.
"Apa yang mengusik?" tanya Dimah.
Beng tidak segera menjawab tapi hanya tersenyum sambil menambahkan kayu pada api. Beng merasa justru Dimah yang memiliki kerumitan. Pertanyaan Dimah terasa seperti sedang mengasuh dirinya, pun kalau dijawab sekalipun akan terasa Beng yang tak tahu diri.
Beng menarik nafas sambil mengangkat wajah. tampa olehnya sedikit bintang ada di sela awan.
"Bulan-bulan seperti ini biasanya laut tenang. Aku sering menikmati malam bersama ABK diatas dek. Kami berbagi bercerita apa saja. Sering soal kehidupan. Dulu aku berfikir jika daratan bukan hibitat yang cocok untukku. Aku menyangka akan sulit hidup di darat.
Sekarang aku di darat dan sama sekali bukan seperti yang aku bayangkan. Bergabung dengan orang-orang yang memilih jalan tidak seperti kebayakan orang jalani. Aku sama sepertimu yang tertarik prilaku orang-orang yang mengandalkan sihir"
"Bukankah kau memiliki kemampuan itu?"
"Sedikit sekali, bukan seperti yang mereka ceritakan, mereka membesar-besarkan.
Selalu mereka yang hanya mengetahui sedikit justru bisa membuat cerita lebih, seolah dia tahu segala hal, akan tetapi bagi yang sudah mendalami selalu akan tak berani cerita. Ketidak beraniannya menceritakan itu karena dia masuk pada esensi, maka dia akan makin mengetahui bahwa berjuta hal yang belum bisa dia ketahui, sehingga dia merasa apa yang dia telah dapat masih terlalu sedikit. Lalu bagaimana menceritakan jika hanya sedikit yang diketahui.
Sama seperti agama, mereka yang hanya sedikit mengetahui maka dia akan berbicara agama seolah dia saja yang benar.
Urip dulu pernah mengatakan padaku bahwa Islam bukan Arab. Dia mengatakan bahwa kefatalan ketika mayarakat Indonesia memaksakan semua tentang Arab sebagai kebenaran yang setara dengan agama Islam.
Urip selalu menolak yang berbau Arabian, dia merasa Arab telah meracuni bangsanya melalui dalih Islam.
Bagi Urip Islam benar sebagai agama dan rusak ketika ada pendangkalan. Menjadi dangkal ketika bangsanya berbusana gamis. Busana yang sama sekali tidak menunjukkan identitas bangsanya.
Bagi Urip kau tetap Islam ketika tidak makan kurma, kau tetap Islam ketika berbuka puasa dengan hanya makan tempe. Kau tetap Islam ketika berbusana batik.
Ah..., dia memaparkan kebebasan tapi hatinya sendiri masih terbelenggu perempuan, perempuan yang membuatnya setengah gila.
Dia pernah bertanya padaku untuk apa jalinan yang sedang dijalaninya itu" ujar Beng yang tampak mulai lelah.
"Setiap kehadiran memiliki arti, sama seperti matahari. bayangkan jika matahari tiba-tiba ngambek dan berhenti memberikan sinarnya. Bukankah hidup merupakan mata rantai yang tak boleh putus tautannya.
Matahari bagaian dari mata rantai, pun Urip juga kita" jawab Dimah.
Embun samakin terasa seperti gerimis yang lembut dan kini dingin benar-benar menyergap.
Ketika matanya mengarah pada Narang yang sedang lelap ada terbersit pertanyaan kemana arah hidup. Sudah pasti Beng tak akan tahu jawabannya dan hanya menjadi diam yang tak terasa berubah menjadi kecamuk yang perlahan membangkitkan semua ingatannya tentang Ladu, ayah dari Narang. Seorang tokoh pengobatan tradisional yang namanya sudah menggaung namun Ladu sendiri masih merasa dirinya sangat jauh dari ekspektasi peracik ramuan. Ladu yang selalu merasa diri hanya dukun kampung dan tak lebih.
Seharusnya Narang ada dirumah ada diantara anak dan istri dan bukan disini. Beng merasa sekali jika Narang hanya terserat alur dari orang-orang yang mengagungkan intuisi untuk mengetahui sesuatu bukan berdasar investigasi. Orang-orang yang membawa kehidupan pada kondisi lampau.
"Tak tidur Beng?" suara Dimah sedikit membuat kejut Beng.
"Sudah aku coba" sahut Beng.
Dimah perlahan menata kesadaran mengetahui kondisi Beng yang masih terjaga. Seharusnya Beng sudah beristirahat dengan tidur. Dimah bangkit dari posisi rebah mencoba untuk duduk, namun sudah tidak terlalu berat untuk bangkit sehingga Dimah merasa nyaman ketika berdiri dan mendekati Beng untuk ikut duduk dekat dengan api.
"Apa yang mengusik?" tanya Dimah.
Beng tidak segera menjawab tapi hanya tersenyum sambil menambahkan kayu pada api. Beng merasa justru Dimah yang memiliki kerumitan. Pertanyaan Dimah terasa seperti sedang mengasuh dirinya, pun kalau dijawab sekalipun akan terasa Beng yang tak tahu diri.
Beng menarik nafas sambil mengangkat wajah. tampa olehnya sedikit bintang ada di sela awan.
"Bulan-bulan seperti ini biasanya laut tenang. Aku sering menikmati malam bersama ABK diatas dek. Kami berbagi bercerita apa saja. Sering soal kehidupan. Dulu aku berfikir jika daratan bukan hibitat yang cocok untukku. Aku menyangka akan sulit hidup di darat.
Sekarang aku di darat dan sama sekali bukan seperti yang aku bayangkan. Bergabung dengan orang-orang yang memilih jalan tidak seperti kebayakan orang jalani. Aku sama sepertimu yang tertarik prilaku orang-orang yang mengandalkan sihir"
"Bukankah kau memiliki kemampuan itu?"
"Sedikit sekali, bukan seperti yang mereka ceritakan, mereka membesar-besarkan.
Selalu mereka yang hanya mengetahui sedikit justru bisa membuat cerita lebih, seolah dia tahu segala hal, akan tetapi bagi yang sudah mendalami selalu akan tak berani cerita. Ketidak beraniannya menceritakan itu karena dia masuk pada esensi, maka dia akan makin mengetahui bahwa berjuta hal yang belum bisa dia ketahui, sehingga dia merasa apa yang dia telah dapat masih terlalu sedikit. Lalu bagaimana menceritakan jika hanya sedikit yang diketahui.
Sama seperti agama, mereka yang hanya sedikit mengetahui maka dia akan berbicara agama seolah dia saja yang benar.
Urip dulu pernah mengatakan padaku bahwa Islam bukan Arab. Dia mengatakan bahwa kefatalan ketika mayarakat Indonesia memaksakan semua tentang Arab sebagai kebenaran yang setara dengan agama Islam.
Urip selalu menolak yang berbau Arabian, dia merasa Arab telah meracuni bangsanya melalui dalih Islam.
Bagi Urip Islam benar sebagai agama dan rusak ketika ada pendangkalan. Menjadi dangkal ketika bangsanya berbusana gamis. Busana yang sama sekali tidak menunjukkan identitas bangsanya.
Bagi Urip kau tetap Islam ketika tidak makan kurma, kau tetap Islam ketika berbuka puasa dengan hanya makan tempe. Kau tetap Islam ketika berbusana batik.
Ah..., dia memaparkan kebebasan tapi hatinya sendiri masih terbelenggu perempuan, perempuan yang membuatnya setengah gila.
Dia pernah bertanya padaku untuk apa jalinan yang sedang dijalaninya itu" ujar Beng yang tampak mulai lelah.
"Setiap kehadiran memiliki arti, sama seperti matahari. bayangkan jika matahari tiba-tiba ngambek dan berhenti memberikan sinarnya. Bukankah hidup merupakan mata rantai yang tak boleh putus tautannya.
Matahari bagaian dari mata rantai, pun Urip juga kita" jawab Dimah.
Embun samakin terasa seperti gerimis yang lembut dan kini dingin benar-benar menyergap.